ESAI – kelirbali.com
Oleh; Demy, penulis jalanan. Dikisahkan seorang pemburu di tengah hutan tanpa hasil buruan. Pada siang hari yang terik, pemburu kehausan dan mendatangi sumber air. Ditemukanlah pancuran dan didapati tujuh perempuan cantik sedang mandi. Usil. Salah satu selendang perempuan cantik tersebut diembatnya dan dimasukkan ke dalam kantung buruan. Ke tujuh perempuan usai mandi dan salah satunya tidak mendapati selendang yang tadi ditaruhnya di atas semak. Perempuan ini menangis, bahkan berjanji memberikan apa pun yang permintaan yang mengembalikan selendang.
Pemburu tercekat dan mendekati perempuan tersebut. Singkat cerita, perempuan tersebut mengaku dari kahyangan dan dirinya adalah satu bidadari. Bidadari bersedia kawin dengan pemburu dan setelah punya anak akan kembali. Dan pada saat sial pemburu, selendang ditemukan dan akhirnya bidadari kembali ke kahyangan.
Cerita tersebut tersebar di Nusantara dan oleh sastrawan Bali menjadikan cerita berjudul Rajapala dengan tokoh utama I Durma. Di Jawa Barat cerita ini dengan judul Jaka Tarub. Di Sumatera Barat juga dikenal dengan cerita Si malin Demam. Pun di daerah lain juga ada cerita sejenis dengan tema yang hampir mirip dengan benda penghubung; Selendang.
Struktur cerita secara umum lahir pada periode peralihan budaya nomaden pemburu menuju ke budaya agraris hidup menetap dengan sawah ladang. Lebih jauh lagi, di Korea narasi Rajapala digambarkan dengan tokoh Kyun-Wo dan Chik-Nyo. Hanya saja Chik-Nyo digambarkan sebagai seorang penenun yang juga mirip dengan cerita Sangkuriang – Dayang Sumbi. Di Vietnam narasi cerita Rajapala dengan cerita Orihime dan Hibokoshi dengan tokoh utama adalah Nguu Lang – Chuk Nu, hanya saja dalam tema cerita tidak digambarkan seorang pemburu, namun seorang penggembala. Di Eropa cerita mirip dengan Rajapala juga dengan judul Swan Maiden (Sayap Angsa). Termasuk di Italia yang hanya menghadirkan tiga bidadari. Di Jepang sendiri dikenal dengan narasi Tanabata, di mana tokoh utamanya adalah Kengyu – Orihime yang seorang petani di dalam Hutan Bambu.
Asumsi stereotip Rajapala-an yang tersebar di belahan bumi sangat sulit menemukan dari mana asal usulnya. Cerita-cerita tersebut, dikatakan sebagai upaya pelestarian ide-ide arkais masyarakat (kaula/rakyat) yang mencoba mendekati ritual kesuburan dan reproduksi. Yang mana, kaula (rakyat) mencoba bereproduksi dengan tokoh suci melalui perkawinan dengan harapan mendapat keturunan yang lebih baik.
Cerita-cerita tersebut di mana kaula (rakyat) sebagai penghuni Bumi memiliki hasrat Yang langit (Platonik; Idea), ingin selalu kembali pada-Nya dan atau hasrat, keinginan atau mimpi pada Yang Langit. Lewat cerita tersebut, manusia di Bumi mencoba menarik sesuatu Yang Langit dengan dialektika naik ke atas menggapai taraf yang lebih tinggi. Mircea Eliade mengungkapkan dalam pengalaman manusia merasakan sesuatu yang misterius, mengagumkan dahsyat dan teramat indah sebagai agama manusia atas pengalaman spiritual.
Sebagai narasi mitologis, tidak saja menawarkan laku sang kaula-rakyat heterology marriage, juga menawarkan narasi tentang terbentuknya sebuah hunian bersama, padukuhan, dusun atau desa. Heterology Marriage menjadikan keturunan campur (hybrid) kondisi yang hampir terjadi di seluruh belahan dunia.
Pendapat yang menarik adalah adanya narasi, manusia (kaula) sendiri berhadapan dengan pertentangan kelas dalam ordinat dan sub-ordinatnya sendiri. Yang sebagai absurditas sendiri sang kaula sendiri mengawini bidadari dengan caranya sendiri, guna menaikkan kelasnya sebagai kaula. Tentu saja, walau dalam cerita tidak menampak sistem sosial yang mengutamakan kesejajaran, kesetaraan, bahwa kaum kaula (Bumi) juga bisa bersatu dengan Yang langit. Tentu saja Rajapala dan rajapala lain di belahan dunia ingin menghapus jurang pemisah, sehingga pemisah atau keberjarakan kelas dapat diperpendek.
Lalu, selendang itu sebagai apa dan kenapa mesti selendang?(den)