
Gagasan Manusia dan Semua Manusia adalah Seniman
“Manusia tidak bisa memadamkan api seni, jiwa seniman, memadamkan seni akan menghancurkan hal yang membuat kita menjadi manusia.” Schopenhauer.
“Manusia tidak bisa memadamkan api seni, jiwa seniman, memadamkan seni akan menghancurkan hal yang membuat kita menjadi manusia.” Schopenhauer.
Plato bertanya, tanpa mengajukannya secara langsung, dapatkah polis bertahan hidup tanpa eros ? Ini juga berarti, dalam kaitannya dengan pidato ikonoklastik Aristophanes, dapatkah polis bertahan hidup tanpa eros
seniman Ketut Putrayasa, kekerasan acap menjelma dalam berbagai kerusakan akut, tidak saja dalam perang frontal. Kekerasan pada lingkungan misalnya, sungguh mengamputasi ekosistem dan sendi-sendi kebudayaan manusia. Kerusakan lingkungan di belahan bumi menunjukkan bukti, betapa kejamnya sisi kapitalisme,
kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif dan kreatif, tidak destruktif. Singkatnya kekacauan yang positif. Kita bisa saja merencanakan semua hal dengan serapi mungkin, tapi sesuatu yang lain bisa saja terjadi di masa depan, kita bisa saja yakin pada pasangan kita sendiri, namun ternyata ia selingkuh
“benda-dalam-dirinya sendiri,” yang menyebabkan kesengsaraan kita karena kita tidak dapat mengetahui keinginan terdalam kita. Keinginan akan pengetahuan, kepuasan, kepuasan, inilah yang memacu kita pada pencarian yang tidak pernah berakhir ini.
seks juga menyebabkan kematian terhadap pasangannya. Diri diserahkan sepenuhnya kepada orang lain dalam tindakan seksual. Dalam tindakan seksual, diri sepenuhnya dikonsumsi oleh orang lain dan, dalam arti psikologis dan batin, mati bagi orang lain. Namun ini adalah tindakan timbal balik.
ketika seni pasca-Duchampian diagungkan, pada dasarnya adalah rujukan pada apa yang dapat ditemukan di sebagian besar galeri publik. Kasarnya, bagi dunia ini, baik pelukis, pematung, maupun penikmat karya mereka bisa saja eksis tanpa adanya filsafat seni.
Apa yang kemudian digelar sebagai upacara danu kertih, boleh jadi merupakan kelanjutan dari “doa akbar” pemuliaan air. Dan saban tahun, saat usabha Batur, krama subak mengaturkan sawinih kehadapan Bhatara di Batur – wilayah yang telah menganugerahi kesuburan sawah sawah Bali
relief Yeh Pulu terdapat relief penuh “teka teki” seorang perempuan sedang memegangi ekor kuda yang ditunggangi seorang laki-laki. Di sebut “teka teki” – karena para arkeolog masih belum bisa memastikan apa maknanya perempuan itu menarik ekor kuda? Apakah perempuan itu melarang suaminya pergi berperang, sehingga ia menarik ekor kuda yang ditunggangi suaminya? Apakah perempuan itu justru menarik ekor kuda itu untuk membuat sang kuda meloncat dan kemudian berpacu kuat?
Persoalan moral selama ini hanya membahas tentang apa yang telah dilakukan dan akibat dari tindakan seseorang itu, tanpa harus banyak mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhi dan menentukan tindakannya yang berada di luar jangkauan kendali sadarnya