Selilit; Perlawanan Simbolik Ketut Putrayasa

Facebook
Twitter
WhatsApp
IMG-20250424-WA0001~2
Pameran Metastomata di Museum Neka, Ketut Putrayasa menampilkan instralasi Metastomata

Rumpi Wayang – kelirbali.com

Oleh I Wayan Westa-pegiat budaya. Selilit, begitulah karya instalasi ini diberi tajuk.  Karya terbaru Ketut Putrayasa, seniman kelahiran Tibubeneng, Bali. Dipajang di Neka Art Museum, Ubud. Pameran dengan tema Metastomata ini digawangi kelompok perupa Galang Kangin,  dirayakan untuk momen  25 tahun Metamorfosis Manifesto Galang Kangin.

Nama Galang Kangin tak cuma mengingatkan kita pada kelompok perupa yang dilahirkan seper-empat abad silam. Dibalik frase itu kita teringat   manifesto fajar budi  teks-teks  Jawa Kuna  ̶  di mana lazim  disuratkan  dalam ungkapan  prabhaswara jnana. Dalam dimensi asketik dunia spiritual Bali, ungkapan ini lebih dimakanai sebagai fajar pencerahan, tak ubahnya temaram subuh, kala surya perlahan terbit, pelan-pelan lalu menyibak kegelapan. Para pejalan di dunia spiritual pulau ini, menyebut capaian asketik itu sebagai  menemu “galang”  ̶  sang pejalan telah bertemu cahaya.

Selilit dalam simbol perlawanan karya Ketut Putrayasa

Entah, apakah  kelompok Galang Kangin menganggit nama itu dari sini? Kita tidak tahu. Namun dari karya-karya yang dipajang, setidaknya kita menemukan  benih kreatif, bahwa segala sesuatu acap dihadirkan kembali dari puing masa silam. Atau dari yang telah di poranda zaman. Tugas seniman-lah memudakan reruntuhan itu kembali, layaknya petani  bertekun menumbuhkan putik-putik muda kembali. 

Keresahan-keresahan primitif perihal jatuh bangunnya artefak  peradaban, bisa disimak dari  performing arts pameran ini. Pembacaan puisi dari Wayan Jengki Sunarta, diiringi alunan suling Made Gunawan yang menyayat, dikolaborasi penghancuran  patung-patung berkepala celeng oleh  pematung Dewa Soma. 

Adegan ini seakan menyindir “bansos-bansos” berdalih pemugaran  tempat suci yang merampas, meniadakan jejak masa silam. Lalu, di situ kita tak cuma kehilangan sejarah, akan tetapi juga  kehilangan   jejak artistik,  nilai-nilai, dan kebajikan masa silam. Kebudayaan ini tengah berhadapan dengan bentuk vandalisme lebih halus, dengan dalih bantun sosial.

Dan Wayan Jengki Sunarta pun memulai membaca puisinya, “Bayangan candi: wujud masa silam yang meleleh, ke dalam genang kenangan bocah gembala”. Di situ, di atas panggung, di depan candi Neka Art Museum waktu tiba-tiba jadi beringsut, terasa mistis. Dan yang hadir pun seperti dibuat larut.

Lalu penghancuran batu-batu candi pun berlangsung.  Mahkota-mahkota celeng dikapak, serpihannya rontok di tanah dingin. “Bansos” seakan menjadi tragedi baru penghancuran peradaban lampau, materialisasi memenggal kekayaan rohani kita.  Si penyair membaca puisinya penuh pukau, dengan “loudspeaker” sedikit  parau, untuk tidak menyatakan sedikit melecehkan.

Lalu dalam bayangan nyaris harmoni, dalam pajangan karya rupa  yang apik,  sambutan pembuka  penuh petuah; ada satu karya yang memendam ambisi jadi “pengganggu”. Seni instalasi  irit medium,  menyerupai “esai mini kata”. Tusuk gigi emas  dengan bercak darah, bertuliskan kata “art”, piring keramik yang meleleh.

Ini metafora yang mengusik, satire yang meledek, membuat para cendekia gagal tidur siang, merenung apa yang hendak dititipkan sang kreator dalam seni instalasi ini? Orang awam mungkin saja mengatai perancangnya “nyem”, agak gila. Atau lebih pantas disebut  avant garde, seni  melampaui zaman. Atau dalam tugasnya yang lain, sang seniman tengah melakukan perlawanan kultural, gugatan pada betapa sia-sianya tanggung jawab pemimpin publik. Sebagai seniman, Putrayasa  tengah menjalankan fungsi simbolik, mengkritik secara satire kondisi-kondisi terkini keadaan kita. Boleh jadi ditujukan  juga pada pemimpin kita.

Kali ini Ketut Putrayasa sukses meracau kita, mencandai praktik-praktik kebudayaan kita. Atau  tengah mencabik-cabik tubuh kebudayaan, menembakkan  pengalaman kreatif itu ke ruang  “Satpol PP” kebudayaan, menampar dingin mentalitas birokrasi kita,  pidato-pidato usang dan bau, kebijakan yang tak memihak  perut rakyat. Himbauan dan aturan yang dibully netizen  dengan kata-kata kasar, ledekan kotor  menggelikan. Sungguh birokrasi penuh drama, dan topeng-topeng kepalsuan itu dibuka rame-rame di ruang “legislator maya” bernama netizen.

Kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, di situ “selilit” diartikan sebagai sisa makanan (daging dan sebagainya) yang menyelip di sela-sela gigi. Ia menjadi kondisi yang mengganggu sela gigi, maka tusuk gigi pun diperlukan. Selilit, bila abai dibersihkan, membuat mulut jadi bau, seperti juga kata-kata bijak diucapkan politikus pialang, kata-katanya pun cenderung jadi bau. Bau busuk yang  tak mudah dibersihkan, kendati dengan pengharum mulut paling mahal.

Selilit menjadi semacam subversif dingin, satire yang tidak cuma mencibir mulut pemegang kebijakan, yang bau oleh  sisa-sisa makanan. Demikian pula kata-kata kotor yang keluar dari mulut siapa saja. Seperti janji-janji kosong politikus, himbauan-himbauan  pemimpin yang  memancing rasa jengkel, seperti juga kata-kata penuh bau, tak mudah dipercaya, tak gampang ditegakkan. “Ah, kita mesti berjuang sendiri, politikus-politikus itu biarkan ia melantur. Rakyat bisa hidup tanpanya,” ujar seseorang di sebelah saya duduk.

Bila kata-kata yang keluar dari mulut melukai, menimbulkan kejengkelan, mencla-mencle, sungguh  mulut itu tak beda  dengan anus. Ia sama-sama bau. Orang-orang Bali lalu mencibir perilaku itu dengan ungkapan; bibihe kadi bol, mulutnya seperti anus. Bagi Ketut Putrayasa, inilah tragedi selilit, di mana tindakan tak  tegak lurus dengan ucapan. Ini sungguh menggangu, seperti selilit di sela gigi. Dan ini  bentuk  de-humanisasi yang sejak lama  tak disadari.

Selilit, tusuk gigi emas, bercak darah adalah penanda,    menandaskan satire absurd, sia-sia. Sungguh absurd betul, tusuk gigi emas  itu cuma dipergunakan untuk membersihkan selilit, sisa daging dan makanan yang tertinggal di sela gigi.  Dengan analogi, jabatan tinggi,  berkuasa tak lantas bertemali dengan tanggung jawab lebih besar. Mensejahterakan kehidupan rakyat. Yang ada cuma  jargon-jargon gincu, menghibur mereka yang tengah belajar sabar. “Rakyat dibohongi melulu,” begitu selentingan  kerap terbaca di komen-komen medsos.

Kita bisa menonton ini  pada praktik-praktik birokrasi yang banal. Pada pemimpin  ber parfum harum, necis, enggan berpeluh, tak hendak berkotor-kotor. Di pikirannya cuma ada proyek mercusuar dan fee berlipat, alih-alih melenyapkan derita rakyat. Sebaliknya malah menjadi parasit, kutu pemakan darah. Ia kerap hadir pada perayaan besar, disambut tarian dan gamelan bergelora. Tak jauh dari penggambaran Negara Teater  karya Clifford Geertz. Mainnya  cuma mengokestrasi adat dan upacara. Minusnya, hari ini, jabatan cuma dipergunakan semata untuk kenyamanan diri sendiri. Itulah makna tusuk gigi emas bagi Ketut Putrayasa. Sesuatu yang besar acap dipergunakan  untuk menggelembungkan hal-hal remeh. 

Diantara medium yang irit itu,  Selilit menampilkan piring keramik  tengah meleleh,  ini lagi-lagi sesuatu yang absurd, nyleneh dan tak biasa. Tak biasa karena tak pernah ada piring makan yang meleleh, kecuali ini satire  “nyem”  mencandai keadaan. Atau menyadarkan mereka yang lebih awal sadar.

Sebagai catatan artistik, kritik simbolik, “piring meleleh” punya makna  lebih melebar, konotatif, karena di situ; apapun deliknya, apapun kasusnya mudah meleleh di meja makan,  dibikin  cair, melunak di  ruang lobi. Hal-hal yang gawat, yang harus dipotong karena sudah menjadi kanker bagi bangsa cuma diberi obat penghilang rasa sakit. Regulasi, hukum cuma instrumen menandakan negara ini ada, mungkin sekadar ada, karena merasa tidak perlu diurus dengan serius.

Selilit telah mencandai kita  dengan hal-hal remeh.  Sindrom besar pasak daripada tiang menampar siapa saja yang gagal membaca potensi. Tapi Putrayasa bukanlah seniman yang hoby nyinyir, ia sedang  membaca  sekaligus mengingatkan keadaan, bahwa sesuatu yang kecil, yang dianggap remeh bila dibiarkan; ia tidak cuma mengganggu, tetapi bisa menjadi kanker ganas – patologi sosial yang berubah jadi  badai besar.

Lalu Wayan Jengki Sunarta pun berkeluh, sebagaimana bait-bait puisi yang dibaca saat pembukaan pameran, “ke situ Kau tuntun aku, bagai keledai dungu…. Tak paham kapan awal kapan akhir letih ini..”  Dan di situ, tusuk gigi emas  yang tergeletak di piring  tengah meleleh, terdeteksi  gurat darah. Dengan tulisan tiga fon huruf  “ART”. Itulah  bentuk perlawanan simbolik Ketut Putrayasa, ia menggugat, ia mengingatkan dengan dingin keadaan pulaunya, begitu pula keadaan negerinya.(Den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Selilit; Perlawanan Simbolik Ketut Putrayasa

jabatan tinggi,  berkuasa tak lantas bertemali dengan tanggung jawab lebih besar. Mensejahterakan…

Vanitas Seharga Satu Meliar

Vanitas telah menjadi semacam “ critic symbolism”, kritik tanpa narasi di mana…

Mutilasi Linggis, Sebuah Kehancuran Jati Diri

Putrayasa sendiri melihat ‘Dunia dalam harmony’ masih jauh dari harapan. Sangat jauh.…

Menengok dari Dekat Patoyan Taman Tjampuhan, Lovina

“Itulah jalan yang saya pilih, merawat alam dengan hati riang. Dan hasilnya…

Gagasan Manusia dan Semua Manusia adalah Seniman

“Manusia tidak bisa memadamkan api seni, jiwa seniman, memadamkan seni akan menghancurkan…