News – kelirbali.com
Tiga pimpinan DPRD Klungkung diduga memanfaatkan celah aturan untuk mengantongi tunjangan transportasi, meski kendaraan dinas mereka masih layak pakai
Awal tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 memaksa semua anggaran daerah difokuskan untuk penanganan darurat, Tengku Azmi menemukan sesuatu yang menurutnya tak masuk akal. Di tengah krisis, para pimpinan DPRD Klungkung justru menerima tunjangan transportasi. Padahal, kendaraan dinas mereka masih lengkap dan berfungsi baik. “Ini bukan cuma persoalan uang, tapi akal sehat dalam mengelola anggaran publik,” kata Azmi, yang melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang itu ke aparat penegak hukum, pekan ini.
Mobil Dinas yang Dikembalikan
Dalam laporannya, Azmi menyebut tiga pimpinan DPRD Klungkung periode 2019–2024 berinisial AAN, TGA, dan IWB. Ketiganya diduga mengembalikan mobil dinas yang disediakan pemerintah daerah dengan alasan formal, agar bisa menerima tunjangan transportasi bulanan. “Mobilnya masih bagus. Tidak ada alasan mendesak untuk dikembalikan,” ujar Azmi.
Dokumen yang ia lampirkan menyebutkan, kendaraan itu terdiri dari Toyota Camry DK 3 M serta dua Toyota Altis (DK 7 M dan DK 8 M). Semuanya dikembalikan ke Sekretariat DPRD pada Januari 2020. Tak lama kemudian, ketiganya mulai menerima tunjangan transportasi. Dalam satu tahun anggaran, nilai totalnya mencapai Rp 324 juta. “Dan ironisnya, saat itu rakyat sedang berjibaku menghadapi pandemi,” kata Azmi.
Diduga Disetujui TAPD
Menurut Azmi, kebijakan itu tidak mungkin berjalan tanpa restu Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Saat itu TAPD diketuai oleh Bupati Klungkung, bersama Sekda I Ketut Winarta dan Kepala BPKPD I Nyoman Suwirta. “Prosesnya berjalan sangat mulus. Tak ada keberatan dari pihak manapun,” ujarnya. Azmi menilai tindakan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Ia mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
Pasal 9 ayat 2 huruf b menegaskan, pimpinan DPRD wajib disediakan kendaraan dinas. Hanya jika kendaraan belum tersedia, barulah diberikan tunjangan transportasi. “Dalam kasus ini kendaraan dinas ada, bahkan dalam kondisi baik. Jadi, tidak ada dasar hukum untuk tunjangan itu,” tegasnya.
Dari hasil penelusuran Azmi, kebijakan itu menimbulkan kerugian negara hingga Rp 2,61 miliar selama empat tahun anggaran 2020–2024. Perhitungannya bersumber dari dua aturan daerah: Perbup Nomor 32 Tahun 2017 dan Perbup Nomor 90 Tahun 2020. Melalui aturan terbaru, tunjangan transportasi meningkat menjadi sekitar Rp 16,6 juta per bulan untuk ketua dan Rp 15,5 juta untuk wakil ketua. “Angkanya mungkin terlihat kecil dibanding proyek besar lain, tapi secara moral nilainya sangat besar,” — Tengku Azmi
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pimpinan DPRD Klungkung maupun pihak eksekutif yang disebut dalam laporan. Azmi mengaku siap membuka seluruh dokumen dan bukti pembayaran yang telah ia kumpulkan. “Saya tidak mencari sensasi. Saya hanya ingin agar pengelolaan keuangan daerah dilakukan dengan hati nurani, bukan dengan celah aturan,” katanya.
Dibeber data dugaan penyalahgunaan wewenang pada periode 2020–2024 adalah: Terlibat: Tiga pimpinan DPRD Klungkung (AAN, TGA, IWB). Objek: Tunjangan transportasi di saat kendaraan dinas masih layak. Nilai kerugian: ± Rp 2,61 miliar. Aturan dilanggar: PP No. 18 Tahun 2017 Pasal 9 ayat 2 huruf b. Dilaporkan oleh warga, Tengku Azmi.(Embe)

