Ciri-ciri Kiamat (Pralaya) Menurut Rsi Wyasa

Facebook
Twitter
WhatsApp

WAYANG – kelirbali.com

Membaca Bhisma Parwa, Parwa ke enam dari Asta Dasa Parwa (18 Parwa) pembaca tidak serta-merta diajak langsung menyimak bagaimana Bhisma Putra Gangga berperang berhadapan dengan Srikandi yang dibantu Arjuna. Bhisma adalah salah satu dari murid Parasu Rama gugur di medan laga Kurukshetra. Dari dalam Bhisma Parwa dituliskan tanda-tanda kehancuran bumi, atau pertanda pralaya (kiamat). Pertanda kehancuran ini dijelaskan oleh Maha Rsi Wyasa kepada Raja Dhrtarastra melalui Sanjaya setelah mendapat anugerah penglihatan dewata.

Tidak hanya menceritakan tanda-tanda kehancuran atau pralaya di medan tempur Kurukshetra, sebelum terjadinya perang tersebut, Sanjaya yang telah memiliki penglihatan dewata, bertutur kepada Baginda Raja Dhrtarastra atas permintaannya tentang sifat dan ciri-ciri masing-masing dunia, tentang bagian negara-negara dan kota asal. Juga berbicara terkait Catur Yuga. Raja Dhrtarastra juga meminta kepada Sanjaya untuk mejelaskan nama sungai, gunung serta ukurannya, luas-luas pulau di dunia, bagaimana kehidupan penghuni masing-masing gunung. Bahkan Dhrtarastra sendiri meminta kepada Sanjaya untuk menjelaskan kehidupan, kekuatan, masa lampau-masa kini dan masa yang akan datang.

Sanjaya sendiri yang mendapat anugerah penglihatan dan pengetahuan utama, menjelaskan apa yang diminta oleh Dhrtarastra. Bahkan Sanjaya sendiri bisa menjelaskan apa yang ada di pikiran orang dan selama bertutur tidak akan mengalami kelelahan atau rasa lapar. Sanjaya juga menuturkan tentang teori evolusi, teori tentang ciptaan alam semesta. Hal terpenting juga, Bhisma Parwa merupakan induknya Asta Dasa Parwa. Karena di dalamnya terdapat Nyanyian Tuhan (Bhagawad Gita) oleh Krshna kepada Arjuna, sesaat sebelum peperangan di mulai.

Inilah bagian dari percakapan awal Bhisma Parwa (Jambhu Kanda Nirmana Parwa). Seluruh kesatriya di dunia ini berkumpul di Padang Kurukshetra. Dunia Nampak kosong, kuda, gajah dan laki-laki dewasa dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Padang Kurukshetra. Prajurit ini ada yang memihak Pandawa ataupun Kaurawa. Sedangkan anak-anak, orangtua yang masih tinggal di rumah. Maha Rsi Wyasa, tokoh yang pertama menguasai Weda, sesepuh Bangsa Bharata yang mengetahui masa lampau, kini dan yang akan datang, dengan khusus mendatangi Dhrtarastra putra dari Wicitrawirya sebelum peperangan itu berlangsung. Kepada Dhrtarastra, Rsi Wyasa bersabda, “Saat terakhir bagi putra-putra anda sudah tiba. Mereka ini akan saling membunuh dalam pertempuran besar ini. Saat kini telah tiba, mereka akan tewas,” ujar Rsi Wyasa kepada Raja Hastina, Dhrtarastra.

Karena bersikukuh tidak mendamaikan putra-[utranya berperang melawan keponakannya, Rsi Wyasa memberi kesempatan dan menawarkan kepada Dhrtarastra untuk dapat melihat pertempuran tersebut dengan memberikan penglihatan secara langsung. Saat itu, Dhrtarastra menolak dan berkata, “O, Rsi junjungan hamba yang termulia, hamba tidak akan sanggup menyaksikan pembunuhan sesama sanak suadara tersebut secara langsung, akan tetapi hamba hanya ingin mendengarkan peristiwa itu berlangsung secara mendetail,” harap Dhrtarastra. Maka Rsi Wyasa memberikan anugerah penglihatan kepada Sanjaya, yang merupakan putra Widura. Usai memberikan anugrah penglihatan kepada Sanjaya, maka Sanjaya tidak akan mengalami kelelehan, rasa lapar dan mengetahui segala hal. Maha Rsi Wyasa-pun melanjutkan wejangannya kepada Raja Dhrtarastra, “Takdir itu tidak bisa ditentang, dan kemenangan akan berada di pihak kebenaran. Sanjaya akan hidup setelah pertempuran usai, dan aku sendiri akan menyebarluaskan ketenaran Bangsa Kuru dan nama besar semua Pandawa,” tegas Rsi Wyasa.

Sebelum meninggalkan Hastina Pura, Rsi Wyasa melanjutkan wejangannya kepada Dhrtarastra. “Oh Maharaja, pembunuhan dalam perang ini akan berlangsung secara besar-besaran. Aku sendiri sudah memperhatikan tanda-tanda alam yang bartalian dengan malapetaka ini,” jelas Rsi Wyasa. Dilanjutkannya dengan mengatakan, “Burung-burung Elang dan burung buas lainnya, demikian juga burung Bangau bergerombol di atas pohon. Burung-burung ini sudah mencium bau mayat yang nantinya diakibatkan oleh perang ini. Binatang-binatang ini akan berpesta-pora bangkai Kuda dan Gajah. Burung-burung Bangau besar terbang ketakutan dan mengeluarkan pekikan tajam berputar di angkasa dan melarikan diri ke selatan.”

Selanjutnya Rsi Wyasa mengungkapkan tanda-tanda kehancuran lain dengan berkata, “Saat Matahari menjelang terbit dan terbenam, setiap hari aku melihat Matahari ditutupi bayangan tubuh tanpa kepala. Awan muncul dengan tiga warna, di pinggir berwarna merah dan putih sedangkan di tengah berwarna hitam diikuti dengan lecutan kilat yang berbentuk gada dan terjadi siang dan malam. Aku juga melihat Matahari, bulan dan bintang-bintang menyala-nyala bagaikan terbakar. Ini terjadi baik siang dan malam dan semuanya menimbulkan rasa takut,” jelasnya. Ditambahkan lagi, Meskipun pada tanggal ke-14 hari Purnana di Bulan Karttika, bulan nampak samar-samar atau Nampak berwarna kemerahan bagai cahaya api.

Diungkapkan lagi ciri-ciri Pralaya oleh Rsi Wyasa, “Banyak raja-raja dan putra raja akan terbunuh, serta tertidur membujur dengan kaku di atas tanah. Setiap malam aku mendengar suara jeritan seperti Celeng dan Kucing di angkasa. Patung-patung dewa kadang-kadang terlihat tertawa, kadang-kadang gemetar, kadang mengeluarkan darah dari hidungnya. Kadang-kadang juga terlihat keluar keringat dan bahkan ada yang terjatuh. Oh Raja, tedengar pula genderang berbunyi tanpa ada yang memukul, kereta-kereta bergerak sendiri tanpa adanya kusir, tanpa kuda. Burung Belatuk, Kokila, Betet, Belibis Kakatua, Gagak, Merak semuanya mulai memperdengarkan suara mengerikan.”

Di pagi hari berjuta serangga berterbangan, keempat penjuru dunia seperti terbakar, awan-awan menjatuhkan debu serta gumpalan daging. Rasi Bintang Arundhati, Dewi yang dipuja di tiga dunia, yang harum namanya di kalangan bijaksana pun kelihatan mendukung suaminya di atas punggungnya. Arundhati nampak menggendong Wasistha, Planet Sani kelihatan menutupi Rohini, bahkan bayangan Menjangan yang biasa kelihatan di Bulan nampak bergeser dari tempatnya. Ini adalah tanda-tanda suatu bencana besar, langit yang terang tanpa awanpun terdengar suara gemuruh menakutkan, binatang-binatang menangis dengan cucuran air mata,” jelas Putra dari Dewi Satyawati.

“Oh Maharaja, dengarkanlah lagi, tanda-tanda Pralaya ini. Keledai terlahir dari Sapi betina, pemuda-pemuda melakukan hubungan seks dengan ibunya, pohon dan kayu berbunga dan berbuah tidak pada musimnya. Kaum wanita lebih cepat subur dan memiliki keturunan. Bahwa wanita yang tidak suburpun melahirkan anak yang menakutkan perwujudannya. Binatang buas bersama burung bas mencari makan bersama. Binatang anehpun terlahir, ada yang bertanduk tiga, bermata empat, ada yang berkepala dua, berekor dua, ada yang betuk giginya mengerikan. Kuda terlahir dengan berjanggar, bergigi empat dan bertanduk. Oh, Raja, banyak istri Brahmana melahirkan garuda dan burung merak, kuda betina melahirkan anak sapi dan anjing betina melahirkan srigala.”

Selanjutnya dijelaskan, “Ayam, Kijang serta burung Kakatua memekikkan pekikan bencana. Beberapa wanita melahirkan empat atau lima anak kembar dan seketika itupun langsung menari, bernyanyi dan tertawa. Anak-anak terdorong menyukai permainan bersenjata bersama sesama. Bunga Padma dan jenis Bakung tumbuh di atas pohon, angin selalu bertiup kencang mengeluarkan debu tiada hentinya. Gempa bumi tidak pernah berhenti dan mataharipun jarang terlihat terang. Semua tanda-tanda alam ini secara khusus berarti kehancuran bagi Bangsa Kuru,” jelas Rsi Wyasa.

Dijelaskannya lagi, tanda-tanda pralaya berkaitan dengan alam, “Bumi yang tadinya menghasilkan hasil bumi, sekarang ditutupi hasil bumi tanpa musim. Sebatang gandum menghasilkan lima tangkai buah, padi menghasilkan seratus tangkai buah. Sapi melahirkan menghasilkan susu dan ketika puting susu diperah mengeluarkan darah. Busur-busur panah mengeluarkan sinar menyilaukan, begitu pula dengan senjata lainnya yang seperti sudah mengetahui siapa sasarannya. Semuanya menunjukkan gejala yang mengerikan. Ada pula burung bersayap satu, bermata satu, berkaki satu terbang di malam hari mengeluarkan pekikan dashyat. Gugus Bintang yang dikenal dengan nama Tujuh Rsi semuanya mengeluarkan sinar suram. Planet Wrhaspati dan Sani telah berdampingan di gugus bintang Wisakha. Bulan Purnama atau bulan mati yang biasa terjadi 15 hari, kini terjadi setiap 13 hari. Gerhana aneh juga menunjukkan tanda bencana. Bulan mengelilingi orbitnya berubah-ubah antara 14, 15 dan 16 hari, namun tidak disangka purnama terjadi setiap 13 hari.

Sungai-sungai besar mengalir ke arah berlawanan, airnya mengandung darah. Sumur-sumur meluap mengeluarkan suara seperti suara sapi jantan. Meteor berjatuhan seperti senjata Petir Dewa Indra, dan setelah malam ini berlalu, akibat-akibat buruk itu secara langung mulai anda rasakan,” ungkap Rsi Wyasa.

Dikatakannya juga, “Para pertapa dan para Rsi juga menyatakan hal yang sama, bahwa bumi ini akan meminum darah ribuan raja-raja. Dari Gunung Kailasa, Mandara, Himawat ribuan letusan terdengar dan puncaknya ambruk berantakan. Akibatnya, air samudra meluap airnya, seolah-olah ingin menenggelamkan bumi. Di desa-desa, pohon keramat bertumbangan, nyala api suci oleh para Brahmana kadang-kadang berwarna biru, merah atau kuning dan baunya tidak harum lagi,” tuturnya kepada Dhrtarastra.

Dhrtarastra menyahut, “Hamba berpikir bahwa semua yang terjadi ini sudah ditetapkan sejak dulu kala, apabila raja-raja itu tewas, pastilah mendapat tempat seperti kaum ksatriya. Raja besar yang tewas menjadi termasyhur karenanya.” Mendapat sahutan seperti itu, Maha Rsi Wyasa juga meminta kepada Dhrtarastra agar menghentikan perang tersebut, dengan berkata, “Tunjukkan jalan kebenaran kepada Bangsa Kuru, kepada sanak saudara dan taman-teman anda. Ananda patut mengatur mereka, membunuh sesama keluarga adalah dosa, jangan melakukan sesuatu yang aku sudah melarangnya. Pembunuhan ini tidak disarankan dalam Weda-weda, dan dengan pembunuhan juga tidak akan dicapai manfaat yang sebenarnya. Orang yang menghancurkan bangsanya sendiri sama dengan membunuh diri sendiri. Waktulah yang mempengaruhi ananda sehingga menyimpang dari jalan kebenaran. Ananda seperti tertekan dan kecewa, walaupun sebenarnya ananda mampu berbuat kebenaran. Apalah artinya kerajaan yang hanya menyebabkan memikul dosa-dosa. Ijinkan para Pandawa mendapatkan kerajaannya kembali dan biarlah para Kaurawa hidup berdamai,” pinta Rsi Wyasa dengan nada penuh kesedihan.

Dengan permintaan terakhir dari ayahandanya sendiri, Rsi Wyasa, Dhrtarastra justru berkata, “Pengertian hamba tentang hidup dan mati sama dengan yang paduka miliki. Tetapi karena diselubungi kepentingan sendiri, pandangan orang menjadi tidak benar. Hamba ini hanyalah manusia biasa sedangkan paduka memiliki kekuatan tak tebatas, Oh Maharsi, anak-anak hamba sudah tidak mentaati hamba lagi, cenderung untuk berbuat dosa,” jelas Dhrtarastra.

Dhrtarastra pada kesempatan itu, meminta kepada Rsi Wyasa untuk menjelaskan tanda-tanda yang dapat menunjukkan kesenangan dan kemenangan dalam peperangan. Rsi Wyasa lalu menjelaskan tanda-tanda kemenangan itu sebagai berikut, “Api suci bersinar terang, cahanya terang lurus ke atas, ahanya cenderung berbelok ke kanan tanpa asap. Kulit kerang dan cengceng menghasilkan suara dalam dan bergema. Matahari dan blan bersinar jernih cerah, burung Gagak berbunyi tanpa menimbulkan suara menakutkan. Apabila burung buas, Angsa, Kakatua, Kuntul dan burung Belatuk suaranya menimbulkan kegembiraan dan terbang beriringan ke kanan, maka kemenangan itu sudah dapat dipastikan. Dimana prajurit yang bertempur dengan gagah berani dan dalam kegembiraan, bebas dari tekanan dan berkeyakinan teguh, disanalah kemenangan itu berada,” jelas Rsi Wyasa. Usai mengucapkan kata-kata tersebut, Rsi Wyasa meninggalkan Hastinapura.(denara)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…