oleh I Wayan Westa, Pekerja Kebudayaan – kelirbali.com Hidup berawal dari AIR, begitu kata seorang mistikus. Benar, dari jutaan benih yang diteteskan ayah ke liang ibu, hanya ada satu tetes yang paling kuat. Jagoan dan pemenang itulah yang menjadikan kita hadir ke bumi membawa serta tetes bawahan ayah.
Tetes yang paling kuat itu bertemu sel telur ibu. Begitulah tetes itu kemudian disebut dengan kama. Ibu membawa kama bang (berwarna merah). Bapa membawa kama petak, berwarna putih. Intinya dua-duanya adalah air. Air-lah sumber hidup pertama semua makhluk. Orang-orang Barat menyebutnya sebagai abrosia — artinya yang mengatasi kematian. Teks-teks Bali menyebutnya sebagai amrta, artinya ia yang tak pernah mati. Dari sini kemudian lahir istilah-istilah mistis untuk air sebagai oase penghidup. Karenanya juga disebut amrta sanjiwani, amrta kamandalu, termasuk amrtakundalini — semua ini merujuk pengertian air kehidupan.
Manusia sesungguhnya adalah sang pembawa tetes. Tetes mistis itu bernama nada. Maka tak salah simbol nada dalam Ongkara itu juga berwujud tetes. Air mistis yang meniupkan roh hidup saat pertama tetes bapa dan ibu kita bertemu. Karena hidup dimulai dari tetes air, maka manusia yang hidup juga diyakini sebagai pembawa sungai. Ada banyak sungai mistis di dalam tubuh manusia. Yang paling terkenal adalang sungai Tri Nadi. Para peyoga menyebutnya sebagai ida-sumsuma-pinggala. Tiga sungai ini mengalir ke samudra mistis tubuh. Demikian ada penamaan mistis tujuh samudra di tubuh. Setidaknya begitu teks Jnanasiddhanta menuliskan.
Tapi tidak cuma air di dalam diri yang banyak disebut-sebut teks. Untuk menyebut Tuhan sebagai Mahakeberadaan, air menjadi kunci penting menunjuk keberadaan itu. Selain disebut tirtha, ia juga disebut TOYA [to -ya] dimaknai untuk menyebut keberadaan Tuhan — yang artinya: Itulah Dia.
Terimakasih pada tetes hidup yang terus mengalir. Pada tubuh dan pikiran yang senantias segar. Pada kawan dan lawan yang selalu mengingatkan. Pada ibu dan ayah yang menitipkann tetes pertama untuk hidup.den