Tuhan, Tolong Saya,,

Facebook
Twitter
WhatsApp
dukun

CERPEN: GS Putra – Sepuluh tahun sudah Klemik menjalani pernikahan dan tinggal di BTN sumpek yang dengan segala suka dukanya. Mungkin lebih banyak cerita dukanya ketimbang cerita sukanya. Pernikahannya yang sudah berjalan sepuluh tahun itu, sampai saat ini belum juga membuahkan hasil, keturunan. Sejatinya, baik dengan cara diam-diam atau terang-terangan Klemik sudah melakukan berbagai usaha. Dari mendatangi dokter spesialis kandungan, sampai ke dukun-dukun seantero Bali. Nol, nihil tanpa hasil.

            Sesekali Klemik berpikir, adakah hal ini macam kutukan. Bergelut dengan kemiskinan dan uang hasil jerih payahnya justru habis buat perkara membuat keturunan. “Adakah Negara yang bisa ambil bagian buat Pasutri yang tidak memiliki keturunan,” pikirnya suatu hari. Bahkan, pernyataan Gubernur Bali-pun ingin didebatnya, “Jangankan melestarikan KB empat anak, aku satu anak saja belum. Gubernur, tolong saya, Tuhan, tolong saya,” protesnya dalam hati.

            Hampir semua tetangga di tempat tinggalnya tahu, bahwa persoalan yang dihadapi Klemik adalah ingin memiliki keturunan. Setiap tetangga memberikan masukan, saran sesuai dengan kualitas pengetahuannya. Bahkan semua saran tetangganya sudah dijalani dan hasilnya nihil. Sebagai suami, disebutkan Klemik sehat 100%, begitu juga istrinya, sehat 100% begitu hasil analisis dokter. Apalagi tanda-tanda kemandulan, bahkan kualitas sperma juga masih oke. Sambil merenung sepulang kerja, Klemik berpikir. Ada satu tetangganya yang belum ia turuti nasehatnya. Yaitu mendatangi balian yang juga tetangga di Blok A. “Mang, aku mau mencoba ke rumah balian di Blok A, walau disebut balian yang tidak laku dipasaran, tidak ada salahnya kita mencoba.” Istrinya menjawab pasrah, “Ya, coba saja bli, siapa tahu berjodoh.”

            Klemik hanya tertegun saja melihat keadaan rumah balian yang didatanginya. Tidak ada tanda-tanda seperti rumah balian pada umumnya. Semacam sesajen, atau penanda lainnya yang mencerminkan rumah seorang balian. Dalam benaknya, Klemik membayangkan rumah balian itu serem. Ada banyak bekas sesajen, ada barang-barang antik, sampai ke penanda kain poleng atau sejenisnya. “Eh, Klemik. Tumben kau mampir, apa kabar,” tanya balian yang didatanginya. Klemik tambah terkejut lagi melihat penampilan balian yang dihadapinya sekarang, bercelana pendek, berkaos oblong sambil memegang handphone. “Apa aku salah hari, mendatangi rumahnya,” pikirnya.

            “Nggih Jero Balian, ini saya mau minta petunjuk. Saya menikah sudah 10 tahun, namun belum juga mendapatkan keturunan,” jelas Klemik sambil berdebar, memikirkan apa nanti jawaban balian ini. Ditatapnya wajah balian dihadapannya. Sesajen yang dibawa dari rumah masih terbungkus di meja tamu. Menunggu jawaban balian tersebut, sepuluh detik bagai sejam. Dalam hatinya Klemik berguman, Tuhan, tolong saya!

            “Baiklah Mik, aku yakin kau sudah mendatangi dokter dan balian lainnya. Aku tidak punya obat atau semacamnya untuk membuat istrimu hamil. Aku hanya menyarankan, kau menyuapi istrimu setiap makan sore dengan tanganmu sendiri selama tiga bulan. Semoga saja membuahkan hasil,” jelas balian. Klemik mendengar dengan jelas apa yang disampaikan tetangganya. Intinya menyuapi istri saat makan. Hanya dalam hatinya berpikir, apakah ada model pengobatan macam ini, padahal dari rumah diduganya, balian akan berkomat-kamit mantra lalu kerauhan. Dari kerauhannya, meminta sesuatu, membayar kaul dan permintaan lainnya.

          “Nggih suksma jero balian, tiang akan coba laksanakan,” jawab Klemik spontan. Selanjutnya mereka berbasa-basi soal pekerjaan, pilihan Capres sampai ke pilihan Caleg. “Eh, bawa canangmu pulang, tidak perlu membawa apa-apa kesini,” kata balian saat Klemik hendak pamitan. Klemik juga berpikir, bisa jadi apa yang dijelaskan balian itu benar. Suatu hal yang belum pernah dilakoni selama pernikahannya. “Dari seluruh balian yang aku datangi, ini yang paling aneh, apa salahnya mencoba,” pikirnya.

            Dalam perjalanan pulang, Klemik berpikir bahwa dirinya akan menyuapi istrinya saat makan sore. Suatu hal yang sama sekali belum pernah dilakukan semur hidupnya. Sore harinya, dengan gemetar tangannya mengambil nasi dan menarih di piring, diisi kuah dan daging ikan asin. Ditatapnya, mata istrinya sambil menyiapkan suapan pertama. Nampaknya, sang istri juga menatap suaminya. Semua nampak canggung, tanpa kata hanya saling tatap. Istrinya menitikkan air mata, begitu juga Klemik. Piring nasinya ditaruh di lantai, mereka berpelukan. Seolah-olah makan sore itu adalah pertemuan setelah 10 tahun perpisahan. Akhirnya, yang akan menjadi suapan pertama kepada istri di hari pertama gagal. Keduanya masih canggung, masih melepas rindu, bahwa mereka menyadari yang namanya hidp berpasangan. “Mang, besok aku suapin deh, besok pasti bisa,” bisik Klemik sambil melepas pelukan istrinya.

            Akhirnya, makan sore saling menyuapi itu seperti acara ritual bagi Klemik bersama istrinya. Perubahan yang paling nampak, mereka berdua saling bertanya kesukaan makanan masing-masing, hal yang paling jarang dikomonikasikan. Bahkan sesekali mereka berdua, makan di sebuah resto dan saling menyuapi tanpa rasa malu.

            Lima bulan sudah, saling suap Pasutri ini berlangsung. Pada suapan terakhir, istrinya berkata lirih kepada suaminya, “Bli, tiang sudah ngidam.” Mendengan kata istrinya, hati Klemik bagai disambar petir, riangnya bukan kepalang. “Tuhannnnn,,,” ujarnya berkali-kali. Diingatnya sewaktu percakapan dengan balian yang juga tetangganya. Menurut Klemik, ternyata dua mulut perempuan mesti disuapi. Usahanya yang sepuluh tahun, kini sudah membuahkan hasil, bahwa sembilan bulan lagi dirinya akan menimang-nimang bayi di pangkuannya.

            Namun persoalan lain datang. Ngidam istrinya aneh. Paginya minta nasi kuning, sorenya minta es campur. Esoknya lain lagi, paginya minta mie ayam, sorenya minta buah naga. Makanan itu hanya dicicipi, lalu tergeletak di atas meja. Akhirnya Klemik berusaha memakan sisa-sisa dari makanan tersebut. Suatu pagi, istrinya meminta dicarikan buah mangga.

            “Kalau buah mangga, gampang Mang. Yang local, yang import, yang Sudaji yang Karangasem atau Nusa, aku carikan,” jawab Klemik yang dalam pikirnya lebih menyayangi bayi yang ada dalam kandungan istrinya.

            “Tapi Bli, harus buah mangga di rumah Pak Gubernur. Dengan catatan, harus dengan cara mencuri,” pinta istrinya.

            “Kau yakin di rumah gubernur ada pohon mangga?” tanya Klemik mulai ragu. Jangankan mencuri mangga, untuk bisa masuk ke rumah gubernur saja susahnya minta ampun.

            “Ya, yakinlah Bli. Pernah nonton di TV ada orang nyanyi-nyanyi di rumah gubernur dan ada pohon mangga sedang berbuah. Klemik hanya bisa menjawab singkat, “Baiklah.” Sambil berkata dalam hati, “Tuhan, tolong saya.”

            Dengan tampang wong ndeso, Klemik meminta ijin ke Satpam yang berjaga di rumah gubernur. Jantungnya berdebar kencang, padahal pesan istri harus mendapatkan mangga dari hasil mencuri. Padalah untuk bisa masuk pekarangan rumah gubernur saja mesti membawa KTP dan ditanya macam-macam.

            “Permisi pak, tiang minta tolong. Istri saya ngidam, ngidamnya mangga yang tumbuh di rumah pak gubernur, boleh minta satu saja pak?” mendapat jawaban tamunya, Satpam yang berjaga tertawa ngakak.

            “Sekalian saja, ngidamnya minta nasi di rumah presiden. Biar lebih seru, hahahahaha,,,” Klemik menunduk malu. Lalu Satpam tersebut memberitahu Satpam lainya yang berjaga di pintu depan. Mereka sama-sama tertawa.

            “Ngidih olas pak, tolong saya. Istri saya ngidamkan mangga di rumah pak gubernur,” pintanya sekali lagi. Lalu salah satu Satpam mendekati Klemik. Satpam itu berbisik ke Klemik, “Kamu takut istri ya, kamu bodoh. Beli saja mangga di pasar dan bilang mangga itu dari rumah gubernur,” kata Satpam sambil ngeledek.

            “Ngidih olas pak, satu mangga saja. Tiang menikah sepuluh tahun, baru istri saya hamil. Ini lagi ngidam dan mintanya mangga disini,” jelas Klemik memelas, sambil berkata dalam hari, “Tuhan, tolong saya,”

            “Mari ikut aku ke belakang. Logat kamu seperti logat Beleleng, aku juga nak Beleleng. Pedalem cang cai nok,” jelas Satpam. Klemik berbingar hatinya. Usahanya mendapat mangga di rumah gubernur berhasil. Sambil berjalan menuju pohon mangga, Klemik melihat-lihat sekitar rumah gubernur di Jaya Sabha. Luas dan lapang. Lalu matanya tertuju pada doa pohon mangga di depan pelinggih rumah gubernur. “Yess,” sebut Klemik senang.

            “Neh, jolok sendiri. Cukup lima buah saja, jangan lebih,” kata Satpam sambil menjulurkan galah bambu. Klemik menjolok mangga tanpa mesti harus memilih. Lima buah mangga jatuh ke tanah dan Klemik memungutnya. Sambil mengembalikan galah bambu, Klemik mengucapkan terimakasih.

            “Sampun pak, terimakasih, terimakasih. Eh, pak! Minta kreseknya satu,” pinta Klemik.

            “Bah, kamu ini ada-ada saja. Bungkus pakai bajumu. Sekarang sudah tidak bisa menggunakan kresek. Kemana-mana kau mesti bawa tas sendiri,” jelas Satpam setengah membentak. Klemik memasukkan mangga itu dalam bajunya. Perutnya terasa nempel dengan getah mangga. Namun ia senang bukan kepalang. Bahwa permintaan istrinya yang tersulit sudah ia penuhi.

            Sesampai di rumah, dengan berbingar Klemik menyapa istrinya, “Mang, ini mangganya. Aku dapatkan barusan di rumah Gubernur,” jelas Klemik sambil menyerahkan buah mangga. Istrinya menatap Klemik dari ujung kaki sampai kepala. Klemik juga mulai gusar, jangan-jangan istrinya tidak percaya, bahwa mangga itu benar-benar hasil meminta dari rumah gubernur. Lalu istrinya duduk dari ranjang tempat tidurnya sambil terkekeh,

            “Hahahaha, aku tidak percaya ini mangga dari rumah gubernur, tidak percaya,” ledek istrinya.

            “Sumpah demi Tuhan, ini mangga di rumah Gubernur, sumpah,” jawab Klemik meyakinkan.

            “Kalau ini benar mangga dari rumah gubernur dan hasil dari mencuri, maka aku pastikan mukamu babak belur dipukul Satpam, aku pastikan pada lenganmu ada bekas borgol, hahahahahaha,” kata istrinya yakin.

            “Ya, Mang, ini mangga dari rumah gubernur. Aku takut mencuri dan aku meminta dengan baik-baik ke Satpam,” jelas Klemik. Lalu buah mangga itu dilemparkan satu persatu ke halaman rumahnya,

“Ulangi lagi,” bentak istrinya dan berkata, “Sekarang aku meminta buah durian dari Bu Min,” pinta istrinya. Seingat Klemik, Bu Min adalah musuh bebuyutan istrinya. Bermusuhan hanya karena giliran narik uang arisan BTN. Apakah sekarang sekarang harus meminta kesana.

“Tuhan, tolong saya,” ujar Klemik lirih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…