RUMPI WAYANG – kelirbali.com
oleh Agus Dermawan T. Perjalanan turis siluman di 41 negara.
Membandingkan nasib Desa Penglipuran dan
Desa Adat Tenganan di hari-hari sekarang,
sambil mengenang Desa Shirakawa di Jepang dan Kota Kuno. Fenghuang di Tiongkok. Catatan fakta wisata budaya.
**
Sebagai pengamat kebudayaan dan kesenian, Bali adalah bagian dari tatapan saya dari kurun ke kurun. Suatu hal yang menyebabkan saya hampir seratus kali berkunjung ke pulau eksotis ini. Namun anehnya, atau bodohnya, dalam kunjungan sejak tahun 1970-an itu Desa Penglipuran, yang terletak Kabupaten Bangli, 45 kilometer dari Denpasar, selalu luput dari perhatian.
Namun rasanya tak salah-salah amat jika pada kurun kemarin saya tidak menaruh perhatian kepada desa itu. Karena – meski pernah mendapat penghargaan Kalpataru pada 1995 – sampai dekade pertama abad 21 desa ini tidak diuar-uarkan sebagai destinasi wisata. Brosur-brosur yang tak henti menjual Kintamani, Bedugul, Tanah Lot, Sanur sampai puitisnya sunset Kuta, tak sedikitpun menyinggung Desa Penglipuran.
Itu sebabnya, setelah pandemi Covid-19 kelihatan mereda, saya membulatkan niat mengunjungi desa wisata itu. Untuk menghindari keramaian, saya memilih berkunjung pada beberapa pekan setelah Idul Fitri 2022. Saya pikir Desa Penglipuran sudah tidak terlalu ramai. Ternyata apa yang terlihat sungguh berbeda. Di hari kunjungan saya, eh, para wisatawan dari seluruh Indonesia masih datang berduyun!
Tetapi keramaian itu justru membesarkan hati. Apalagi ketika para wisatawan tampak sangat apresiatif terhadap adat budaya dari suatu suku atau desa. Kelihatan sekali mereka mengamati, menghayati dan bahkan mengagumi dengan sukacita.
Beraroma Bunga,,
Syahdan pada 2016 Desa Penglipuran (bersama Desa Mawlynnong di India dan Desa Giethoom di Belanda) dihadiahi predikat “Desa Terbersih di Dunia” oleh majalah internasional Boombastic. Predikat itu tampak jelas di mata saya. Desa seluas 112 hektar dengan 226 kepala keluarga itu memang resik. Parit-paritnya mengalir rapi. Ratusan rumah hampir semuanya beratapkan jalinan bambu, lantaran desa ini memang dikelilingi hutan bambu. Dan semuanya terbangun dengan tata desa yang mengikuti peta planologi khas Bali : utama-mandala (wilayah para dewa), madya-mandala (wilayah manusia) dan nista-mandala (wilayah orang mati).
Semua bangunan di desa itu rapi berjajar bagai pager-ayu dari Utara ke Selatan. Di sepanjang tepian jalan bertumbuhan perdu, mawar, kembang sepatu dan pohon kamboja yang selalu berbunga. Suatu hal yang menyebabkan Penglipuran merebakkan keharuman kapan saja. Pada bagian lain, tradisi bersih warga menyebabkan tidak sejumput pun sampah yang terlihat di halaman atau di jalanan. Yang bikin salut, untuk menghindari polusi, desa ini melarang kendaraan bermotor masuk dalam wilayahnya.
Bahwa desa ini sangat taat tradisi Hinduistik, terlihat lewat segala perangkat yang digunakan di situ. Alat-alat dan benda-benda upacara keagamaan tertaruh di mana-mana. Bahkan kulkul (kentongan) pada saat-saat tertentu dibunyikan di tengah keramaian wisata. Dan para wisatawan yang datang dari mana pun dan dari agama apa pun melihat itu sebagai bagian yang khidmat dari desa. “Sepanjang keramaian Penglipuran, tidak pernah ada kejadian orang menginjak atau menyepak sesajen,” kata seorang pemandu sambil menunjuk sesaji canang di pinggiran jalan. Artinya, Desa Penglipuran diam-diam menenggelamkan siapa pun untuk hanyut dalam keadaban tradisi di situ. Walau tak berarti Desa Penglipuran tidak mengikuti zaman. Para sesepuh desa mengatakan bahwa Penglipuran menerapkan konsep desa kala patra. Yang maknanya : meski pergerakan sosial desa harus berbasis tradisi, warga boleh mengikuti kemauan zaman. Salah satu contohnya adalah penerimaan warga atas keinginan wisatawan untuk “jadi orang Penglipuran”.
Maka dalam tamasya itu saya melihat banyak wisatawan perempuan yang datang berkerudung, mendadak ramai-ramai mengenakan payas agung, busana pengantin Bali, dengan bunga kamboja menghiasi telinga. Mereka berjalan tumuk-tumuk untuk kemudian berpotret-ria di depan pura. Tak sedikit lelaki Tionghoa yang sekonyong-konyong bersarung dengan udheng Bali menghiasi kepala. “Antum boleh juga seperti dia. Pantas sekali kelihatannya,” kata Fuad Nabhan, pemuda Arab-Jawa dari Surabaya kepada teman-temannya. Padahal, dulu sekali, warga Penglipuran tidak ingin “orang asing” menggunakan pernak-pernik adatnya. Tapi konsep desa kala patra mengajaknya menyatu dengan semua.
Cerita munculnya desa ini pun menarik. Alkisah pada abad 19 Dewa Gede Putu Takeban III ingin membangun Bangli untuk menjadi lebih baik. Maka dipanggillah warga Desa Bayung Gede. Warga desa ini memang terkenal terampil, patuh kepada agama dan adat, serta punya kecerdasan dalam mengelola aspek kehidupan yang apik. Keterlibatan warga Desa Bayung Gede itu atas restu Pemerintah Hindia Belanda. Dari cerita ini lalu muncul dugaan bahwa : kebersihan Penglipuran adalah hasil gabungan budaya Kerajaan Bangli Awal (abad ke-16) yang dibawa warga Bayung Gede dengan budaya bersih orang Belanda. Masyarakat Belanda sejak dulu memang punya ungkapan Reinheid is waardigheid (Kebersihan itu martabat).
Untuk melancarkan pekerjaan, warga Bayung Gede ditampung di sehamparan wilayah yang disebut Kubu Bayung. Di wilayah ini mereka beranak-pinak, yang kemudian jadi Desa Penglipuran itu. Sedangkan nama Penglipuran dipercaya berasal dari kata pengeling dan pura. Kata pengeling artinya tempat untuk mengumpulkan ingatan, dan pura artinya luhur. Jadi Desa Penglipuran adalah desa untuk mengingat-ingat keluhuran. Sementara saya sendiri mengartikan sebagai desa “Penglipur Lara”, atau desa oase setelah setiap jam dibekuk sumpek dan polusinya Jakarta.
Terkenang Shirakawa dan Fenghuang
Pesona Desa Penglipuran ini segera membawa ingatan saya kepada Desa Shirakawa (Desa Sungai Putih) di Jepang. Desa kuno ini berada di lembah Sungai Shokawa, di wilayah Tokai-Hokuriku, Honshu. Pada 1995 Shirakawa dikukuhkan sebagai Situs Warisan Peradaban oleh Unesco.
Sebagaimana bangunan di Penglipuran, rumah-rumah di Shirakawa memiliki desain arsitektur yang unik. Dengan format bangunan yang besar-besar (berlantai 3 sampai 4), struktur kayu rumah itu menyerupai tangan sedang berdoa dengan ujung telapak tangan mengarah ke langit. Itu sebabnya bangunan dinamai gasso-zukuri (tangan memuja Tuhan). Kala musim dingin tiba, lantai satu bangunan biasanya tertutup salju, yang menyebabkan 2.000 warganya hidup di lantai dua atau tiga. Yah, untuk soal musim ini, Penglipuran jelas lebih nyaman!
Seperti juga Penglipuran, Shirakawa semula adalah tempat yang selama ratusan tahun dilupakan orang. Padahal pemandangan lingkungannya sangat indah. Dan karena letaknya dikelilingi bukit-bukit besar, maka untuk menuju ke sana wisatawan harus melewati terowongan batu yang amat panjang. Satu perjalanan yang menghadirkan sensasi tersendiri. Sedangkan aspek kebersihan seluruh desanya memang alamak! Air berbagai julur parit di situ sangatlah jernih, sehingga seperti siap diminum. Ikan-ikan pun berenang dengan riang! Tak ada secuil sampah yang kelihatan.
Dari Shirakawa, ingatan mendadak meloncat lagi ke kota kuno di Tiongkok, Fenghuang. Kota unik dan cagar peradaban ini terletak di Prefektur Xiangxi, Provinsi Hunan. Fenghuang adalah kota yang dipelihara kehidupan kunonya, untuk dijadikan destinasi wisata.
Fenghuang mulai dipilih sebagai wilayah hunian pada abad ke-15, era Dinasti Ming (1368-1644). Pilihan itu konon atas petunjuk seekor burung phoenix atau burung api. Posisinya di tepian sungai Tuojiang, di bawah lindungan Tembok Besar wilayah selatan. Di kota ini bangunan rumah tinggal, rumah makan, sampai jiu dian (warung tuak), dibiarkan berdiri dalam atmosfer arsitektur aslinya. Semua itu diaksentuasi Yang jia zhi tang (Aula sembahyang marga Yang ), Hong qiao feng yu lou (Loteng Hujan Angin) sampai Wan shou gong (Istana Umur Panjang) yang klasik dan anggun. Sementara pagoda Wan Ming tampak berkilau apabila berjumpa dengan cahaya matahari atau rembulan. Dan perahu-perahu kuno yang dinakhodai wanita muda nan cantik, berseliweran mengangkut wisatawan. Nakhoda itu mendayung sambil menyanyi dalam suara tinggi, yang selalu diakhiri salam : “Yuhuuuu…hweei!”
Fenghuang sangat berhasil menghidupkan segala aspek kekunoannya. Jalanannya tetap beralas batu-batu zaman dulu. Ada jembatan setapak dari kayu dan batu yang membelah bagian sungai yang paling dangkal. Ada sejumlah gadis berpakaian tradisional suku Miao yang berlalu lalang, sambil menyewakan busana untuk menciptakan foto kenangan.
Bagi yang suka kuliner zaman baheula, Fenghuang meladeni dengan riuh-rendah. Lantaran jenis penganan yang dijual juga mengiblat ke masa lalu nan jauh. Saya melihat beberapa lelaki membuat ting-ting kacang. Butir-butir kacang itu dihaluskan dengan pukulan palu segede kepala kerbau. Suaranya yang mak gedebug kadang bikin kaget. Maklum, persepsi saya tentang ting-ting terlanjur lembut manis mendayu dan lucu, seperti Ayu Ting Ting. Namun saya lebih terkejut atas kenyataan lain, yakni toko yang memasang pengumuman: “Tidak menerima pembeli dari Jepang!” Emosi anti Jepang ala Mao Tse Tung tampak masih membara di dada si pedagang. Karena itu, orang Jepang yang belanja di situ sering mengaku sebagai orang Singapura.
Tak terhitung wisatawan yang datang ke sini pada setiap hari. Termasuk pada musim hujan, karena Fenghuang juga terkenal sangat puitis di bawah rintik gerimis. Ya, seperti halnya Desa Penglipuran! Namun pada musim salju kota kuno ini membeku. Oya, pemandangan Fenghuang yang ditaburi lampu warna-warni juga sangat menarik ditatap pada malam hari. Apalagi dari ketinggian jembatan yang “kebetulan” melintas di atasnya.
Tenganan oh Tenganan
Pesona Desa Penglipuran, kenangan Desa Shirakawa dan Kota Fenghuang, menyebabkan saya teringat Desa Adat Tenganan, Karangasem, 50 kilometer dari Penglipuran. Semua tahu, jauh sebelum Desa Penglipuran moncer sebagai destinasi wisata, Desa Tenganan sudah melegenda di seluruh dunia. Apalagi desa ini juga memproduksi tenun Pegringsingan yang bukan main estetik. Sehingga para pelukis dan fotografer sedunia tiada henti mengabadikan gadis-gadis cantik Tenganan berbusana tenun sebagai obyek karya seni.
Saya pun bergegas ke Tenganan. Dan yang saya lihat ternyata oh ternyata : sungguh kontras dengan suasana di Desa Penglipuran. Desa Tenganan terlihat senyap. Dalam dua jam saya di sana, tak lebih dari 8 wisatawan saja yang terlihat lalu-lalang. Padahal Tenganan dipromosikan sebagai desa Bali Mula, yang menyamai Trunyan di Danau Batur, dan Bali Aga di Singaraja. Padahal desa ini juga dibalut sejarah panjang, lantaran sudah ada sejak zaman megalithikum. Alhasil rumah-rumah penduduk yang dijadikan “toko” tenun dan suvenir Tenganan asli, hadir seperti ruang-ruang sunyi.
Sementara itu sejumlah pengrajin daun lontar yang dulu demo mencipta untuk wisatawan, kini hanya terlihat seorang saja. Bebunyian gluthuk gluthuk jegreg ATBM (alat tenun bukan mesin) yang dulu digerakkan para perempuan Tenganan, digantikan oleh suara lenguh kerbau. O ya, kerbau di Tenganan dijunjung sebagai satwa gaib, karena hidupnya dipercaya dikendalikan oleh niskala (kekuatan tak berwujud). Karena itu kerbau-kerbau di Tenganan dibiarkan bebas berjalan-jalan di seputar desa, seraya menyapa para wisatawan yang dijumpainya.
Namun sedalam-dalamnya warga Tenganan “menderita”, senyum dan keramahannya tetap saja terjaga. Seorang nenek terlihat memanggil-manggil kami untuk berbelanja ke rumahnya. “Untuk penglaris! Dalam beberapa hari ini saya tidak menjual apa!” katanya. Nenek itu bercerita bahwa rumahnya (yang sangat sederhana) pernah dijadikan lokasi film Eat Pray, Love, yang dibintangi Julia Robert, tahun 2010. Karena itu, katanya, apabila kami beli barang dari situ, sama dengan beli dari rumah Julia Robert. Isteri saya agak iba, sehingga beli beberapa potong tenun ikat dari sana.
Sebelum kami pulang dari desa wisata yang senyap itu, sang nenek sempat menyampaikan harapan.
“Pak Menteri Pariwisata semoga memperhatikan kami. Janganlah wisata yang sebelah sana dibikin gemerlap, yang di sini ditinggal dan dibiarkan gelap. Bli Sandiaga….Bli Sandiaga Uno..!***(den) tulisan diambil dari borobudurwriters.id