Akar Kekerasan dan Agama, Kambing Hitam Rene Girard

Facebook
Twitter
WhatsApp

RUMPI WAYANG – kelirbali.com

oleh Tony Doludea – peneliti Abdurrachman center. Pada tahun 1157, Jayabaya, Raja Kadiri, memerintahkan Mpu Sedah untuk menulis Kakawin Baratayuda, sebagai simbol perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala, yang sama-sama adalah keturunan Raja Airlangga. Perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti kisah perang dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa, yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa.

Dalam wiracarita Mahabarata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa, yang dipimpin oleh Yudistira melawan sepupu mereka, yaitu para keluarga Kurawa, yang dipimpin oleh Duryudana. Pasukan Pandawa berjumlah 1.530.900 prajurit. Pasukan Kurawa sebanyak 2.405.700 prajurit. Jumlah seluruh pasukan yang terlibat dalam perang itu adalah 3.936.600 orang. Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra itu adalah panah, tombak, pedang, parang, kapak, golok, gada, dan sebagainya. Masing-masing pasukan dibagi menjadi 21.870 pasukan berkereta kuda, 21.870 pasukan penunggang gajah, 65.610 pasukan penunggang kuda dan 109.350 pasukan infantri. P

Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran dimulai saat matahari terbit dan berakhir pada saat matahari terbenam. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan- lawannya, dialah pemenangnya. Hanya sepuluh kesatria yang bertahan hidup dari pertempuran itu, yaitu Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma.

Bibit pertikaian antara Pandawa dan Kurawa sesungguhnya sudah tumbuh sejak orang tua mereka masih muda. Satu hari, Pandu, ayah para Pandawa membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari dan Madrim. Kemudian Destarata, kakaknya yang buta itu diberi kesempatan untuk memilih dari ketiganya. Destarata memutuskan untuk memilih Gendari. Karena buta, Destarata memilih ketiga putri itu dengan cara mengangkat satu per satu. Maka ia memilih Gendari yang mempunyai bobot paling mantap. Destarata berpikir bahwa dengan bobotnya itu, Gendari akan memberinya banyak anak.

Kejadian itu telah membuat putri dari Kerajaan Plasajenar ini murka dan menaruh dendam terhadap Pandu. Dirinya yang jelita dan mantap itu hanya mendapatkan Destarata yang kurang sempurna. Dia merasa cemburu dan iri terhadap Kunti dan Mandrim yang kurang mantap, namun mendapatkan Pandu yang sempurna. Dia lalu bersumpah bahwa keturunannya kelak akan membalas dendam kepada anak-anak Pandu. Kemudian Gendari bersama Sengkuni, adiknya itu, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, kelima anaknya itu semakin menderita. Nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka. Usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta melalui permainan dadu.

Rena Girard (1923-2015) adalah seorang pemikir Perancis yang menulis dari Kritik Sastra, Psikologi, Antropologi, Sosiologi, Sejarah, Hermeneutik Kitab Suci sampai Teologi.Ia tertarik kepada budaya ritual pengurbanan dalam masyarakat kuno maupun kontemporer, juga dalam mitos dan tragedi Yunani, yang akhirnya menghasilkan bukunya berjudul Violence and the Sacred (1972). Gagasan utama Girard, yaitu “Mimetic Desire” sesungguhnya didasarkan pada hominization, yaitu proses perubahan dari binatang menjadi manusia. Hominisasi merupakan proses evolusi kemampuan anatomi dan neurologi yang sangat rinci, yang membuat manusia dapat berkomunikasi secara simbolis.

Olehnya, kemudian hari manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu sistem komunikasi simbolik yang membuatnya berbudaya. Di sinilah asal- usul budaya manusia terbentuk. Bagi Girard budaya manusia memiliki tiga bagian yang saling terkait: (1) mimetic desire, (2) ritual pengurbanan, (3) mitos tentang pengurbanan bagi kemaslahatan manusia. Menurut Girard gabungan ketiga hal tersebut membentuk “scapegoat mechanism” (mekanisme kambing hitam). Agama yang terdiri dari ritual, larangan dan mitos adalah produk dari pengurbanan kejam tersebut. Sedangkan semua bentuk budaya manusia lainnya merupakan turunan dari keberagamaan ini.

Bentuk-bentuk budaya manusia merupakan turunan agama pengurbanan, yaitu berupa sastra, teater, hukum, ekonomi, pengobatan dan susunan masyarakat.
Dalam pandangan Girard, akar pengambinghitaman itu terletak pada gagasan tentang “mimetic desire” (keinginan mimetik). Girard menjelaskan bahwa keinginan mimetik itu adalah tanggapan instingtif seseorang terhadap orang lain, yang akan berakibat pada persaingan. Girard mendapatkan bahwa para pemikir kurang memberikan perhatian pada kenyataan, yaitu bahwa manusia itu meniru keinginan orang lain, yang berujung pada terjadinya persaingan, konflik dan kekerasan. Jika seseorang meniru keinginan orang lain, mereka akan mengingini satu hal yang sama. Mereka akan memperebutkan satu hal yang sama dan sangat mudah memunculkan persaingan di antara mereka, yang kemudian berakhir pada kekerasan.

Dalam “mimetic desire” Gerard menemukan “external mediation” (mediasi luar) dan “internal mediation” (mediasi dalam). Mediasi luar merupakan suatu bentuk keinginan psikologis, yang memang sudah ada sejak masa awal pertumbuhan seorang bayi, di mana ia mencari acuan untuk ditiru dari orang yang lebih tua. Memang hampir semua yang diinginkan oleh seseorang itu dimediasi oleh mereka. Meniru adalah kemampuan dan mekanisme dasar bagi manusia dalam belajar. Seorang anak akan meniru orang tua, saudara atau gurunya dalam proses perkembangan dan belajar.

Sedangkan mediasi dalam, mediator dan orang yang dimediasi itu saling terkait pada satu titik, yaitu mengingini hal yang sama. Mereka bersaing dan sangat sadar akan persaingan itu, sehingga membuat persaingan itu semakin sengit. Mediasi dalam ini memediasi seseorang dari dalam dan mempermudah munculnya persaingan yang dapat berakibat tragis. Proses di mana seseorang terpengaruh oleh pilihan dan keinginan orang lain disebut “mediation”.

Orang yang menjadi acuan peniruan keinginan disebut “mediator”. Misalnya, ketika sebuah produk diiklankan, proses “mediation” ini menggunakan seorang selebriti sebagai “mediator”, untuk memediasi keinginan, yaitu dengan menggugah orang untuk menirunya mengingini produk yang diiklankannya itu. Produk itu diiklankan bukan berdasarkan kualitas yang terdapat di dalamnya, melainkan hanya karena para selebriti menginginkannya. Melalui kajian tentang novel-novel yang ditulis oleh Cervantes, Dostoevsky, Stendhal, Flaubert dan Proust, Girard menemukan gagasan “mimetic desire” tersebut. Girard menambahkan bahwa asal keterasingan diri adalah ketidakpuasan seseorang dengan dirinya sendiri, ditambah dengan obsesinya untuk menjadi orang lain, dan hal ini sesungguhnya merupakan suatu usaha yang tak mungkin.

Sementara itu, selain keinginan mimetik, Girard juga menemukan adanya “metaphysic desire” (keinginan metafisik). Keinginan metafisik adalah keinginan untuk menjadi orang lain. Keinginan seseorang terhadap sebuah objek merupakan suatu bagian pendahuluan saja dari keinginan besarnya, yaitu untuk menjadi mediatornya. Gerard melihat keinginan mimetik dapat berkembang menjadi keinginan untuk menjadi mediator. Konsumen sebuah produk tertentu tidak hanya mengingini barang tersebut karena kualitasnya, namun ingin menjadi selebriti yang mengiklankan barang itu. Proses ini meletakkan orang yang mengingini itu berada dalam “mimetic double bind”. Pada satu sisi mediator mengatakan ingini barang ini, di sisi lainnya ia mengatakan bahwa engkau tidak dapat memiliki barang itu. Si mediator memperlihatkan kekurangan orang tersebut dan menghalanginya untuk meraih barang itu. Keadaan ini membuat seseorang yang mengingini membenci dan akhirnya memusuhi mediator tersebut.

Mediasi dalam dan keinginan metafisik akan menghasilkan persaingan dan kekerasan yang mengancam bahkan meneror keberadaan suatu masyarakat. Keadaan seperti ini ditandai oleh meningkatnya kebencian, marah dan dendam, yang berujung pada kekerasan. Kekerasan dapat mengarah kepada: (1) mediator (pembunuhan); (2) subjek (bunuh diri, kegilaan atau tunduk); (3) pihak ketiga, secara semena-mena (kambing hitam). Hal yang pertama dan kedua mudah untuk dimengerti. Namun yang ketiga sulit untuk diterima. Karena kemarahan itu secara enteng dan membabi buta ditimpakan kepada pihak ketiga, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kedua pihak yang bersaing itu.

Kambing hitam sebagai pihak ketiga dipandang sangat berbeda dengan pihak yang sedang bertikai oleh masyarakat. Segala kesalahan yang awalnya diarahkan kepada pesaingnya, kini dilimpahkan ke orang lain. Orang ini dianggap bersalah atas dosa seluruh masyarakat dan bertanggungjawab atas semuanya itu. Ia dipandang sebagai perwujudan yang jahat, puncak kesetanan dan pesaing terkeji bagi semua orang. Tiba-tiba secara tidak sadar masa menganiaya dan membunuh orang itu. Ia adalah kambing hitam. Pemilihan kambing hitam terjadi secara begitu saja.

Girard memikirkan bagaimana suatu masyarakat dapat keluar dari keadaan Bellum omnium contra omnes (semua melawan semua) seperti itu. Untuk mengakhiri teror tersebut, para filsuf sudah menawarkan kontrak sosial. Bagi Gerard, mekanisme kambing hitam adalah dasar kehidupan bersama umat manusia selama ini, bukan kontrak sosial seperti yang diusulkan oleh para filsuf sebelumnya. Namun Girard memandang bahwa kekerasan tidak dapat dihilangkan dalam masyarakat, tetapi hanya dapat sedikit dikurangi.

Ketika persaingan semakin meninggi dan kekerasan semakin meluap dan mengancam keberadaan semua masyarakat. Maka akan muncul mekanisme psikososial aneh, yaitu kekerasan komunal itu tiba-tiba akan ditimpakan kepada satu orang individu. Sehingga semua orang yang bersaing dan saling membenci, saat itu menyatukan upaya untuk melawan orang yang dipilih menjadi kambing hitam. Orang yang tadinya saling bermusuhan, kini menjadi teman, sebagai satu masyarakat yang bersama-sama melawan kejahatan terhadap musuh bersama.
Girard melihat bahwa manusia alamiah menjadi berbudaya bukan melalui kontrak sosial, melainkan melalui pengulangan mekanisme kambing hitam ini. Keinginan mimetik dan keinginan metafisik selalu ada dalam diri manusia. Mekanisme kambing hitam memang tidak selalu berhasil. Masyarakat membutuhkan mekanisme kambing hitam secara berkala untuk memelihara kedamaian dalam masyarakat dan membangun kembali hubungan yang baru. Kekerasan yang dilakukan oleh umat manusia telah menciptakan yang suci (the sacred), namun hal ini disalahpahami sebagai sebuah pengalaman akan yang ilahi. Kekerasan adalah hati dan jiwa yang tersembunyi dari yang kudus (the sacred). Segala sesuatu dalam kehidupan manusia didasari dan dikaitkan oleh kekerasan suci ini.
Pengurbanan adalah suatu mekanisme budaya yang bertujuan untuk mencegah berbalas kekerasan, yang dapat berujung pada kehancuran peradaban manusia. Ritual pengurbanan adalah pembalasan dendam kemarahan kepada kurban yang tidak dapat membalas dan menyerang balik. Ritual pengurbanan ini merupakan kekerasan yang “baik” untuk mengatasi kekerasan yang “jahat”. Ritual ini tidak dapat dipergunakan untuk meraih keadilan. Demikian dengan hukum modern, yang tidak mencari keadilan, namun berusaha menghukum yang bersalah dan itu merupakan rasionalisasi pembalasan dendam juga.
Pengurbanan dirancang untuk mengendalikan kekerasan yang merajalela. Racun adalah sekaligus penawar, sebagaimana arti ganda dan paradoks dari kata pharmakon. Dengan menggunakan sedikit dosis bibit penyakit tertentu akan memiliki dampak menyembuhkan. Paradoks ini tanpa perlu disadari sudah mendarah daging dalam diri manusia. Keinginan mimetik adalah sebuah masalah tetapi juga mengandung pemecahan masalah. Secara paradoks, kedamaian dan keteraturan yang dialami umat manusia ini disebabkan oleh pengurbanan kambing hitam dari yang kudus. Kambing hitam berasal dari kekerasan yang dilakukan umat manusia. Penipuan diri ini menghalangi manusia untuk mampu melihat kekerasannya. Kambing hitam tersembunyi. Kekerasan itu tertutupi oleh jejaknya sendiri. Di sini terjadi transfer ganda (the double transference). Transfer menyalahkan (blame) dan rasa bersalah (guilt) seseorang atau sekelompok orang. Kegandaan ilahi pengurbanan kejam itu diciptakan oleh proyeksi pikiran kerumunan manusia di sekeliling kurban kambing hitam. Proyeksi ini terjadi dan muncul karena ilusi dan salah pikir.

Mengalihkan kesalahan dan kebencian ke pihak lain. Memandang adanya kesatuan antara ketidakbersalahan dan kasih datang dari si korban. Menyalahkan kematian korban dan kematian itu dipandang sebagai kehendak ilahi dan karya ilahi. Kematian yang tidak berarti sama sekali. Korban tidak mati, namun hidup dalam “kekudusan”.

Perang Baratayuda disebabkan oleh karena Gendari mengingini Pandu, yang dimediatori oleh Kunti dan Mandrim. Sementara Hawa ingin menjadi seperti Allah sendiri. Cerita-cerita tersebut memberitakan bahwa telah banyak jatuh korban yang dikurbankan akibat keinginan mimetik manusia. Ki Ageng Suryamentaram (1892-1962) telah mengingatkan juga bahwa manusia itu selalu iri (meri), karena merasa kalah terhadap orang lain dan ingin melebihi orang lain. Manusia tidak pernah memahami bahwa keinginan itu bersifat tidak abadi dan selalu berubah, mulur–mungkret. Keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sehingga manusia merasa sebentar senang, sebentar susah. Kesementaraan ini yang tetap dalam diri manusia. Apabila orang mengerti bahwa rasa hidup semua manusia sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah, maka ia bebas dari neraka iri-sombong dan masuk dalam surga ketenteraman. Sehingga ketika ia mencari kekayaan (semat), kedudukan (drajat) dan kekuasaan (kramat), dengan sikap sebutuhnya (sabutuhe), seperlunya (saperlune), secukupnya (sacukupe), sebenarnya (sabenere), semestinya (semesthine) dan senaknya (sakepenake), inilah hidup tenteram.(den)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…