SENTIL DALANG – kelirbali.com
oleh Gita, pelajar komunikasi politik. PDI Perjuangan telah berkembang menjadi partai besar sejak era reformasi. Sejak itu pula partai ini banyak melahirkan nama-nama besar. Gerakannya mengakar di tengah rakyat dengan pendekatan ideologi Soekarno ; Marhaenisme, yaitu mengangkat derajat kaum marhaen (rakyat Indonesia). Tetapi tidak semua elite dan kadernya mampu memaknai sedalam itu, terutama di daerah-daerah. Contohnya di Kabupaten Klungkung, Bali.
Wibawa partai ini di tanah leluhur mayoritas orang Bali sejatinya sudah runtuh sejak berakhirnya era Ketua DPC PDIP Wayan Candra, karena tersandung kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sebagian hartanya sudah dirampas untuk negara, sebagian lagi dipegang banyak anak buahnya. Tersembunyi, hingga tak terendus Kejaksaan. Ini membuat PDIP di Klungkung jatuh sejatuh-jatuhnya, hingga kehilangan kekuasaan di eksekutif maupun legislatif saat itu.
Sejak saat itu pula situasi politik di Klungkung menjadi lebih dinamis. Tidak lagi terjebak pada fanatisme partai, tetapi pendekatan figur. Namun celakanya tidak ada figur baru yang lahir dengan kualitas yang dituntut masyarakat Klungkung. Semuanya masih anak bawang. Bahkan tidak ada yang bisa berbicara dengan pendekatan ideologi, sebagaimana PDI Perjuangan dibangun. Padahal itulah marwah partai ini berdiri.
Kader-kader PDI Perjuangan didikan Wayan Candra di Klungkung saat ini hanya sibuk jualan. Terutama mereka yang saat ini duduk di kursi DPRD Klungkung. Jualan tenaga kontrak, jualan hibah bansos, jualan proyek dan sibuk perjalanan dinas untuk mendapatkan honor dan sekadar menghibur diri ke luar daerah. Nyaris tidak ada gerakan kolektif secara politik untuk memaknai ideologi partai dalam memperjuangkan hak-hak kaum marhaen.
Buruknya legacy yang diwariskan, berkutat pada pembagian dana hibah/bansos, bancakan tenaga kontrak dan sederet persoalan lain. Kritisme yang bersifat membangun juga dibungkam dengan iming-iming bansos/hibah termasuk bagian tenaga kontrak dan sejenis sehingga demokrasi yang lahir adalah demokrasi kaum dagang. Sesungguhnya model ini telah dikritik habis seabad silam, bahwa demokrasi yang melahirkan kaum dagang akan mati dan tidak bisa berdiri tegak atas nama cita-cita pembangunan.
Kondisi ini sejatinya sangat mengkhawatirkan para sesepuh PDI Perjuangan di Bumi Serombotan. Mereka yang dulunya sebagai pendiri. Mereka yang dulunya pasang badan membela Megawati saat berjuang melawan kekuasaan Orde Baru. Mereka yang memang bangun dan berjuang dengan napas ideologi itu. Bukan sekadar menjadi partai dagang. Mereka mulai dihantui kekhawatiran dengan berbagai agenda politik ke depan. Pilpres, Pileg hingga berlanjut ke Pilkada Klungkung.
Dalam Pilpres misalnya, mampukah PDI Perjuangan di Klungkung berkontribusi dalam memenuhi target tinggi DPD PDI perjuangan Bali, menang di angka 95 persen. Sementara hasil-hasil survei terbaru selalu menunjukkan perolehan dukungan Ganjar-Mahfud justru masih di bawah Prabowo-Gibran. Bisa apa DPD PDI Perjuangan Bali dengan target tinggi itu. Bisa apa juga DPC PDI Perjuangan Klungkung untuk menunjang pemenuhan target tinggi itu.
Demikian juga terhadap Pileg 2024, upaya PDI Perjuangan untuk memperoleh target 16 kursi DPRD Klungkung dari sembilan kursi saat ini terasa seperti pepesan kosong. Alih-alih menambah jumlah kursi, justru potensinya malah sebaliknya, dari sembilan kursi DPRD Klungkung saat ini, salah satunya bisa ada yang hilang. Lebih-lebih arah angin politik dari pusat, provinsi hingga ke daerah berubah total, sejak perubahan sikap politik Presiden RI Joko Widodo.
Apalagi kalau kemudian bicara Pilkada Klungkung. Dulu, dengan kebesaran nama partai, monyet pun dicalonkan bakal menang. Kini tampak adagium tersebut terbakar jadi abu, hanyut. Nyaris tidak ada satu pun kader mumpuni dari PDI Perjuangan di Klungkung, yang menarik untuk sekadar dibicarakan. Hampir semuanya kader karbitan.
Maka tidak heran Ketua DPC PDI Perjuangan Klungkung A.A Gde Anom tidak punya nyali untuk tarung Pilkada. Kursi Ketua DPRD (mungkin) terasa lebih nyaman dan menguntungkan. Tjokorda Gde Agung, punya relasi khusus dengan DPP PDI Perjuangan Pusat, tetapi ditolak mentah-mentah para kader di akar rumput. Selain pertimbangan minim kemampuan, juga personalnya yang sulit dijual.
Kader-kader lain yang muncul, seperti I Made Satria. Baru satu periode menjadi Anggota DPRD Klungkung. Selama menjabat, nyaris tidak kelihatan jiwa PDI Perjuangannya, kritis, sensitif pada masalah-masalah fundamental masyarakat kecil dan fanatis kalau bicara kepentingan publik. Sulit mengukur kemampuannya pada level kepala daerah yang harus di tataran gagasan dan ide-ide besar untuk membuat daerah kecil seperti Klungkung menjadi lebih maju dan punya daya saing. Sebab Klungkung saat ini membutuhkan orang berpengalaman. Mengerti etika birokrasi, paham pembangunan besar ekonomi dan jeli memberdayakan potensi daerah untuk mengangkat derajat Klungkung sebagai daerah terkecil di Bali.
Saking buntunya PDI Perjuangan Klungkung untuk menemukan calon yang tepat pada Pilkada Klungkung, opsi-opsi yang mulai muncul justru bukan jalan PDI Perjuangan banget. Yakni dengan mem-PDI-kan tokoh-tokoh yang bukan kader. Elite PDI Perjuangan melakukan pendekatan kepada sejumlah tokoh yang dianggap mumpuni. Seperti mantan Wakil Bupati Klungkung I Made Kasta, yang notabene kader militan Partai Gerindra. Ada juga I Made Wijaya, seorang pengusaha asal Nusa Penida yang dulunya kader Partai Golkar.
Lalu, banyak pertanyaan masyarakat muncul dalam setiap diskusi-diskusi politik, menyikapi dinamika yang terjadi belakangan ini. Sekrisis itukah sebuah partai sebesar seperti PDI Perjuangan, untuk menemukan calon pemimpin selanjutnya dari internal partainya? Ini menjadi sebuah situasi genting yang sedang dialami PDI Perjuangan Klungkung untuk tetap bertahan dan eksis. Jika tidak disikapi dengan benar dan tepat oleh induk partai, maka PDI Perjuangan Klungkung ke depan akan semakin suram.
Situasi ini juga akan dipengaruhi secara eksternal, dimana partai-partai besar lain, seperti Partai Gerindra maupun Partai Golkar dan lainnya, konsolidasinya semakin kuat. Strategi dalam menghadapi setiap pertarungan juga relatif lebih matang dengan hitung-hitungan yang konkret. Kalau bicara Pilkada Klungkung, partai-partai ini juga punya kader sendiri yang dinilai mumpuni. Sebut saja Partai Gerindra, antara Wayan Baru sebagai Ketua DPC Partai Gerindra Klungkung dan seniornya I Made Kasta. Partai Golkar Klungkung juga tidak ketinggalan, ada nama Luh Ayu Ari Ningrum seorang pengusaha, sekaligus Ketua DPD II Partai Golkar. Nama lain sempat berembus adalah Komang Sumajaya, Wayan Subamia, Komang Suantara, Ketut Gunaksa.
Apalagi arah angin politik saat ini sangat menguntungkan partai-partai di luar PDI Perjuangan. Hal ini tidak bisa dianggap sepele, jika PDI Perjuangan Klungkung mau tetap eksis sebagai leader di Bumi Serombotan. PDI Perjuangan Klungkung ke depan harus mampu membangun komunikasi politik yang efektif dan kekinian dengan masyarakat. Kemudian harus kembali kepada napas perjuangan partai yang berideologi Soekarnois. Berjuang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan. PDI Perjuangan Klungkung harus mampu menunjukkan itu dan konkrit.
Jika tidak mampu melakukan itu, hati-hati. Cerita Wayan Candra jilid II berikutnya akan berlanjut kepada kader-kader yang dilahirkannya dengan ilmu dagang tadi.(den)
(foto diambil dari Medsos PDIP Klungkung)