SENTIL – kelirbali.com
Pelaksanaan tiga hari Festival Nusa Penida 2023 telah ditutup. Saat pembukaan disebutkan setiap harinya Nusa Penida dikunjungi sebanyak 12.000 wisatawan, yang artinya pundi-pundi duit buat kesejahteraan warga Nusa Penida sudah di depan mata. Hanya saja, saat pembukaan sepi dan gaungnya hanya riuh bawah tenda. Tamu undangan datang dengan manggut-manggut dan sebagian undangan pulang usai seremonial pembukaan. Menginjak pukul 10.00 Wita, pengunjung mulai sepi dan mencari tempat berteduh kepanasan.
Pada mimbar, dengan semangatnya Bupati Klungkung membeber cerita kesuksesan selama menjabat, mendekati 10 tahun menjadi memegang tongkat estafet orang nomor satu. Saat berpidato, tamu undangan berpikir, apakah sedang berkampanye atau memang benar festival. Tamu undangan ketawa-ketiwi atau ketawa cekikikan dan berharap semoga pidato segera berakhir. Mendengar pidato yang selalu berulang yang sama dari tahun sebelumnya, orang di sekitarnya paham, bahwa itu gestur mengamini; tidak benar seperti itu.
Aplaus? Ternyata tidak. Warga sekitar panggung hanya bisa menarik nafas sengau berdebu dan dalam hati berpikir di rumah tidak air untuk mandi nanti sore. Masih di mimbar karpet merah itu, berulang terdengar Nusa Penida sudah maju dalam hal pariwisata, di klaim kesuksesannya untuk dikenang. Tepuk sorai tak kunjung berbalas dengan pidato di podium. Di sudut pagelaran acara, pada sebuah warung terdengar warga berucap, apa tujuan sebenarnya festival sehingga penting digelar di saat krisis dan dahaga air. Sangat penting untuk digelar menghabiskan ratusan juta, belum termasuk mereka yang terpaksa menyumbang kontribusi sebagai dukungan.
Tidak ada satu pun terdengar, bahwa persoalan di depan yang akan dihadapi sedemikian beratnya, sedemikian rumitnya yang membutuhkan energi besar untuk mewujudkan mimpi leluhur Nusa Penida. Bahwa Pulau Nusa Penida adalah kawasan spiritual yang membutuhkan sentuhan tangan-tangan halus, sehingga suasana kebatinan pulau tersebut terjaga. Tidak terdengar satu kata pun “Maaf” ketika keluhan atau jeritan akan dahaga air warganya nyaring terdengar. Ironis lagi, tidak jauh dari perhelatan ratusan kendaraan antri BBM, berebut dolar agar dapurnya bisa berasap.
Nusa Penida satu kecamatan dengan 16 desa. Sebagai pulau kecil dengan penduduk sekitar 50.000 jiwa dituntut memberikan kontribusi yang besar dari sektor pariwisata. Dengan kata lain, Nusa Penida sebagai sapi perahan dalam mimpi bisa menghasilkan ratusan miliar per tahun. Bisa jadi ini sebuah pemikiran keserakahan, ibarat ayam betina, “Kamu cari makan sendiri, dan telurmu aku rampas.” Pandemi waktu lalu sudah menjadi pengingat, tetapi sayang ambisi itu masih ada. Jauh di balik keserakahan itu, Pulau Nusa Penida dengan warganya hanya ingin tenang, setenang laut di sekitarnya. Masyarakatnya hidup berkecukupan, cukup ada air, cukup ada beras, listrik tidak byar-pet, lalulintas lancar dan harga sembako sama dengan di Bali daratan. Maka tercipta hidup selaras di pulau dengan warisan tetua sebagai pulau sentral spiritual.
Kini, tersaji dihadapan pengunjung, pariwisata tumbuh liar. Eksploitasi alam berlebihan dan tidak terkendali. Desa yang dulunya tenang, ketika pariwisata merangsek masuk timbul kemacetan dimana-mana. Turis pelancong jadi korban; jatuh, tenggelam, meninggal. Bahkan, ada yang hilang tak berbekas. Tidak ada yang memetik keuntungan, selain kepada pungutan liar tidak bertanggungjawab. Saat ini masih tersaji pula warga Nusa Penida bergelut dengan kekeringan di tengah derasnya teknologi, beras sulit dan mahal, jalan rusak, stunting, sarana pendidikan rusak, guru malas mengajar dan ragam masalah sosial pelik lainnya.
Gaya-gayaan festival macam ini hanya lah seremonial, gaungnya hanya terpampang di media sosial; tidak lebih. Usai Festival, kehidupan kembali berjalan bahwa masyarakat kecil tetaplah berjuang menyelesaikan masalahnya sendiri, bertahan hidup di tengah buaian gemerincing pariwisata. Tentu sentilan ini akan membuat banyak pejabat yang tidak nyaman, marah dan tersinggung. Sentilan ini juga mewakili sebagian keluhan warga Nusa Penida yang didambakannya sejak puluhan tahun silam.
Dalam nurani kebanyakan, setiap bulan pun festival bisa dilaksanakan dengan catatan; air bersih terdistribusi dengan baik, harga sembako terjangkau, ternak peliharaan mendapat pakan dengan baik, sekolah dengan fasilitasnya yang memadai, membeli BBM tidak perlu antri, lalulintas lapang tanpa macet, warga luar pulau bisa bersembahyang dengan khusyuk dan sederet keindahan lain.
Yang didapati masih sama. Ke arah Barat dari Batunugggul, di sepanjang garis pantai ada bangunan tak bertuan ditinggal petani rumput laut, terlihat suasana kumuh sampah berserakan. Teriakan warga juga sudah parau, bahwa Telur Emas yang dijanjikan menetas tidak kunjung tiba. Mereka masih menghadapi persoalan dasar kehidupan, air dan harga pangan yang tidak terjangkau. Sesekali, mereka juga berdoa. Membuat orang lain menjadi miskin adalah dosa dan dosa yang tidak terampunkan bila seorang pemimpin membiarkan semua itu terjadi.(tan)