Perjalanan Politik Suwirta – Terbang Tinggi Bersama Garuda, Jatuh dan Membusuk di Kandang Banteng

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh : Bhomantaka 

KLUNGKUNG, kelirbali.com
Perjalanan Nyoman Suwirta dari seorang karyawan koperasi hingga menjadi bupati, menjadi sebuah kejutan di dunia politik. Kemunculannya kala itu, bak hujan di tengah cuaca panas terik seperti saat ini. Muncul sebagai figur dengan jejak kinerja melahirkan banyak unit usaha di Koppas Srinadi, dia digadang-gadang bisa membawa perubahan di tengah fanatisme orang Nusa Penida sebagai kaum marginal. Memasuki Pilkada 2013, Partai Gerindra berlambang kepala burung garuda memberinya “karpet merah” dengan melamarnya menjadi calon bupati, hingga mengantarkannya memenangkan persaingan menuju Klungkung Satu. Bahkan, dua periode.

Dengan segenap penilaian publik bahwa dia mampu menjadi pemimpin di Klungkung, segudang harapan mengiringi langkahnya untuk membawa perubahan yang lebih baik. Terutama Nusa Penida. Kala itu, dia seperti pahlawan. Muncul sebagai sosok yang bersih, diantara banyak persoalan hukum yang membelit mantan Bupati Klungkung Wayan Candra beserta seluruh anak buahnya di lingkungan birokrasi. Dia eksis sebagai politisi dari partai yang tidak populis di Bali saat itu, Partai Gerindra. Dukungan Partai Gerindra sangat total kepadanya, sebagai satu-satunya kepala daerah di Bali dari partai bentukan Prabowo Subianto itu. Tidak hanya dukungan politik, bahkan juga relasi hingga cuan.

Momentum dia dapatkan saat Pemilu Legislatif 2014. Dengan memiliki bupati, Kursi Partai Gerindra di Klungkung naik tajam, dari dua kursi menjadi delapan kursi. Gerindra menjadi partai pemenang dan merebut posisi Ketua DPRD Klungkung dari PDIP. Hasil ini mampu diraih, karena disaat bersamaan kekuatan PDIP di Klungkung, runtuh akibat kepercayaan publik tergerus serendah-rendahnya setelah kasus-kasus hukum Wayan Candra kian bermunculan. Perolehan delapan kursi juga bertahan pada Pemilu 2019. Perkembangan pesat Partai Gerindra menguatkan posisi Suwirta secara politik. Gerindra pun total mengawalnya dari gempuran narasi negatif. Bahkan tidak hanya urusan politik dan kebijakan, hutang-hutang Suwirta pun dilunasi oleh induk Partai Gerindra.

KEMESRAAN Gerindra-Suwirta mendadak rusak, memasuki periode kedua kepemimpinan Suwirta sebagai Bupati Klungkung. Tahun 2019 Suwirta justru menyatakan mundur sebagai kader Gerindra. Sejarah berdarah-darah Gerindra menjadikannya sebagai orang nomor satu di Klungkung, seketika hanya menjadi masa lalu tak berarti. Istilah politisi kutu loncat memang sudah biasa, tetapi khusus untuk keputusan politik Suwirta ini, bagi sebagian pihak terkesan sangat pragmatis. Banyak orang kemudian me-review ulang, penilaiannya kepada Suwirta dari berbagai perspektif. Termasuk apa saja yang sudah dia kerjakan. Publik mulai kritis terhadapnya. Sikap demikian membuka mata publik, terhadap etika politiknya.

Perubahan Suwirta dimulai dari sini. Dari figur yang lahir sebagai antitesis PDIP, keluar dari Gerindra, dia justru melanjutkan perjalanan politiknya di PDIP, gerbong partai yang paling dibenci masyarakat Klungkung saat era Wayan Candra karena korup. Penulis meyakini ada alasan fundamental yang mendasari kepindahannya itu, bukan sekadar alasan karena dikeluarkan dari grup whatsApp DPC Partai Gerindra Klungkung oleh kader militan Gerindra Ketut Juliarta. Suwirta hanya ibarat pion yang bersedia mengambil langkah apa saja, jika disuruh oleh tuannya. Sosok di belakang layar ini, adalah “king maker” dari perjalanan politik seorang Suwirta. Bahkan juga saat era Bupati Wayan Candra. Dia adalah sosok sesungguhnya yang mengambil keuntungan dari dinamika politik yang terjadi di Klungkung selama hampir dua dekade.

Kaki tangan king maker ini, kini juga sedang bergerilya mencari pion baru penerus Suwirta menjelang Pilkada Klungkung 2024 nanti. Pion baru ini tidak akan jauh-jauh dari circle Suwirta, layaknya estafet kepemimpinan dari Wayan Candra ke Suwirta, dimana Suwirta sesungguhnya adalah ‘anak ideologis’ dari Wayan Candra. Candra dan Suwirta sejak dulu banyak pautan kartel bisnis yang saling mengamankan. Maka wajar saja kemudian publik mencurigai Koppas Srinadi yang dulunya hanya koperasi kecil, menjelma menjadi koperasi terbesar di Bali, meski masalah di dalamnya kini tidak kalah besarnya. Tinggal tunggu saja, apa yang akan memicunya terbongkar habis.

Sebagai anak ideologis Wayan Candra, maka wajar saja kini setelah selesai menjabat, Suwirta pulang ke rumah pribadinya diantar para kader militan banteng PDIP. Pengkondisian itu dilakukan jauh-jauh hari, karena dikhawatirkan masyarakat umum tidak akan ada yang datang hanya untuk menangisinya. Bahkan, prosesi pamitan ini diiringi gong baleganjur layaknya prosesi Ida Batara Turun Kabeh. Luar biasa memang kemasannya. Menipu kita semua dengan dramaturgi air matanya beserta para kroninya. Sebagai bahan kontemplasi kita bersama sebagai manusia yang sangat percaya dengan adanya karma, akankah senjakala Suwirta juga kurang lebih sama dengan Wayan Candra? Kita lihat saja nanti, meski para pembenci Suwirta sangat meyakini hal itu terjadi. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…