Mati Ketawa Ala Pan Balang Tamak

Facebook
Twitter
WhatsApp

ESAI – kelirbali.com
Oleh demy. Seteguk racun dalam botol keramik dikirim dari istana. Racun paling hebat dari ahli racun dikirim, guna mengakhiri tingkah polah Balang Tamak, yang suka iseng, jahil dan membuat warga desanya tidak berdaya. Pesan dari raja sangat singkat, padat dan jelas, bahwa Balang Tamak harus menenggaknya, sampai habis tanpa pertanyaan dan tanpa pembelaan. Matinya Pan Balang Tamak, mirip seperti mati ketawa ala Socrates ribuan tahun yang silam karena pikirannya dianggap meracuni masyarakat. Namun, ide dan gagasannya tentang dunia sampai saat ini masih kita perdebatkan, terutama dunia ide atau paling tidak pemikiran tentang masa depan seperti apa yang kita mau.

Balang Tamak sendiri sesungguhnya sudah tahu, bahwa dirinya akan berhadapan dengan maut dan menemui ajalnya. Tidak ada pilihan lain, kecuali meminumnya dihadapan punggawa kerajaan. Sepekan sebelum kematiannya, kepada istrinya disuruh mencari Tamulilingan sebanyak yang ia dapatkan. Sedangkan Balang Tamak sendiri lebih banyak berada di rumah dan bersiap menanti eksekusi dari raja. “Istriku, carilah Tamulilingan sebanyak yang engkau dapat,”pinta Balang tamak kepada istrinya. Dan sebelum menenggak racun, tanpa keraguan sedikitpun, Balang Tamak meminta kepada istrinya untuk melaksanakan rencana seperti apa yang sudah dipesankan. Dengan sekali teguk tanpa keraguan Balang Tamak menenggak racun, dan Mati.

Melihat dengan mata kepala sendiri, sang punggawa akhirnya kembali ke istana dan melapor bahwa Balang Tamak menenggak racun dalam sekali teguk. Sang Raja untuk sementara puas. Puas bahwa pikiran-pikiran masyarakat tidak lagi diganggu oleh akal bulus Balang Tamak. Namun kenyataan berbicara lain. Beberapa jam kemudian, hulu balang kerajaan melapor bahwa Balang Tamak masih hidup. Bahkan Balang Tamak disebutkan sedang menguncarkan mantra-mantra di Balai Dangin. Raja memiliki dua pemikiran, racun yang dikirim tidak sampai atau Balang Tamak pura-pura menenggak racun. Racun yang setara LD50 tidak mungkin tidak membunuh dalam hitungan detik. Punggawa juga meyakinkan bahwa racunnya ditenggak sampai habis tak bersisa. Akhirnya raja mengambil kesimpulan bahwa racun buatan dukun istana adalah racun palsu. Sang raja akhirnya menenggak racun tersebut, yang pada akhirnya tidak sampai lebih dari dua menit, raja sekarat dan mati.

Skenario yang disiapkan Balang Tamak berjalan dengan mulus. Saat tubuh Balang Tamak sudah tanpa jiwa, istrinya membawa mayat suaminya ke peti harta karunnya. Sedangkan harta karunnya dipindah ke peti mati Balai Dangin. Istrinya terus menangisi suaminya di peti mati yang sesungguhnya berisi seluruh harta karunnya. Di belakang Balai Dangin, puluhan Tamulilingan hasil tangkapan diikat benang dan bersuara nyaring, seolah-olah Balang Tamak sedang merapal mantra. Saking bencinya warga pada Balang Tamak, tidak ada satu pun tetangganya yang melayat. Istrinya sendirian menangisi peti mati suaminya. Dua orang maling datang, mengambil peti harta karun Balang Tamak dan dibawa ke sebuah pura untuk berbagi hasil curian. Namun apa daya, ketika dibuka selain bau busuk, tanyata harta karun yang diharapkan hanyalah mayat Balang Tamak. Maling lari tunggang langgang. Balang Tamak, hidupnya bikin susah orang, matinya juga bikin susah.

Karya cerita Pan balang Tamak, menurut dugaan bertema Siwaistik. Hanya saja cerita yang berkembang selesai pada kematiannya. Padahal, cerita utama Balanmg Tamak adalah bagaimana argumen roh Balang Tamak ketika berhadapan dengan Sang Suratma dan Dewa Yama ketika memutuskan berapa lama dan di neraka mana Balang Tamak bakal dijebloskan. Balang Tamak dengan tangkas memberi argumen apologit bagaimana tingkah lakunya di bumi saat hidup.

Balang Tamak mengajukan protes kepada Sang Suratma, kenapa mesti tercatat mati. Dia berargumen bahwa dirinya belum selesai menjalankan misinya kepada umat manusia. “Saya tidak menipu masyarakat, justru memberi pencerahan. Masyarakat modern saat ini tidak bisa diberikan perintah dengan kalimat berkulit, bersayap apalagi kalimat majas. Ini bukti masyarakat tidak mau belajar,” sanggah Balang Tamak. Di tambah lagi, alasan-alasan berkait tipu daya yang dilakukan terhadap masyarakat. “Jaman sudah berubah, berubah jauh. Negara tetangga sudah jauh terbang ke Bulan bahkan ke Planet Mars, kita tidak bisa diam di tempat. Hukum-hukum lama mesti diperbaharui,” sanggahnya lagi.
Balang Tamak lalu mencontohkan, di negeri luar sana sudah menemukan patokan waktu yang disepakati dunia yaitu jam, maka tidak elok lagi mendengat ayam berkokok di pagi hari sebagai pengingat waktu.

Baik Dewa Yama dan Sang Suratma kewalahan menjawab argumen tokoh ini. Kedua petinggi Surga Neraka akhirnya menghadap petinggi Surga dan hadir langsung Dewa Siwa. Dalam percakapan dengan Dewa Siwa, disebutkan Balang Tamak bahwa pada masa kini sudah tidak populis lagi mengajak masyarakat berburu. Apalagi ada Juru Boros, Sekaa Boros Semal, Babi Hutan, Kera atau Kijang. Komunitas ini sudah ditinggalkan oleh pemuda, karena sudah saatnya masuk ke jaman agraris sekaligus peternakan. “Binatang yang diburu sudah tidak ada, selain penghobi memanah, menembak dengan senapan angin. Binatang buruan kini sudah tersedia di pasar, jadi berburu itu hanya lah nostalgia lama atau sekadar romantisme dengan alasan kebersamaan,” kritik Balang Tamak. Yang bahkan disebutnya, para pemuda saat ini tidak lagi ada yang mengidolakan pemburu, pemburu yang terbaik sekalipun. Dimana pemburu terbaik atau pemanah terbaik mendapat tempat terhormat pada ajang olahlaraga Menembak atau Panahan. Akhirnya, atas argumennya yang masuk akal dan logis, Balang Tamak diberikan masuk surga, namun Balang Tamak memilih untuk dilahirkan kembali, sebagai upaya pembaharuan hukum-hukum yang sudah kadaluwarsa.

Secara tema cerita, karya sastra ini bercorak Siwaistik karena ada pemburu, perdebatan masuk surga-neraka. Sebagai karya sastra, maka sebagai hipotesa awalCerita Pan Balang Tamak lahir untuk menjawab dan menyudahi Cerita Lubdaka yang juga bertemakan Siwaistik. Karya Sastra Balang Tamak juga sebagai kritik langsung terhadap karya sastra Lubdaka. Yang mana masyarakat sudah semakin modern, maju dan ingin efisiensi sehingga pola-pola lama tidak bisa digunakan saat ini. Kebudayaan lahir atas kritik budaya sebelumnya dan akan ada lagi kebudayaan yang baru, guna memudahkan manusia menjawan tantangan pada alamnya dan lingkungan sosialnya. Mirip pula dengan tokoh Socrates, guru dari Plato dan Aristoteles. Yang mana ungkapan-ungkapan keseharian di hadapan pemuda dianggap meracuni kaum muda saat itu, namun pemikirannya tidak lekang di makan jaman.(denara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…