ESAI – kelirbali.com
oleh; Ngurah Teguh – Komentar Untuk Tulisan Jeje yang berjudul “Filosofi Jalan Kaki” Sudah sebulan yang lalu saya bertemu dengan seorang kenalan, ia bernama Jeje, ia menulis sebuah tulisan yang tak sampai 30 halaman, di dalamnya hanya bersisi catatan-catatan kecil tentang pengalamannya berjalan kaki.
Lalu ia beri judul ‘Filosofi Jalan Kaki’. Hampir sama dengan judul buku yang ditulis Frederic Gros dengan judul A Philosophy Of Walking. Hanya saja, Frederic Gros menulis bukunya sebagai sebuah risalah filsafat yang aktual dan sistematis, sedangkan buku Filosofi Jalan Kaki yang ditulis teman saya ini hanya sebuah catatan ringan dan dan ditulis dengan gaya bahasa yang sederhana, isinya lebih merupakan sebuah curhatan hati seorang anak muda ketimbang sebuah refleksi yang ketat dan filosofis.
Lantas, dimanakah sisi menarik buku ‘Filosofi Jalan Kaki’ karya Jeje ini? Persis pada kalimat pertama, saya menemukan sebuah paragraf yang isinya begini:
“Filosofi jalan kaki merupakan hal yang aku pelajari setelah menjalani perjalanan dan belajar untuk ‘slow down’, bukan untuk mencapai tujuan dengan cepat tetapi untuk menikmati setiap proses perjalanan yang kita lewati, banyak hal yang harus kita sadari bahwa tak semua hal harus berlalu cepat, jika kitab isa menemukan kecepatan, berjalan perlahan dan membuka mata untuk menikmati pemandangan di sekitar kita, maka rasa bersyukur juga perlahan akan datang…..”
Apa yang Jeje maksudkan dengan ‘slow down’? mungkinkah yang Jeje maksud dengan ‘slow down’ adalah kehidupan yang serba pelan-pelan?. Dalam kesempatan untuk bertemu langsung, kami berbincang soal banyak hal tentang pengalaman Jeje. Jeje dibesarkan di sebuah pemukiman pusat kota, tepatnya di seputaran wilayah Denpasar Barat.
Jeje juga bercerita mengenai pengalaman dirinya bekerja di sebuah supermarket makanan cepat saji. Perusahaan tempatnya bekerja membuatnya merasa muak terutama ketika Jeje melihat langsung makanan yang tak laku terjual di buang ke pembuangan sampah. Sejak saat itu, Jeje mengalami perasaan yang terasing. Singkatnya, ia merasa risih dengan cara masyarakat kota (baca: industri) umumnya melihat kota mereka, akhirnya Jeje memutuskan untuk melihat dan memaknai kota secara lain, dan mungkinkah ini yang ia maksud dengan ‘slow down’ itu?
Disini si Jeje tentu saja bukan yang pertama kali menggagas kegiatan jalan kaki, sebelumnya memang ada berbagai komunitas serupa seperti misalnya, komunitas Jalan Gembira. Namun, menariknya disini, Jeje secara persuasif mengajak pembaca berjalan kaki untuk merasakan, dan melihat lebih dekat hal-hal kecil dari sudut-sudut kota yang selama ini luput dari pandangan orang kebanyakan: gang-gang sempit, sudut pasar yang kumuh, trotoar yang rusak dan beralih fungsi, orang-orang tunawisma, pedagang, semak-semak, dan masih banyak lagi.
Hal seperti ini bisa kita perlawankan begitu saja dengan kehidupan warga kota yang serba cepat, dan membypass segala hal yang mereka lalui: keluar rumah-ngebut di jalan-kantor-pulang nongkrong, dan itu-itu saja. Mungkin, inilah yang Jeje maksud dengan kehidupan yang kontra ‘slow down’:
“….Mereka semua unik. Mereka semua punya tujuan. Mereka semua punya permasalahan. Dan aku adalah orang yang beruntung karena bisa mendengar, melihat dan mengambil kesimpulan. Aku juga selalu menikmati pemandangan pepohonan yang bergerak kesanakemari. Seakan-akan mengerti bagaimana perasaan seorang anak kecil yang berada di tengahtengah keramaian…”
Dalam perasaan yang gundah gulana, Jeje justru tidak menutup diri, atau menjadi seorang individualistis, mengurung diri dalam kamar sambil buka-buka reel Instagram, saja. Namun Jeje justru memilih untuk keluar (escape) menghadapi kota yang selama ini membuatnya risih. Ia memilih tidak untuk ‘menerobos’ tapi ‘menyusuri’ (dengan slow down) kota dengan potret yang lain, ada denyut kehidupan yang membuat Jeje merasa beruntung dan bersyukur, bukan karena membandingkan kehidupan dirinya dengan orang lain semata, tapi Jeje sendiri tampaknya merasa lebih dekat dengan kehidupan masyarakat pinggiran.
Ia merasa lebih dekat dengan kehidupan mereka, sederhananya Jeje berhasil keluar dari kungkunan ‘personality’nya, bahwa kita hadir di kota bukan hanya hadir sebagai seorang individu, tapi kita ada diantara masyarakat bukan hanya sebagai community tapi juga society.
Ilham yang sangat jarang muncul di sebuah kota industri, yang penduduknya hanya sibuk dengan urusannya masing-masing, sibuk dengan target, sibuk dengan karir, sibuk dengan mimpi-mimpi, sibuk dengan transaksi, dan sebagainya. Mungkin inilah alasannya mengapa Jeje merasa perlu menggunakan istilah ‘slow down’ dalam paragraf pertama tulisannya. Ia persis ingin mengkritik kehidupan kota yang serba cepat, serba mem-bypass segala hal, serba menjual dan membeli.
Demikianlah Jeje, salah satu dari sekian ratus ribu warga kota yang memberi kita kode rahasia: ‘slow down’. Istilah tersebut bisa saja kita tafsirkan secara arbriter, mungkin saja sebagai kegiatan untuk berhenti sejenak, merenungi kembali kesibukan kita masing-masing, dan bila perlu mempertanyakan kembali segala hal yang kita terima sebagai ‘baik’ dan ‘buruk’ khususnya sebagai warga kota yang hidup dalam dunia industri yang serba cepat dan menggila.(den)