SISAT WAYANG – kelirbali.com
oleh I Wayan Westa, penikmat sastra. Entah berapa lama Mpu Sadhaka hidup bahagia di Asrama Beratan. Orang suci yang telah mencapai yoga tingkat tinggi ini akhirnya menentukan sendiri hari kematiannya. Saat bunga-bunga mekar di Sasih Kapat, dan purnama penuh di langit, brahmana yang paling dihormati di Asrama Beratan ini pun pulang ke alam Brahma. Dengan damai ia tinggalkan semua yang hidup. Gerimis mengantar kepulangan mpu tua ini, pertanda dewa-dewa menyambut bahagia.
Namun hidup tak ubahnya alunan sungai. Kadang mengalir jernih di musin terang, kadang keruh di musim penghujan. Kemarau sering merontokkan daun-daun. Namun hujan menumbuhkan pucuk-pucuk baru. Begitu juga keadaan di Asrama Beratan. Penuh lekuk dan gelombang. Seakan sudah menjadi kehendak Kali. Suatu hari, sejumlah warga Pasek Kayu Selem dari Desa Batur menjajakan dagangan lewat di Desa Beratan. Lacur, perjalanan mesti dihentikan, matahari keburu tenggelam, dan hari berganti malam. Dan pikiran pun kadang ber-ubah, air tak selalu mengalir bening sampai ke hilir, anak-anak brahmana pun kadang dibelit hati moha.
Kala itu yang dituakan di Desa Beratan bernama I Gusti Pande Beratan. Ia seharusnya bertanggung jawab pada semua orang yang datang, melindunginya, memberi mereka rasa aman. Karena malam, warga Pasek Kayu Selem pun minta izin menumpang menginap di Beratan. Maka menginaplah pedagang ini di Beratan.
Entah dari mana godaan itu datang. I Gusti Pande Beratan jadi jumawa. Merasa diri kuat, keturunan orang suci, punya banyak pendukung, ia takabur, tidak ingat lagi sasana kepandean. Saat malam semakin beringsut, I Gusti Pande Beratan menjarah semua barang berharga milik pedagang dari Desa Batur itu. Tidak hanya hari itu, sudah berkali-kali Gusti Pande Beratan melakukan perbuatan memalukan.
Ki Pasek Kayu Selem akhirnya mendengar kejadian ini. Ia pun murka, marah rakyatnya dirampas terus-menerus. Kentongan dipukul bertalu, Ki Pasek Kayu Selem memerintahkan rakyatnya menyerang Desa Beratan, menghukum ulah jahat Gusti Pande Beratan. Orang-orang Desa Batur, lengkap dengan senjata terhunus menyerang di Gusti Pande Beratan. Turut membantu ketika itu Ki Pasek Cempaga, Ki Pasek Celagi Manggis, Ki Pasek Bebalangan, Bebandem, Poh Tede dan Pulasari. Pasukan datang seperti air bah.
Perkelaian sengit, Gusti Pande Beratan dan Ki Pasek Kayu Selem tak terhindarkan akhirnya. Perang dua orang sakti ini berlangsung satu hari penuh. Luka di sekujur tubuh dua petempur ini seperti sobekan-sobekan pohon bergetah. Terlalu kukuh untuk tumbang. Seluruh pakainnya berdarah, nyaris kering kehitaman. Sesekali darah segar merembes dari lengan dan paha mereka. Jenazah para abdi setia di kedua pihak bergelimpangan. Panah, tombak, pedang, parang terserak di tanah. Darah segar mucrat, raungan di mana-mana. Orang- orang sekarat melepas ajal, lambungnya ditembus tombak dengan leher nyaris putus. Asrama Beratan luluh lantak, rumah-rumah terbakar. Sungguh mengerikan.
Dalam serangan ganas itu, Pande Beratan tak kuasa bertahan. Banyak yang menyesalkan perbuatan Gusti Pande Beratan. Sementara, yang masih hidup memilih lari bersama anak istri, membawa serta barang-barang. Mpu Janggarosa lari ke Taman, seraya membawa kitab “Pustaka Bang”. Pande Sarwada pindah ke Desa Kapal. Arya Pande Ramaja memilih tinggal di Asrama Kawisunia. Mpu Tarub engkang ke Desa Marga. Arya Pande Danuwangsa menyepi ke Desa Gadungan. Arya Pande Suarna rarud menuju Buleleng, minta suaka kepada Kyai Ngurah Panji Sakti Alot. Arya Pande Tonjok ngempi di Penasan, Klungkung, ada pula ke Tusan. Arya Pande Karsana pindah ke Badung. Arya Pande Ruktya hijrah ke Bangli membawa serta dua buah pralingga kawitannya. Sementara saudara sepupunya pindah ke Samu. Arya Ida Wana menetap di Desa Bayan menjadi undagi.
Kendati mereka tersebar jauh, nasihat leluhur mengikat mereka untuk tidak saling melupakan. Warga Arya Pande Beratan tidak boleh mengatakan “ming tiga” (bersaudara jenjang tiga generasi, pupu atau lebih), sejauh-jauh “ming ro” (mindon). Dinasihatkan, bila tak hendak dikutuk Bhatara di Penataran Beratan, Pande Beratan tidak boleh lupa dengan sanak keluarga semua.
Setelah geger di Asrama Beratan, sanak saudara tinggal di sejumlah tempat, tak diceritakan keberadaan mereka. Bila pun terpencar, mereka diikat oleh satu bhisama: tidak boleh melupakan asal-usul. Mereka tetap satu saudara, turunan Mpu Brahmaraja.
Dikisahkan Mpu Tarub yang berasrama di Desa Marga. Tepat di hari Tumpek Kuningan, saat bulan menuju terang, ia melakukan yoga di mrajan-nya. Di situ dengan khusuk sang mpu menggelar samadhi, memuja Bhatara Kawitan. Tiba-tiba ia mendengar bisikan dari dalam hati:
“Hai cucuku, jangan bersedih atas kemelaratanmu. Semua ini adalah kehendak kali. Jangan hukum dirimu dengan rasa berasalah itu. Ingat, dirimu tengah dikuatkan. Sebagai brahmana kau memang tidak boleh berlaku jahat, membunuh orang tak bersalah. Ingat yang engkau bunuh itu adalah sanak saudara sendiri, turunan Pasek Batur. Sebab sesungguhnya engkau satu kawitan dengan Pasek Batur. Mereka turunan brahmana Mpu Ketek, kakak Mpu Brahmaraja Kepandean.”
“Kunasihatkan, bila engkau hendak menggelar yadnya, suka atau duka jangan sekali-kali mempergunakan tirta brahmana selain brahmana turunanmu! Beritahukan hal ini kepada saudara-saudara dan turunanmu. Maksudnya; supaya engkau sendiri jangan lupa terhadap dharma kepandean, terutama kepada Bhatara Brahma pencipta alam ini.”
“Dan apa bila engkau bermaksud bakti kepadaku, pada hari Tumpek Kuningan, sembahlah aku dari Pura Paibuan dengan hati suci bersih, suatu tanda engkau ingat kepadaku, aku puyutmu Mpu Brahmana Dwala.”
Kini diceritakan halnya Arya Pande Ruktya di Negara Bangli tetap setia menjalankan swadarma sebagai pande emas dan perak. Ketika itu yang berkuasa di Bangli adalah I Gusti Praupan dan I Gusti Dauh Pamamoran.
Entah berapa tahun lamanya memegang kekuasaan, Negara Bangli digempur I Dewa Tirta Arum yang bergelar I Dewa Pemecutan disertai adik-adiknya; I Dewa Pring yang pindah di Desa Brasika dan I Dewa Pindi yang berpuri di Pagesangan. Namun lacur, dalam pertempuran ini I Gusti Praupan tewas ditikam keris bernama Ki Lobar.
I Gusti Dauh Pamamoran akhirnya melarikan diri pindah ke Camanggon diiringkan Arya Pande Ruktya dan sanak saudaranya Arya Pande Likub turunan Pande Beratan.
Adapun Arya Pande Likub selanjutnya menuju Desa Timbul dengan membawa dua buah lingga arca kawitan purusa-pradana. Namun di desa ini ia tidak mendapat penghormatan. Orang-orang desa di situ memandang dirinya hanya sebagai orang biasa.
Mengingat terus menerus dikejar musuh, Arya Pande Ruktya juga melarikan diri bersama adik-adiknya. Tibalah ia di Desa Blahbatuh, minta perlindungan kehadapan Kryan Anglurah Jlantik. Syukur permohonan dikabulkan. Namun lacur, tidak lama tinggal di Blabatuh, Pande Ruktya meninggal karena diracun. Ia berpulang tanpa turunan, terkena kutuk, karena di masa hidup lupa pada leluhur.
Beberapa tahun mengalami prahara, kini turunan Pande Beratan yang lari ke Bangli sadar akan diri. Ia senantiasa ingat pada leluhur. Untuk menghormati kawitan ia membangun perhyangan “Ratu-Kapandean” dan “Dalem” Bangli. Semenjak itu ia hidup bahagia .
Demikianlah kisah ini dituliskan dalam prasasti. Semoga dimaafkan, dilepaskan dari kutuk pastu. Semoga yang membaca kisah ini dibersihkan hatinya, dituntun para leluhur, dihapus segala dosa dan kesalahannya, dimudahkan rezekinya.
Ong Saraswaty ya namah
Ong Gemung Ganapati ya namah
(Tamat)