ESAI – kelirbali.com
oleh Tony Doludea – peneliti Abdurrachman Center UI. Ada dikisahkan tentang Rahwana murka sebab diitolak keinginannya untuk mempersunting Sinta. Dikumpulkannya seluruh punggawa istananya dalam sebuah permusyawaratan agung. “Sudah lama dewi jelita itu berada di Alengka, tapi tak sekejap pun ia mau meladeni aku,” kata Rahwana dalam suara menggelegar marah.
“Binatang memang satria Ramawijaya itu! Ia selalu menjadi kerinduan hati pujaanku, Dewi Sinta. Akan kubunuh satria Ayodya itu, baru dengan demikian aku dapat memperistri Dewi Sinta,” gumam Rahwana lagi. “Sabarlah, Kakakku. Mengapa berkobar-kobar nafsumu hendak merebut kekasih hati orang lain?” kata Wibisana. “Wibisana, apa katamu?” sergap Rahwana geram.
Negeri ini sedang gawat karena marah dewa yang disebabkan oleh kejahatanmu, masihkah kau menuruti nafsumu akan Dewi Sinta?” tanya Wibisana. “Wibisana, diam kau! Begitukah sikap dan wejanganmu terhadap kakakmu. Tutup mulutmu, kalau tidak kuseret kau keluar dari permusyawaratan agung ini!” bentak Rahwana.
Kericuhan antar saudara itu sempat ditengahi oleh Patih Prahasta. “Wibisana, anakku, keluar, keluarlah secepatnya dari pertemuan agung ini. Larilah, Nak, kalau tidak kau akan mati hari ini juga.” Wibisana kemudian menemui ibundanya, Dewi Sukesi. “Nak, tinggalkan aku, dan pergilah sekarang kau mengabdi kepada Ramawijaya. Pergilah Nak, saatnya sudah tiba,” kata Dewi Sukesi dengan tiba-tiba.
Wibisana terkejut tak mengira. “Ibu, mengapa aku harus mengabdi kepada orang yang sebentar lagi menjadi musuh negeriku. Jangan Ibu, betapa pun kejam kakakku, tak tega aku ikut membinasakannya, betapa pun jelek negeriku, tak rela aku menyerahkan kepada lawannya,” jawab Wibisana. “Nak, cintakah kau pada negerimu? tanya Dewi Sukesi. “Mengapa Ibu masih meragukan kesetiaannku,” jawab Wibisana. “Kalau kau cinta pada negerimu, sudah tiba saatnya kini kau menyingkirkan kebanggaanmu sebagai satria. Pikirkanlah negeri dari hati seorang wanita, apalagi jika wanita itu adalah ibumu sendiri. Apakah artinya kebanggan, jika mengakibatkan kehancuran?
Idaman seorang wanita hanyalah kebahagiaan dan ketentraman, Nak.” “Tapi Ibu, tidakkah dunia akan mengejekku sebagai penghianat negerinya?” “Benar, Nak aku pun tak rela menyerahkan ibu pertiwiku pada siapa saja yang hendak merebut dan menguasainya. Tapi ingatlah, Ramawijaya tak hendak merebut negeri ini, ia hanya hendak menentraman negeri yang sudah haus darah ini. Apakah artinya negeri jika ia harus berhadapan dengan kebaikan?”
Wibisana mendengar kata-kata ibunya dengan hati yang masih bertanya-tanya. Wajahnya menyimpan keraguan yang belum ada jawabanya. “Nak, cintakah kau pada ibumu yang lama menderita karena dosa-dosanya ini?” tanya Sukesi lagi. Wibisana tak memberikan jawaban, ia segera memeluk ibunya dengan penuh air mata. “Wibisana, kaulah satu-satunya permata hati harapanku. Aku telah bersalah dengan melahirkan kejahatan di Alengka ini. Kaulah yang dapat menghapuskan kesalahan masa laluku itu. Dari semua anak-anakku, hanyalah kau yang berwajah manusia, karena kau lahir ketika aku sudah menyesali dosa-dosaku. Mengabdilah kepada kebaikan yang kini sedang bertahta di hati Ramawijaya, maka akan sempurna sudah penyesalan atas segala kesalahanku. Dewa-dewa akan mengampuni kesalahanku, karena mereka tahu bahwa aku pun bisa melahirkan anak dari cinta, bukan dari nafsu belaka. Tolonglah aku, Nak,” pinta Dewi Sukesi.
Tak tertahan kesedihan Wibisana ketika ia berpamit kepada ibunya. Dipeluknya ibunya erat-erat. Wibisana pun mencium ibunya, ia merasa inilah ciuman yang terakhir kali bagi bunda yang dicintainya. Cinta seorang anak ini membuat pelupuk mata Batara Surya sejenak basah, hingga jatuh air matanya di sekitar kediaman Dewi Sukesi.
Belum lama Wibisana meninggalkan ibunya, tiba-tiba terdengar suara tajam menegurnya. Sesosok tubuh dengan sepuluh muka marah menghadangnya. Ia adalah Rahwana yang masih panas hatinya. “Berhenti kau Wibisana, mengapa kau tergesa-gesa?” tanya Rahwana. Tak sedikit pun nampak takut wajah Wibisana. “Kakakku, aku hendak pergi dari Alengka. Aku hendak mengabdi pada Ramawijaya,” kata Wibisana tabah. “Bedebah, kau Wibisana! Akan kaujualkah negeri ini kepada satria penjelajah rimba itu?” bentak Rahwana. “Kakakku, kembalikanlah Dewi Sinta pada Ramawijaya, dan mulai sekarang perintahlah Alengka dengan bijaksana. Hanya syarat itulah yang dapat menahanku di Alengka,” sahut Wibisana. “Setan kau Wibisana. Apa katamu, seperti halilintar di siang bolong kebijaksanaanmu yang gegabah itu!” “Kakakku, sebentar lagi akan tiba duta dari Maliawan. Turutilah nasihatku, kalau kau tidak ingin Alengka ini menjadi lautan api. Jangan halangi kepergianku. Tak peduli, apakah aku memang akan menjual Negeri Alengka,” jawab Wibisana. Kemarahan Rahwana sudah tak tertahankan lagi. Ia memukulkan gadanya yang sakti ke tubuh Wibisana. Mata Wibisana berkunang-kunang, ia rebah ke tanah, bagai mati ia layaknya. Dewi Sukesi melihat kejadian itu dari kejauhan, patah sudah harapannya.
Tulisan ini berusaha melakukan refleksi atas kisah Wibisana tadi dengan menggunakan perspektif Ethics of Truth Alain Badiou. Pertanyaan yang diajukan di sini sebagai pengarah adalah apakah dari sudut pandangan etika Badiou dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan Wibisana itu merupakan suatu fidelity (kesetiaan) terhadap truth-event? Lalu, apa yang dimaksudkan oleh Badiou dengan fidelity dan truth-event itu? Konsep-konsep apa saja yang sebenarnya menjadi dasar dari etika Badiou, secara lebih luas? Tujuan tulisan ini adalah untuk memberi pengantar sederhana atas pemikiran filsafat moral Badiou. Melaluinya diharapkan orang dapat memahami Ethics of Truth dalam konteks real manusia saat ini di sini.
Letak pemikiran Alain Badiou ada pada akhir dekade 80-an di Perancis, di mana menurut Badiou saat situ sedang terjadi kemunduran intelektual. Filsafat Moral menjadi marak sebagai Filsafat Politik. Ke mana pun orang melangkah, tidak sulit menjumpai orang-orang yang giat memperjuangkan Hak Asasi Manusia, berkembangnya semangat saling hormat-menghormati seorang dengan yang lainnya dan keinginan untuk kembali ke Kant. Para pemrotes geram terhadap totalitarianisme dan membentuk front persatuan untuk melawan kejahatan radikal itu.
Badiou melihat, situasi pada saat itu sangat paradoks, pada satu sisi menguatnya opini publik mengenai “demokrasi” dalam bentuk perwakilan dan pemilu yang korup, dan “kebebasan” yang direduksi menjadi kebebasan pertukaran dagang dan konsumsi. Bagi Badiou, ini merupakan aliansi antara pasar dan parlementarisme yang disebutnya sebagai capitalo-parliamentarism. Di sisi yang lain, menyebarluasnya relativisme, yaitu pendeklarasian bahwa semua budaya memiliki nilai-nilai yang sama, bahwa setiap komunitas membangun nilai-nilai mereka sendiri-sendiri. Singkatnya, konteks tersebut adalah gabungan ganasnya dogmatisme “demokrasi” merkantilis dengan skeptisisme, yang mereduksi pemahaman antropologis menjadi melulu individualis dan egois.
Dalam konteks etika, menurut Badiou, kehidupan manusia saat ini ditandai oleh “ethical ideology” yang terdiri dari dua kutub filosofis: Pertama, pada etika Kantian yang mengagungkan universalisasi abstrak Kebaikan Tertinggi (summum bonum) kolektif, hak asasi dan sifat-sifat manusia secara umum; Kedua, dalam etika Levinasian yang menekankan kebedaan dan kelainan orang lain, yang diungkapkan dalam penghargaan abstrak akan kesetaraan kultur yang berbeda.
Bagi Badiou “ethical ideology” ini memandang manusia secara mendasar sebagai entitas yang pasif, rentan dan fana, sebagai suatu korban potensial yang harus dilindungi. Badiou melihat adanya ketegangan antara konsep etika Kantian, di mana di situ orang berusaha membangun kemampuan untuk dapat menerapkan seperangkat peraturan yang menggerakkan tindakan setiap orang, dan etika Levinasian, yang dimotivasi oleh keprihatinan dan kepedulian seseorang terhadap orang lain. Ketegangan ini berupa tarik menarik antara kutub absolutisme moral dan relativisme etis.
Badiou memandang kedua jenis etika itu tidak lebih dari sebuah nihilisme dan penaklukan diri kepada status quo dan tata aturan saja. Etika Kantian sejajar dengan “kehendak untuk berkuasa” Nietzschean, kehendak untuk membuat dunia menjadi seragam, sama serupa. Hal ini meremehkan kemampuan manusia untuk membangun dunia dalam suatu cara yang unik. Etika Levinasian, sebaliknya, dengan fetisisme “kebhinekaan budaya”, yang berarti menyerah begitu saja pada kenyataan. Bagi Badiou bentuk-bentuk etika seperti itu tidak memadai lagi bagi keberadaan umat manusia saat ini.
Dari ketegangan yang terjadi itu, Badiou menemukan masalah sesungguhnya dalam diskursus etika kontemporer ini, yaitu bahwa etika selama ini sebenarnya menekankan suatu sikap pasrah, sebuah penghianatan terhadap kemampuan manusia. Dan yang paling penting, bahwa etika semacam itu berdasar pada pemikiran bahwa etika adalah yang membawa umat manusia keluar dari Yang Jahat (Evil) untuk masuk kepada Yang Baik (the Good).
Namun pada kenyataannya, secara mendasar Badiou mendaku bahwa sebenarnya Yang Jahat itu datangnya secara khusus dari Yang Baik, bahwa kemampuan manusia untuk melihat Yang Jahat di dalam dunia ini tergantung pada kemampuan dalam dirinya akan Yang Baik. Yang Jahat sesungguhnya berasal atau berakar dari Yang Baik, oleh Badiou hal ini disebut sebagai Radical Evil, maksudnya adalah akar Yang Jahat.
Kesimpulan Badiou ini memberikan pengaruh sangat luar biasa besar terhadap penilaian atas kedua model etika tersebut. Logika hubungan Yang Baik dengan Yang Jahat bagi Badiou jelas: Pertama, Yang Baik (penegasan terhadap Yang Benar) dan kemudian resiko Yang Jahat (penyelewengan terhadap Yang Baik). Menurut Badiou, Evil itu dapat berwujud dalam tiga rupa utama: (a) Penghianatan, penyangkalan karena sulit untuk tetap setia. (b) Khayalan, mematok “simulacrum” sebagai event yang sesungguhnya. (c) Teror, mendorong sebuah kebenaran yang bersifat total. Badiou memberi contoh Yang Jahat adalah Nazi, Stalinisme, Revolusi Budaya China dan positivisme.
Oleh karena itu, Badiou berusaha untuk membangun suatu etika yang ia sebut sebagai Ethics of Truth. Truth (Yang Benar) di sini tidak dalam pengertian yang bersifat universal dan positivistik, tetapi lebih kepada Yang Benar yang muncul dari tanggapan manusia pada situasi yang ada. Etika Badiou ini dibentuk untuk mencegah Yang Jahat, bukan dengan memandang Yang Jahat sebagai sesuatu yang telah ada sebelumnya dalam diri manusia, melainkan dengan memperlihatkan bahwa Yang Jahat hanya mungkin sejauh orang memiliki kemampuan akan Yang Baik.
Badiou lebih tertarik kepada proses pembentukan truth daripada ketaatan kepada kebenaran yang absolut.
Melalui etikanya ini, Badiou dapat meyakinkan bahwa manusia dapat mengerahkan seluruh kemampuannya untuk bertindak, meskipun dalam keadaan seorang diri saja (a sosial). Ethics of Truth dirancang untuk mengelola ketajaman rasa (tidak merancukan antara yang benar dengan yang jahat), keberanian, keteguhan hati dan ketabahan (tidak menghianati kebenaran), juga bersikap tidak ekstrem dan menolak gagasan kebenaran total dan substansial. Ethics of Truth merupakan suatu proses terus-menerus yang secara konsisten setia dan mempertaruhkan dirinya dalam mengejar apa yang tidak dapat dia pahami. Dalam kalimat singkat Ethics of Truth dapat diungkapkan sebagai: “Keep going!”
Di atas semuanya itu, Badiou melihat kegagalan mendasar etika kontemporer terletak pada pengandaian mereka atas subjek. Pada satu sisi, Filsafat Modern meyakini subjek memiliki suatu identitas diri yang substansial atau juga sebagai suatu agensi yang otonom dalam menilai dan bertindak. Di sisi yang lain, Post-Strukturalisme memandang manusia bukan lagi sebagai subjek yang sadar, pusat realitas, otonom, mutlak, rasional, kreatif dalam membangun masyarakat dan sejarahnya. Post-Strukturalisme menyamaratakan begitu saja realitas ontologis dengan realitas subjek manusia. Badiou berusaha untuk keluar dari dikotomi antropologi filosofis itu dengan mengatakan bahwa subjek itu bukanlah substansi, karena subjek itu akan selalu singular dan tidak universal, subjek akan singular karena ia selalu berupa event (peristiwa) yang membentuk subjek sebagai sebuah truth.
Berkaitan dengan masalah agensi, bagi Badiou masalah ini sebenarnya tidak terletak pada bagaimana seorang subjek dapat melakukan sebuah tindakan secara otonom, melainkan lebih pada bagaimana seorang subjek muncul melalui suatu rangkaian tindakan otonom dalam suatu keadaan yang terus berubah. Tindakan di sini bukanlah tindakan atau keputusan sehari-hari yang membuktikannya sebagai seorang agensi. Tindakan dan keputusan di sini adalah tindakan dan keputusan yang tidak biasa yang merekatkan seseorang dalam suatu konteks, di mana tindakannya memperlihatkan bahwa manusia dapat sungguh-sungguh bebas dan hal ini akan memberikan dukungan bagi rangkaian tindakan dan tanggapan yang baru. Untuk itu, tidak setiap manusia adalah selalu seorang subjek, namun sebagian orang saja menjadi subjek, mereka adalah orang-orang yang bertindak dalam fidelity atas suatu perjumpaan dengan suatu event yang ditangkap dalam sebuah situation di mana mereka berada.
Sebuah Event adalah “suatu realitas” yang tidak objektif dan tidak memiliki isi yang dapat diverifikasi. “Kejadian” event tidak dapat dibuktikan, namun hanya dapat ditegaskan dan diproklamirkan. Subjek tidak dapat mengharapkan, menghendaki dan merekayasa kehadiran event. Subjek dapat berjumpa dengan event hanya karena anugerah saja. Situation adalah “tempat bagi ‘sesuatu’ untuk terjadi”. Dengan kata lain, situation merupakan “kategori” di mana event dapat “terpahami”. Fidelity adalah komitmen terhadap suatu kebenaran. Dalam konteks ini, subjek terbawa oleh kebenaran sekaligus mendapatkan dukungan darinya. Bagi Badiou truth adalah sesuatu yang memunculkan logika kebenaran kepada sesuatu, memegang teguh kebenaran bagi seseorang.
Truth ini terungkap dalam empat ranah: kasih, seni, sains dan politik. Keempat ranah truth ini menandai kemungkinan subjek baik secara individual maupun secara kolektif atau pun gabungan keduanya. Kasih berdampak hanya pada kehidupan secara individual. Politik, sebaliknya, berkaitan hanya dengan dimensi hidup kolektif.
Sedangkan seni dan sains masuk dalam gabungan antara keadaan individu dan kolektif. Badiou memberi contoh Revolusi Perancis sebagai truth-event. Keadaan pada akhir abad XVIII di Perancis, keadaan masyarakatnya, strata dalam masyarakat tersebut, ekonomi, politik, konflik ideologi, dan seterusnya, orang dapat mengerti dan pahami semuanya itu. Namun demikian, tidak ada satu pengetahuan pun yang memampukan orang untuk memprediksi atau menghitung secara tepat event yang berada di luar jangkauan pengertiannya yang disebut Revolusi Perancis itu akan terjadi. Event tersebut bernama Revolusi Perancis; sasaran tertingginya adalah emansipasi, yaitu kebebasan-kesetaraan-persaudaraan; pelakunya adalah perjuangan gerakan politis, inilah subjek dan agensi yang atas nama truth-event melibatkan diri dalam situasi historis yang jamak (multiple) dan dipahami sebagai tanda dari event itu sendiri.
Tentang pengertian subjek non-substansial-nya tersebut, Badiou menerangkannya dalam istilah subjectivation, yaitu subjek sebagai sesuatu yang muncul dalam keberlangsungan proses pada sebuah situation. Pengertian subjectivation ini sangat dekat dengan pemikiran Louis Althusser tentang interpellation. Interpellation adalah usaha ideologi untuk menciptakan subjek, karena demi keberadaannya ideologi membutuhkan subjek. Ideologi diciptakan oleh individu-individu tertentu atau sekelompok orang dalam masyarakat sebagai alat perjuangan kelas untuk meraih dominasi negara.
Menurut Badiou, subjectivation terjadi dalam tiga tahap: Iman, Kasih dan Pengharapan. Iman merupakan sebutan bagi subjek yang mendeklarasikan keyakinannya akibat perjumpaannya dengan truth-event. Kasih adalah sebutan bagi subjek yang dengan militan memperjuangkan keyakinannya tadi sebagai kebenaran universal dalam rangka emansipasi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa iman itu diwujudnyatakan dalam kasih. Pengharapan adalah sebutan bagi subjek dalam mengantisipasi Yang Benar dalam keteguhan meskipun saat ini pada kenyataannya hanya terealisasi dalam ketidaksempurnaan. Pengharapan merupakan suatu daya yang memampukan subjek mengantisipasi Yang Benar meskipun terjadi kegagalan. Ketiga hal tersebut merupakan aspek fidelity subjek. Dalam kaitannya dengan truth-event, subjek adalah sekaligus pelaku dan sasaran.
Truth-event merupakan proses yang memunculkan seorang subjek. Dengan demikian seorang subjek selalu ada dalam lokalitas dan keterbatasan Yang Benar. Truth, event, situation dan subjek merupakan aspek-aspek dari satu proses penegasan, yaitu terwujudnya kebenaran melalui subjek yang dengan tabah dan ulet mempertahankan fidelity sebagai akibat perjumpaannya dengan event pada situation tertentu meskipun ia (event) bukanlah ia (event) yang sesungguhnya itu. Istilah yang digunakan oleh Zizek adalah that’s not it.
Dalam Ethics of Truth Badiou tersebut, orang masih dapat merasakan kental nuansa imperatif kategoris etika Kant, meskipun oleh Badiou formalitas etika Kant itu dilengkapi dengan keutamaan-keutamaan (virtues) sebagai isinya, dengan tujuan untuk tidak melanjutkan wajah dingin etika formalis tersebut. Badiou juga berusaha keras untuk memperhitungkan manusia bukan sebagai entitas substansial yang final, namun juga bukan sebagai subjek yang begitu saja dideterminasi oleh struktur di luar dirinya. Bagi Badiou, manusia merupakan subjek, bukanlah sesuatu yang telah selesai, manusia adalah keberlangsungan pengalaman “eksistensial” dengan “sesuatu” yang tak terpahami. Manusia adalah subjek etis yang berjuang untuk tetap hidup dalam misteri anugerah dan itu cukup bagi kita. Manusia ada bukan karena kemauannya sendiri, dari mana ia datang dan ke mana ia akan pergi, manusia tidak memiliki jawabannya. Dalam truth-event manusia menemukan dirinya sendiri dan dituntut untuk setia terhadap dirinya itu dalam situasi hidup yang konkrit.
Dengan memilih untuk menggeser sedikit ke samping perdebatan diseputar problem subjek tadi, dan mengambil kutipan dari Injil Lukas 16:44 “Setiap pohon dikenal dari buahnya. Belukar berduri tidak menghasilkan buah ara, dan semak berduri tidak menghasilkan buah anggur.” Dari pemaparan Badiou tadi akan tergiang kembali suara Aristoteles tentang bagaimana manusia dapat mencapai Hidup Yang Baik (euzen). Hidup yang baik dapat dicapai dalam kehidupan etis, yaitu Eudaimonia, kebahagiaan karena kepenuhan jiwa yang baik, yang diwujudnyatakan melalui partisipasi dalam kegiatan masyarakat, dengan merealisasikan seluruh bagian hakiki manusia, yaitu keutamaan-keutamaannya (virtue).
Tindakan keutamaan ini terwujudnyata dalam bentuk karakter orang, yaitu keberanian, penguasaan diri, kejujuran, kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur, harga diri, lemah lembut, keberadaban, keadilan dan kesetiakawanan. Keutamaan bukan merupakan lawan suatu sikap buruk, melainkan sikap tengah (mesotes) antara dua ekstrem. Misalnya, keberanian terletak di tengah antara sikap nekad dan pengecut. Keutamaan dipahami sebagai sikap seimbang dan justru karena itu menunjukkan kematangan dan kekuatan perkembangan jiwa. Aristoteles sangat menekankan bahwa manusia mencapai kebahagiaan bukan dengan mengejar perasaan nikmat (pleasure) dan menghindari perasaan sakit (pain) atau pemenuhan segala keinginan, melainkan melalui tindakan pengaktualisasian atau perealisasian potensi-potensi yang ada dalam manusia. Tugas dan tanggung jawab manusia adalah mengembangkan dirinya, itulah yang menentukan apakah ia bahagia, itulah yang menentukan apakah hidupnya bermutu atau tidak.
Bagi Aristoteles, etis itu sama artinya dengan politis. Manusia bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama berpartisipasi dalam pemajuan masyarakat. Meskipun demikian, Aristoteles mengatakan bahwa etika tidak bertugas untuk menyediakan daftar peraturan yang harus dilakukan bahkan dengan mata tertutup, melainkan hanya memberikan visi atau perspektif. Orang yang memiliki perspektif itu akan menemukan bagaimana ia harus bertindak etis dalam situasi konkret. Perspektif itu disebut Pengertian Yang Tepat (orthos logos). Pengertian yang tepat ini berupa sikap batin atau ketajaman akal etis untuk memahami tindakan yang paling tepat dalam situasi tertentu.
Orang yang memiliki kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam bidang masalah baik dan buruk bagi manusia, oleh Aristoteles disebut sebagai orang yang memiliki phronesis. Bagaimana manusia dapat mengembangkan phronesis? Phronesis tidak dapat diajarkan, sebagaimana etika sendiri juga tidak. Menurut Aristoteles, phronesis itu tumbuh dari pengalaman dan kebiasaan untuk bertindak etis. Semakin seseorang mantap dalam bersikap etis, semakin kemampuannya untuk bertindak menurut pengertian yang tepat itu bertambah juga. Jadi, orang belajar melalui latihan dan praktik, mirip dengan pendalaman rasa dalam paham Jawa yang juga tidak dapat diajarkan, semakin lama mendalaminya akan menjadi semakin pandai untuk merasakan, dalam tindakan yang bertenggang rasa.
Pandangan Aristoteles ini sangatlah positif dan afirmatif tentang manusia, seperti Badiou ketika mengangkat pandangan Rasul Paulus: “Karena Allah itu kasih adanya, oleh sebab itu tidak ada satu pun yang dilarang bagi orang beriman.” Hal ini berarti bahwa bagi orang beriman, sesungguhnya apabila ia melakukan sesuatu hal bukan atas dasar perintah (larangan Hukum atau Taurat), yang kemudian menimbulkan keinginan justru untuk melanggarnya, tetapi pada sikap positif dan afirmatif Kasih (agape). Kasih inilah yang membebaskan manusia untuk dapat bertindak dengan bebas dalam kasih: “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun”, kata Rasul Paulus (1 Korintus 6:12). Inilah kebenaran yang akan memerdekakan manusia, kebenaran yang menjadi dasar bagi Ethics of Truth Alain Badiou. Maka tidak salah nasihat Salomo yang mengatakan “Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu. Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu. Nikmatilah hidup dengan isteri yang kau kasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari. Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.” (Pengkhotbah 9:7-10).
Prahasta khawatir ketika melihat Wibisana diam tak bergerak. Senyumnya adalah senyum pucat, yang tersungging dari mulut mayat. Prahasta tak tahan melihat pemandangan itu. Dilepaskannya Dewi Sukesi, dan ditelungkupinya mayat Wibisana. “Wibisana, benar-benar matikah kau, Anakku? Bangunlah, Nak, kasihanilah ibumu, kasihanilah aku, pamanmu, yang malang ini. Bangunlah, Nak, jangan tinggalkan kami!” Prahasta menggoncang-goncangkan badan Wibisana. Tapi tak sedikit pun badan itu bergerak. Apabila orang memasukkan kisah puitik karangan Walmiki ini ke dalam kategori Ethics of Truth Alain Badiou, maka dia akan menemukan bahwa Wibisana sebagai tokoh dalam penggalan cerita ini dapat dipandang sebagai truth-event. Wibisana mengalami situation di mana ia harus memutuskan untuk memilih antara Rahwana, Negeri Alengka, Dewi Sukesi, ibunya, Ramawijaya, kebenaran, dan nilai-nilai kesatria. Wibisana menemukan dan berusaha untuk tetap setia mempertahankan apa yang ia temukan dalam perjumpaannya dengan dirinya sendiri itu. Di mana hal yang sama, yaitu perjumpaan dengan truth-event terpampang dihadapan manusia, sebagai mujizat, sebagai anugerah. Dan anugerah itu ajaib adanya.(den)