Empati Melimpah dari Joko Pinurbo

Facebook
Twitter
WhatsApp

SASTRA – kelirbali.com
dari buku Makna Yang Luput, Narudin. Salah satu buku puisi Joko Pinurbo; Baju Bulan, 2013 di dalamnya terdapat 60 puisi pilihan dalam rentang tahun 1991-2012. Puisi-puisi Joko Pinurbo (JP) mengesankan adanya libido yang berkelindan dengan hasrat yang terpendam (hidden desire). Termasuk pula faktor psikososial atau disebutnya sebagai patologi sosial seperti dalam puisi Kartini-Kartono.
Menilik kata ‘libido’ Sigmund Freud mendefinisikan libido sebagai energi yang diduga sebagai keberlimpahan kuantitatif dari insting yang berhubungan dengan segala hal yang dianggap ‘cinta’. Bawah sadar yang bersinting atau dorongan seks, maka libido dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, psikologis dan faktor biologis. Narudin. 2013. Makna yang Luput; Tangerang, Mahara Publishing.

CELANA

Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
suaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko celana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan?”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

(Baju Bulan, 2013).

Karakter tokoh ‘ia’ dalam puisi menurut Narudin dianggap sebagai neurotik. Tokoh ‘ia’ seakan meneror mental kita (pembaca) yang tengah digedor kesadarannya. Barangkali tokoh ‘ia’ dalam puisi adalah tokoh yang depresi, setelah kegagalannya memperoleh celana yang pas dan pantas. Kemustahilan muncul, dimana tokoh ‘ia’ tidak mungkin berada di berbagai toko busana yang dicari. Kendati demikian, logika bahasa turut dihadirkan disini agar khayalan mampu dijustifikasi. Yang kemudian, pembaca dihentak kesadarannya bahwa celana yang ‘ia’ cari bakal dipakai nampang di kuburan. Rangkaian neurotik tersebut mampu menjadi rangkaian kata-kata. Pada puisi berikut kita melihat sisi lain;

Tahilalat

Pada usia lima tahun ia menemukan
tahilalat di alis ibunya,
terlindung bulu-bulu hitam lembut,

seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.

Kadang tahilalat itu memancarkan cahaya
selagi si ibu lelap tidurnya.
Dengan girang ia mengecupnya:
“Selamat malam, kunang-kunangku.”

Ketika ia beranjak remaja
dan beban hidup bertambah berat saja,
tahilalat itu hijrah ke tengkuk ibunya,
tertutup rambut yang mulai layu,

seperti doa yang merapikan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.

Disingkapnya rambut si ibu,
diciumnya tahilalat itu: “Maaf,
sering lupa kuucapkan amin untukmu.”

Akhirnya ia benar-benar sudah dewasa,
sudah siap meninggalkan rumah ibunya,
dan ia tak tahu tahilalat itu pindah ke mana.

“Jika kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?” si ibu bertanya.

Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.

(Baju Bulan, 2013)

Membaca puisi di atas, tidak sekadar menawarkan kisah kasih sayang antara anak dan ibu semata, melainkan menjanjikan sebuah aminisi Oedipus Complex, yang mana Sopholes membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Libido anak yang membara terhadap ibu, dalam puisi di atas secara neurotik-resiprokal disambut ibunya; “Jika kau menemukannya,/ masihkah kau akan mengecupnya? Si ibu bertanya,// Dalam puisi tersebut, ruang-ruang etika menjadi sempit.

Empati melimpah tergambar pula dalam puisi JP. Dalam istilah Emile Durkheim, solidaritas sosial yang bersifat organik yang tidak mandeg. Pun secara sosial, ada yang lain (the other) di luar aku (i self); sesuatu empati yang luber-efeknya tersembul ke permukaan. Hal ini bisa dibaca pada puisi berikut;

Baju Bulan

Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
Tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
Sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu; kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang

(Baju Bulan, 2013, hal 39)

Tentu banyak puisi soal bulan yang telah ditulis di dunia ini. Banyak. Hanya saja JP meminjam ‘Bulan’ sebagai sesuatu yang di langit dan gadis kecil sesuatu yang di bumi. Kondisi sosial tersebut sering hadir di hadapan kita, namun kita terasing. JP sendiri mampu menghadirkan empati dan mendengar suara gadis kecil sampai suaranya enak didengar. Perbincangan bulan dengan gadis semakin mesra, mengetuk hati sehingga menumbuhkan rasa peduli. JP sendiri memilih kata yang sederhana, namun pembaca pada akhir puisi dihantam atau tiba-tiba dibawa ke dimensi lain, seperti; /Bulan sendiri rela telanjang di langit,/ atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.//(den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…