Cerpen – kelirbali.com
oleh: Demy, Warga kampung memanggilnya Dadong (Nenek) Jepun. Nama ini diberikan karena Dadong Jepun, setiap pagi sebelum matahari terbit memungut bunga Kamboja yang jatuh di sepanjang jalan di kampungnya. Yang menjadi hiburan bagi warga kampung, Dadong Jepun selalu bersenandung yang sama setiap pagi memungut guguran bunga Kamboja. Saat jelang matahari terbit, Dadong Jepun segera pulang ke pondoknya, walau belum semua guguran bunga dipungutnya.
Bunga Kamboja yang dipungut di jalanan, dijemur di halaman pondoknya. Setelah kering dijual kepada pengepul, yang setiap bulannya datang rutin ke pondoknya. Bunga Kamboja kering ini sebagai bahan untuk membuat dupa, yang harga sekilo keringnya Rp 80.000. Atau kadang-kadang harganya sangat murah, walau demikian Dadong Jepun selalu dan selalu memunguti guguran bunga Kamboja. Mendengar senandung Dadong Jepun saban pagi, telah dilakoninya sejak 12 tahun silam. Di awal-awal memungut guguran bunga itu, Dadong Jepun digonggong anjing dan semakin hari semakin terbiasa.
Warga kini merasa kehilangan, sudah seminggu tidak mendengar lagi senandung lagu itu. Di hari pertama, warga mengira mungkin perempuan itu bangun kesiangan, sehingga tidak memungut guguran bunga. Pada hari Minggu pagi, kebetulan warga bergotong royong di ujung kampung, semua warga membicarakan Dadong Jepun yang bersenandung setiap pagi itu.
“Sudah seminggu ini, kita tidak mendengar senandung Dadong Jepun,” kata salah satu warga. Semua warga mengatakan hal yang sama, kehilangan senandung padi, sebelum kumandang Puja Tri Sandya, pukul 06.00 Wita.
“Ah, bisa jadi Dadong Jepun sakit dan tidak mampu bangun,” jelas yang lain.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya.” Sehabis gotong royong tanpa dikomando, warga mendatangi pondok Dadong Jepun. Pondoknya kosong, pintu pondoknya dibuka paksa, untuk memastikan bahwa tidak terjadi sesuatu di kamarnya. Kosong, dan tidak ada tanda-tanda kekerasan atau ciri apapun yang bisa menunjukkan keberadaan perempuan tersebut.
“Dimana Dadong Jepun, jangan-jangan ada yang menculik,” jelas seseorang yang memeriksa kamarnya.
“Tidak mungkin diculik, sudah tua. Tidak memiliki harta apa-apa lagi,” tandas yang lain. Setiap sudut dari pondok Dadong Jepun diperiksa, untuk memastikan tanda-tanda terakhir aktifitas Dadong Jepun. Kosong dan tidak menemukan apa-apa.
“Kita semua penasaran, semoga tidak terjadi apa-apa dengannya,” harap salah satu warga.
Putra lurah datang terlambat untuk mengikuti gotong royong tersebut. Semua mata warga kini tertuju kepada anak sulung lurah. “Kalian tidak akan mendengar lagi senandung itu selamanya,” jelas Cok De (Cokorda Gede). Warga kampng semua mendekat ke Cok De.
“Apa, tidak mendengar lagi. Lagu apakah itu sesungguhnya?” tanya salah satu warga.
“Lalu kemanakah Dadong Jepun pergi, sakit? Meninggal?” tanya salah satu warga.
Cok De memandang satu persatu warga kampung yang mulai penasaran. “Ya, kalian tidak akan mendengar lagi senandung itu. Senandung itu adalah lagu Kebangsaan Jepang, Kimigayo,” jelas Cok De. Lalu warga yang membawa ponsel, mencari di youtube, Lagu Kebangsaan Jepang. Beberapa ponsel terdengar lagu Kimigayo, sambil menyebut,
“Selama ini, hampir selama 12 tahun kita dihibur lagu Kimigayo, hahahaha,” celetuk salah satu warga.
“Ya, nok. Kita hampir hafal dengan lagi itu, ternyata lagu kebangsaan,” celoteh yang lain. Salah satu warga kemudian menyebutkan, bukan soal lagu kebangsaan apa yang terdengar setiap pagi. “Yang kita patut teladani adalah kegigihannya, bangun setiap pagi memungut sesuatu yang kita anggap remeh dan ternyata menghasilkan uang, walau tidak seberapa,” papar salah satu warga. Warga lain juga menyebutkan bahwa dengan mendengar senandung Kimigayo tersebut, seperti mendengar alarm hidup.
“Cok De, tolong dong ceritakan, kemana Dadong Jepun sekarang pergi!” pinta salah satu warga. Dengan tenang Cok De menjelaskan, Dadong Jepun sudah kembali ke Negeri Sakura. “Pada jaman pendudukan Jepang, Dadong Jepun masih muda dan cantik. Karena pintar memasak, maka salah satu komandan tentara menjadikannya sebagai tukang masak di kemah tentara Dai Nippon,” beber Cok De. Warga semakin asyik mendengar cerita Cok De dan warga mulai mengerti kenapa Dadong Jepun hapal lagu Kimigayo.
“Lalu bagaimana ceritanya, bisa sampai ke Negeri Sakura,” tanya salah satu warga.
“Selesai pendudukan Jepang, Dadong Jepun hamil dan memiliki satu putra. Ayah dan putranya kembali ke Jepang. Dadong Jepun tertinggal disini, menjalani hidup menjanda dan menyimpan sendiri penderitaannya,” jelas Cok De.
“Nama asli Dadong Jepun siapa sih,” tanya yang lain.
“Nama aslinya Astitisai dan oleh suaminya ditambah Midori Hirota, Made Astitisai Midori Hirota KTP Indonesianya,” jelas Cok De.
****
Sebulan sebelumnya. Seorang lelaki berperawakan sedang bercakap-cakap dengan Cok De dengan bahasa Jepang. Cok De mendengarkan dengan serius perkataan lelaki asing tersebut. Beberapa kali Cok De memberikan penjelasan sambil tangannya bergerak seperti memberikan keyakinan atas jawabannya. Sesekali Cok De manggut-mangguthanya mangggut-manggut dan membawa berkas yang diberikan lelaki tadi.
Memasuki pondok Dadong Jepun, Cok De jantungnya berdegup kencang. Beberapa kali usahanya untuk meyakinkan, bahwa putra semata wayangnya masih hidup. Beberapa kali Dadong Jepun berteriak, agar suaminya tidak ditangkap, tidak disiksa. Traumanya berkepanjangan.
“Percayalah, putramu akan menjemputmu. Nenek bisa kembali ke Jepang bersama keluarga disana,” jelas Cok De meyakinkan. “Semua surat-surat sudah diurus putramu dan dalam beberapa hari ini nenek sudah bisa bersenandung lagi, Kimigayo,” tambahnya.
“Apakah disana ada pohon Kamboja yang bunganya berguguran,” tanya Astitisai. Cok De yang belum pernah ke Jepang dan hanya tahu bahwa di Jepang terkenal dengan bunga Sakura, menjawab, “Bunga Kamboja pasti ada disana dan ada lagi guguran bunga yang bisa dipungut yaitu bunga Sakura,” jelas Cok De berbohong untuk meyakinkan.
“Sesungguhnya aku masih ingin tinggal di Bali, mati di Bali. Tapi baiklah, asal aku mendapat kesempatan memunguti guguran bunga Kamboja disana.” (sas)