SIAT WAYANG – kelirbali.com
oleh I Wayan Westa, penikmat budaya. Pagi di bulan Kartika, Mpu Brahmaraja baru saja usai menghaturkan puja surya sewana. Langit begitu cerah, di Asrama Kayu Manis bunga-bunga tengah mekar, dengung kumbang hitam terdengar bagai Gayatri dilantunkan pelan. Suara ayam hutan mengantar pagi begitu cerah.
Pagi itu, di bulan Oktober, saat bunga-bunga mekar, rinai kecil mengantar Sang Mpu berangkat ke Bali memenuhi utusan Raja Bali, Sri Semara Kresna Kepakisan. Menaiki jukung kecil, melintas di perairan Bali Selatan, jukung berlabuh di Pantai Lebih. Namun sang Mpu tidak langsung ke Istana Gelgel. Sebelum memasuki kraton, Brahmaraja berniat datang memohon restu kehadapan Batara Tolangkir, di Gunung Agung. Gunung Agung adalah Lingga Acala bagi pulau ini, lingga yang tak bergerak, tempat orang-orang Bali memohon kerahayuan.
Duduk samadhi di kaki Gunung Agung, diterpa angin pegunungan nan sejuk, Mpu Brahmaraja tiba-tiba melihat cahaya gemerlap di atas Padmasana Manik, dikitari gerimis tipis layaknya hujan emas. Seraya menyembah, kepala merunduk ke bumi, Brahmaraja mendengar sabda dari sumber cahaya: “Wahai dikau pendeta yang rupawan, apa gerangan tujuanmu datang ke sini, ceritakanlah!
Dengan kepala merunduk, tanpa menoleh dari mana datangnya suara, Sang Mpu menjawab sembari menghaturkan puja pangastuti: “Ong ampuni hamba Dewa Penguasa Alam, yang memberikan keselamatan bagi semua mahluk, bebaskan hamba dari segala dosa, mohon lindungi hambamu ini. Hamba brahmana Madura, datang ke Bali diutus Raja Gelgel, hamba dimohon mensucikan penguasa Bali menjadi Raja Rsi.”
“Engkau Mpu Madura, ada satu sarat bagimu bila hendak mensucikan Raja Gelgel, jika engkau tahu riwayat tangan kananku, engkau boleh mensucikan Sri Aji Bali.
“Coba lihat tapak tangan kananku ini, apakah kau mengerti hakikatnya?” Sabda Batara Tolangkir
Sang Mpu melihat tapak tangan Batara, seraya berkata:
“Duli Paduka Bhatara, maaf beribu maaf, izinkan hamba menyebutkannya, yang tergambar di tapak tangan Bhatara tiada lain panca brahma, lima kekuatan api brahma yang ada di dalam tubuh. Ia adalah sumber hidup sekaligus sumber kekuatan. Siapa saja yang kuasa atas lima energi Brahma itu, ia kuasa atas segala-galanya. Ia adalah pemulia api. Ia senantiasa berjalan di “marga api”, menemukan kebebasan di “jalan api” juga.”
“Di mana patut dipukulkan, di bahu atau di dadamu?” Sabda Bhatara kembali.
Sang Mpu terdiam, tidak menjawab sepatah kata pun. Tiba-tiba Batara Tolangkir menghilang. “Kenapa Bhatara Gunung Agung tidak bermurah hati pada Brahmana Madura ini,” bisik Sang Mpu dalam hati.
Usai menyembah, Mpu Bumi Sakti mohon diri hendak melanjutkan perjalanan ke Istana Gelgel. Menuruni bukit-bukit, melewati hutan dan sawah-sawah subur, jalan-jalan desa yang asri sang mpu akhirnya sampai di Istana Gelgel.
Para abdi, keluarga kerajaan menyambut kedatangan Mpu Bumi Sakti dengan hati berbunga-bunga. Ni Rijasa, dara cantik berkulit kuning lamsat, abdi kerajaan yang setia sedikit membungkuk menghaturkan air pencuci kaki kehadapan sang brahmana. Dengan berlari kecil, Sri Aji Kresna Kepakisan menyambut kedatangan Mpu Bumi Sakti. Wajahnya sumringah, senyum tulus menghias ketampanannya yang asali bagai Dewa Anangga.
“Rahayu Sri Mpu Brahmaraja. Damai sejahtera senantiasa, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Saya bersyukur, istana ini pasti terberkati atas kedatangan Sri Mpu. Mari, silakan istirahat, perjalanan begitu jauh, Sri Mpu mungkin letih.”
“Terima kasih Sri Aji Bali, paduka memang pantas menjadi raja bagi dunia. Paduka bagai Wisnu yang merawat dan melindungi dunia. Bolehkah hamba pendeta bertanya, apa gerangan maksud paduka mengundang brahmana miskin dan kurang pengetahuan ini datang ke istana?”
“Maafkan saya Sri Mpu yang suci, Tuan bagai Angira, pendeta penghuni surga, sudi kiranya Sri Mpu berbelas kasih padaku, anakmu ini ingin menjalani hidup sebagaimana leluhur hamba terdahulu, menuruti jejak Dang Hyang Soma Kepakisan, menjalankan darma kependetaan.”
“Ya Tuanku Raja, maksud Tuanku Raja dapat hamba penuhi, sebab sebagaimana leluhur Tuan, Dang Hyang Kepakisan adalah juga seorang brahmana. Sesungguhnya bagi kami brahmana tidak boleh menerima murid dari golongan kesatria, namun karena keinginan sang raja begitu besar dan tulus hamba tidak kuasa menolak permohonan Tuanku Raja.”
Setelah pembelajaran yang lama, menjalani sejumlah pembayatan,mematuhi ajaran rsi sasana, Sri Aji Bali pun didiksa menjadi Raja Rsi, raja pendeta yang setia pada janji diri, teguh dalam tapa brata, membuat bahagia dunia, senantiasa memuliakan leluhur. Ia yang telah mengalahkan musuh-musuh di dalam diri. Ia pelenyap derita rakyat. Raja yang menyadari, bahwa kebahagiaan paling tinggi bagi seorang pemimpin adalah ketika rakyat hidup sejahtera.
Tak dikisahkan, beberapa lama setelah Mpu Kayu Manis jenak di Gelgel, Sang Mpu kembali ke Madura.
Kini dikisahkan Dyah Amrtatma melahirkan seorang putra bernama Brahmana Rare Sakti. Selang bebera lama lahir pula seorang putri bernama Dyah Kencanawati. Setelah sama-sama dewasa, dua putra-putri Mpu Brahmaraja menunjukkan bakat yang tidak jauh dengan sang ayah. Kedua-duanya teguh dalam tapa, menguasai Weda, Jyotisa, itihasa, silpasastra, usadha, dan lain sebagainya.
“Brahmana Rare Sakti”, ahli dalam ilmu “kepandean”, disebut pula ilmu pangandringan. Memiliki kekuatan batin sama seperti leluhurnya. Karena teramat sakti ia juga digelari Mpu Gandring Sakti, bukan Mpu Gandring dari Desa Lalumbang.
Demikian pula dengan Dyah Kencanawati, kesucian dan kedalaman batinnya tidak beda dengan Hyang Uma Sruti, bagai penjelmaan Dewi Kesetiaan, meresapi Weda, kawya sastra, taat dan tekun dalam tapa brata.
Nun di suatu hari, di Asrama Kayu Manis, Brahmaraja memanggil kedua anaknya:
“Anakku, engkau adalah dua saudara. Ayahmu berharap engkau selalu rukun. Kini engkau telah dewasa, ayahmu akan memberi sesuatu untukmu, sekadar azimat dalam melakukan pekerjaan, menjalankan swadarma. Kepada Nanak Mpu Gandring, ayah berikan cincin mas dengan permata Manik Bang, hikmahnya sangat mulia dalam melakukan pekerjaan membuat senjata, alat-alat perang. Dan engkau Mpu Galuh (Dyah Kencanawati) ayah berikan cincin mas bermata ratna cempaka, karena engkau mempraktikkan ajaran inti kusuma dewa.”
Sayang tiada beberapa lama Mpu Gandring Sakti merasa tidak senang terhadap pemberian ayahnya, menyangka pemberian itu tidak ada mamfaatnya. Dengan perasaan kecewa, Mpu Galuh pun dipanggil, dirayu dengan kata-kata manis:
“Adikku Dyah Kencanawati, menurut pikiran kakak, tidak sepatutnya adik membawa pemberiaan ayah berupa cincin bermata ratna cempaka, karena adik adalah seorang perempuan muda. Sebaiknya kakak saja yang membawa,” pinta Mpu Gandring Sakti.
Sadar bahwa cincin itu pemberian Mpu Brahmaraja satu-satunya, Dyah Kencanawati menolak permintaan sang kakak. Berulang-ulang dimintanya tidak juga dipenuhi, Mpu Gandring Sakti naik pitam akhirnya. Dyah Kencanawati dituding-tuding dengan kata-kata kasar, dipukul dan dihaniaya.
Kendati dihaniaya, Mpu Galuh tetap tenang hatinya, tetap bersih tak ubahnya manik banyu, tidak bergembira bila mendapat pujian dan tidak berduka saat mendapat cacian. Dia paham sifat-sifat penghuni Tri Buana. Bahwa pikiran orang yang berada di Neraka Loka semata dirajam duka. Sebaliknya budi orang yang berada di Sorga Loka semata menikmati perasaan suka. Dan para penghuni bumi dibelit perasaan suka, duka, hidup, dan mati(suka-duka-lara-pati). Demikian pikir Mpu Galuh, dan karenanya dia bisa menahan godaan amarah.
Pada suatu malam, seorang diri Mpu Galuh pergi ke Gunung Rangga Kusuma, di sana ia menenangkan hatinya. Duduk bersimpuh dalam posisi samadi, Mpu Galuh merasakan hatinya begitu hening, sehening embun pagi di pucuk ilalang. Nun dalam gelap itu Hyang Mahadewa sedang bersenang-senang di Gunung Rangga Kusuma. Terlihat gadis cantik tengah khusuk dalam yoga, wajahnya lembut bagai bulan, kecantikannya bersinar bagai Dewi Ratih.
Hyang Mahadewa mendekati dara cantik ini sembari bersabda: “Duhai gadis rupawan, siapakah dirimu seorang diri di tengah hutan belantara. Siapa ibu-bapakmu, katakan padaku?”
Dengan penuh hormat, Mpu Galuh menjawab: “Ampuni hamba paduka Bhatara. Hamba ini anak seorang brahmana dari bumi Madura, cucu dari Hyang Agni. Ayah hamba Mpu Brahmaraja. Maksud kedatangan hamba ke sini berniat melepas ikatan duniawi. Hamba ingin belajar inti sari ilmu kelepasan, kelak saat kematian menjemput hamba paham cara mati yang benar,” papar Mpu Galuh penuh harap.
“Nanak Mpu Galuh, aku tahu maksudmu, engkau betul-betul anak seorang brahmana utama, batinmu begitu bersih, engkau paham inti hakikat hidup, kini aku perintahkan padamu, pergilah engkau ke Bali, datang ke asramaku di Gunung Agung. Tugasmu menggantikan Brahmana Kul Putih, dia abdi dewa yang setia. Usianya sudah senja kini, sebentar lagi hendak pulang ke Dewa Loka. Hanya dirimu brahmani yang menekuni kusuma dewa layak menggantikannya. Lakukan peritahku! Ini tugasmu, kelak engkau akan dianugerahi kesempurnaan lahir batin,” sabda Hyang Mahadewa.(den)