SENTIL DALANG – kelirbali.com
oleh Denara, penulis jalanan. Menjelang akhir tahun salah satu kesibukan OPD adalah memverifikasi berkas, sehingga valid dan sekaligus pencairan dana kepada masyarakat dalam bentuk Hibah dan Bansos. Hibah Bansos ini ini merupakan kewenangan bupati dalam memberikan kepada masyarakat dan sebagian bansos/hibah ini difasilitasi oleh anggota DPRD. Jumlah bansos/hibah yang mesti diverifikasi ini bisa mencapai ribuan dan mesti diteliti satu persatu dan ditandatangani oleh bupati/gubernur atau pejabat yang diberi kuasa.
Dari tahun ke tahun jumlah dana untuk bansos/hibah terus mengalami peningkatan. Hibah/Bansos yang difasilitasi anggota DPRD biasanya berkedok membantu masyarakat tidak mampu. Namun di balik semua itu, pemberian bansos/hibah untuk memelihara suara konstituen dari anggota DPRD tersebut. Sehingga bisa dikatakan, anggota DPRD bekerja dengan mendapat gaji dan tunjangan bulanan dan memelihara konstituen oleh dana dari APBD. Sedangkan bupati dengan leluasa memberikan bansos/hibah kepada masyarakat dengan tujuan tertentu, atau paling tidak untuk memelihara basis masa tempat partai politiknya bernaung.
Dalam kasus di Kabupaten Klungkung, ada kemungkinan Bansos/hibah pencairan tahap ketiga (termin 3) tidak bisa cair. Hal ini disebabkan kepemimpinan di Klungkung menghadapi masa transisi. Dimana, Bupati Klungkung sebelumnya mengakhiri masa jabatannya pada 3 November 2023. Sedangkan sisa kepemimpinannya dijabat oleh Plt sampai 16 Desember mendatang. Nah, secara undang-undang diperbolehkankah seorang Plt menandatangani NPHD?
Bila mengacu kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, khusus pada Pasal 173 menjelaskan kepala daerah yang mengakhiri masa jabatan karena meninggal, permintaan sendiri dan diberhentikan, DPRD wajib mengusulkan pengganti melalui mekanisme di DPRD. Dalam Ayat 7 pasal 173 menyebutkan; Dalam hal Gubernur tidak mengampaikan usulan, maka Mendagri mengesahkan pengangkatan Wakil Bupati, Wakil Walikota berdasarkan surat kematian, permohonan pemberhentian.
Sampai saat ini, DPRD Klungkung tidak mengambil langkah apa pun untuk mengesahkan Plt Bupati menjadi Bupati definitif. Sedangkan dalam PKPU hanya sah mengundurkan diri sejak ditetapkan menjadi daftar calon tetap. Sedangkan mekanisme pengisian jabatan yang ditinggalkan secara spesifik tidak diatur dalam peraturan tersebut. Sedangkan semenjak 3 November lalu, DPRD Klungkung sendiri tidak mengambil sikap apa pun. Dan bahkan sebelumnya, pengajuan pengunduran diri Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta hanya diselesaikan melalui surat keputusan (SK). Sejak kapan DPRD bisa mengeluarkan SK? Sehingga bisa disebut, produk SK tersebut cacat hukum, cacat administrasi kepemerintahan.
Tugas pokok DPRD ada tiga: pertama; Membentuk Peraturan Daerah bersama-sama Bupati. Kedua; Membahas dan memberikan persetujuan rancangan Peraturan Daerah mengenai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diajukan oleh Bupati. Ketiga; Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan APBD.
Yang kemudian, saat ini pucuk pemerintahan tertinggi di Klungkung dipegang oleh Pelaksana tugas (Plt) I Made Kasta. Sebagai pelaksana tugas, tentu saja tidak memiliki kewenangan bebas, mulai dari menggeser pegawai, mutasi termasuk apa saja yang boleh ditandatangani sesuai peraturan kewenangannya dalam pelaksanaan tugas. Kendati dalam Surat edaran Kemendagri, seorang Plt diperbolehkan melakukan pengisian jabatan, mutasi namun hal ini juga mesti mendapat persetujuan dari Mendagri. Sehingga kewenangan Plt masih terbatas.
Nah, sekarang, bisakah seorang Plt menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD)? Tentu bila mengacu pada SE diperbolehkan. Hanya saja SE bukan produk hukum, hanya berupa ajakan, undangan namun tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Mengacu pada PP Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Hibah Daerah, pada Bab V, Perjanjian Hibah, Pasal 15, Ayat 1 disebutkan Perjanjian Hibah Daerah dimaksud dalam pasal 14 ayat (4) ditandatangani antara Menteri atau pejabat yang diberi kuasa dan gubernur atau bupati atau pejabat yang diberi kuasa. Pada Pasal 15 ayat 2, disebutkan Perjanjian penerusan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 5, ditandatangani Menteri atau pejabat yang diberi kuasa dan Gubernur atau bupati atau pejabat yang diberi kuasa.
Sedangkan sebelumnya, dalam Pasal 14 ayat 4, disebutkan; Berdasarkan surat penetapan pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, dilakukan penandatanganan perjanjian hibah daerah. Tidak disebutkan yang boleh menandatangani adalah Pj atau Plt. Lalu kalau pertanyaannya bisa ditandatangani oleh pejabat yang diberi kuasa? Plt Bupati Klungkung diberi kuasa oleh siapa, sejak kapan? sehingga bisa atau boleh menandatangani NPHD.
Penandatanganan hibah tahap 3 ini sudah sangat mendesak, mengingat sisa waktu sampai Desember sedikit. Belum lagi yang mesti ditandatangani ribuan hibah dan dalam rangkap 4. Kondisi ini belum lagi melakukan crosscek terhadap validasi hibah.
Bila proses ini lambat, tentu yang menjadi korban adalah masyarakat penerima bantuan hibah. Dimana masyarakat penerima hibah sudah terlanjur menerima hibah. Di satu sisi, Plt Bupati belum bersedia menandatangani karena akan berdampak kesalahan administrasi.
Dalam hal ini, Lembaga dewan semestinya tanggap. Dimana setelah atau sebelum bupati mundur pada tanggal ditetapkan, lembaga dewan mengambil langkah-langkah agar proses administrasi pemerintahan daerah berjalan dengan baik atau paling tidak, tidak cacat hukum. Langkah yang diambil paling tidak ikut memohon surat kuasa. Tudingan ini, nantinya akan ditujukan ke lembaga dewan, mengingat sesuai kewenangannya mengesahkan, membentuk peraturan dan pengawasan. Toh juga, sebagian bantuan Hibah difasilitasi anggota DPRD, sehingga masyarakat yang difasilitasi hibah akan menuntut wakilnya di DPRD.(den)