Atas Nama Demokrasi Mesti Berseteru

Facebook
Twitter
WhatsApp

SENTIL – kelirbali.com

oleh Denara, penulis jalanan. Peradaban besar sebuah bangsa sebagian besar lahir dari peperangan. Peperangan itu dimaknai sebagai ekpresi ‘kegagahan’ kejantanan yang mengiringi peradaban. Peradaban manusia juga berkutat pada perang. Berbicara kemerdekaan, diawali dengan sebuah peperangan yang berlanjut pada perundingan. Dari jaman purba, perang antar suku beranjak ke perang antar kerajaan, perang antar negara, perang agama, perang ideologi, perang teknologi, perang suci sampai pada perang-perangan-latihan perang.

Peperangan ditujukan untuk memeroleh pengakuan, dan perang diwujudkan. Yang oleh Nietzcshe disebut; bangsa yang layak berdiri tegak adalah bangsa yang selalu berada di garis peperangan. “Bangsa yang tidak berani berperang, silakan menuju alam demokrasi dan di sana berteriaklah sama rasa-sama rata.” Kasar memang ungkapan eksistensialis asal Jerman ini. Namun seperti itulah adanya, bangsa-bangsa dihadapkan pada peperangan nyata atau tersembunyi.

Akhir dari peperangan/pertarungan adalah perubahan dan demi tujuan perubahan itu; perang mesti terjadi. Tujuan berikutnya juga adalah melanggengkan kekuasaan. Jauh sebelumnya, pada jaman dahulu kala manusia berperang melawan raksasa guna memperebutkan Tirta Amerta. Rama dan Rahwana berebut Sita yang dianggap sebagai Dewi Bumi. Arjuna dan Karna berperang berebut kasih sang ibu; Kunti. Pada kekinian pula, Indonesia (Bali) dengan India berebut orisinalitas budaya. Eropa dan Cina juga berebut kolonialisasi gaya baru dalam model kapitalisme.

Piranti peperangan yang paling sederhana adalah bertarung tangan kosong, senjata pendek seperti keris, pedang, tombak sampai panah. Bergeser kemudian dengan senapan, granat sampai pada nuklir. Yang sampai akhirnya, produk teknologi digunakan sebagai senjata seperti kendaraan, gadget serta produk teknologi lain. Akhirnya bangsa yang kalah (warganya) dipaksa-terpaksa mengeluarkan uang guna senjata tersembunyi kapitalis. Sampai pada akhirnya; kalah menyakitkan, kalah memalukan, kalah terhormat. Dan yang paling tidak kentara adalah tidak merasa kalah, sampai pada damai-damai saja dan sesungguhnya sedang berhadapan dengan perang itu sendiri. Perang itu tidak pernah berhenti dan terus mencari bentuknya,,.

Siapa yang tidak berperang. Sekelumit dengan perjalanan bangsa di Indonesia sendiri pasca tumbangnya Orde Baru; didikan ideologis Orde Baru mencari jalannya sendiri-membuat partai dan sebagiannya tetap di jalur lama. Dengan membuat partai, anak didik ideologi ini menciptakan perang baru, berebut pengaruh, berebut kuasa demi sebuah perubahan, setidaknya eksistensi diri.
Yang terjadi selanjutnya, kawan jadi lawan, seteru jadi konco, penasehat jadi lawan, anak buah jadi lawan. Seperti halnya, SBY berhadapan dengan Prabowo dalam Pilpres, lalu kini dalam satu kendaraan untuk menuju kemenangan itu. Prabowo yang pernah jadi Cawapres Megawati, kini berhadapan antara Gerindra dengan PDIP. Anies Baswedan yang pernah didukung Prabowo menuju tiket DKI 1, kini jadi seteru Prabowo. Prabowo yang pernah berduet dengan Sandiaga Uno, kini berada di gerbong berbeda. Mahfud MD yang pernah jadi timses Prabowo kini juga harus saling berhadapan di Pilpres. Ganjar dan Anies yang sama-sama satu SMA di Yogya kini mesti saling berhadapan. Jokowi yang pernah berhadapan dengan Prabowo dalam Pilpres kini bersama dalam meja makan. Ibaratnya, mereka adalah wayang-wayang dalam satu peti, lalu dalangnya mengutak-atik agar pertunjukan wayang semakin menarik.

Yang mana pemain inti, pemain cadangan, pemain pengganti dan pelatih saling adu strategi dan bahkan bertukar pelatih, bertukar kandang semua asyik-asyik saja. Muncul kemudian, Politik Move On, Politik Santuy, meramaikan suasana agar bisa ada dalam seteru, bersiap untuk peperangan baru (lima tahun lagi). Di luar kuasa rakyat Indonesia, 270 juta penduduk harapannya bergantung pada seteru-seteru, kawan-lawan tersebut.
Lalu, sebuah partai yang lahir dari suasana gaduh terdahulu atas nama demokrasi, ikut gaduh-gaduhan, memanasi, menggoreng agar semakin panas. Gong demokrasi lalu dimainkan atas nama etika, kepatutan, marwah hukum, keluarga, pengkhianatan, cemooh sampai pada hujatan. Suasana digaduhkan, agar perang semakin seru, agar tidak kalah memalukan atau memang sesungguhnya sudah kalah sebelum bertarung. Berteman adalah sehaluan, lain bendera adalah seteru; habisi, hujat.

Ya, hidup adalah peperangan itu sendiri, tiap hari dihadapkan pada situasi perang. Perang purba, perang jaman kerajaan terus bergeser, sesuai dengan hakikat perjuangan manusia. Alat-alat perang juga terus tercipta. Dan yang paling ‘romantis’ adalah perang melawan diri sendiri. Dalangnya, senyum-senyum sendiri, “Ini memang mauku!”(den)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…