Oleh : Luh Pedani, Pelajar Komunikasi Politik
Tahapan Pemilu Serentak 2024 pada akhir Desember 2023 ini sedang dalam fase kalibrasi. Strategi politik para pihak sedang diuji untuk mengukur nilai dan data, sebelum pemilu itu digelar. Ini fase penting bagi para capres-cawapres. Mau terus berjuang dan menang atau kibarkan bendera putih dan kalah. Apalagi bagi kubu pro keberlanjutan. Sangat penting. Karena mereka punya kuasa memainkan sistem pada seluruh perangkat negara.
Lembaga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menjadi salah satu perangkat negara paling sibuk, panas dan penuh intrik pada elite negara. Selain memegang kantong suara para ASN, dampak Pemilu Serentak membuat Kemendagri pusing delapan oktaf, karena menjadi rujukan untuk penentuan Penjabat (Pj) Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati. Terutama, ketika masa jabatan kepala daerah itu sudah habis maupun terpaksa mundur karena ikut Pemilu Legislatif.
Kecerdasan Mendagri hingga para Direktur Jenderal dan turunannya benar-benar diuji. Agar pada banyak daerah tidak terjadi kekosongan kekuasaan, birokrasi tetap berjalan, program pembangunan daerah tidak terhenti dan suatu daerah tetap kondusif. Kemendagri menjadi panglima dalam hal itu. Integritas dan reputasi sebagai gudang orang-orang hebat dan ahli dalam mencerna serta menjalankan ketentuan perundang-undangan, dipertaruhkan. Sedikit saja ‘masuk angin’ karena tergiur cuan pemilu, maka selesai sudah. Runtuh seketika wibawanya. Hati-hati.
Kehormatan Kemendagri pun diuji dalam menentukan Penjabat Kepala Daerah. Dalam perjalanannya, ada yang lancar, ada yang penuh dinamika, bahkan ada yang sampai menginap di sekitar Kantor Kemendagri hanya untuk menunggu tanda tangan Mendagri. Agar nama yang diharapkan masuk dalam Keputusan Penjabat Kepala Daerah dari Mendagri. Conflict of interest-nya menjadi sangat tinggi. Presiden RI Joko Widodo nampaknya sudah menangkap sinyal itu, sebagai proses yang tidak netral. Kemendagri pun sedang dalam sorotan tajam pihak Istana. Tinggal dievaluasi, dan diganti.
Ibarat main catur, sekali Kemendagri salah melangkah, tidak pada rule yang dibuat kekuasaan, maka skakmat. Tidak main-main memang. Sinyal itu tertangkap sangat jelas, tatkala Presiden Joko Widodo memilih sendiri untuk beberapa nama penjabat kepala daerah yang dibutuhkan. Karena tarik-ulur kepentingan politiknya tinggi. Bahkan, pilihan Joko Widodo bukan dari Pejabat di Kemendagri, melainkan pejabat dari perangkat negara lain. Semisal, pejabat dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), seperti untuk Penjabat Kepala Daerah di Kabupaten Klungkung, Bali. Padahal, di Kemendagri ada lebih dari 400 Pejabat.
Namun, bukan conflict of interest itu yang menjadi fokus kita. Sejak Presiden Joko Widodo belok tajam mendukung Prabowo Subianto, publik semakin paham isi hati dan kepala seorang Presiden RI dua periode ini. Isinya hanya satu, kepentingan negara. Mari cermati dari sudut lain. Jika dilihat dari perspektif lain, dari sekitar 112 posisi kepala daerah kosong dan diisi Penjabat Kepala Daerah, rupanya Kemendagri masih menggunakan pendekatan utama kedaerahan. Masih melihat suku, ras maupun golongan dalam menentukan keputusan seseorang pejabat menjadi Penjabat Kepala Daerah.
Hasilnya, berantakan. Hasil evaluasi para Penjabat Kepala Daerah dari Kemendagri baru-baru ini, sebanyak 59 orang penjabat mendapat raport merah. Mereka hanya mampu mengumpulkan skor 0-59. Dalam rekapitulasi penilaian tersebut juga tercatat sebanyak lima Penjabat Kepala Daerah meraih rapor kuning dengan skor 60-79. Sementara, 48 Penjabat Kepala Daerah lainnya mendapat rapor hijau dengan meraup skor 80 hingga 100 atau berkategori baik. Inilah alasannya kenapa Presiden Joko Widodo meminta evaluasi Penjabat Kepala Daerah dilakukan evaluasi setiap triwulan. Kesimpulannya, ada yang salah dalam proses-proses penentuan dan penempatan Penjabat Kepala Daerah.
Kenapa suku, ras dan golongan seorang pejabat masih dipandang penting untuk bertugas sebagai Penjabat Kepala Daerah?. Padahal, seluruh pejabat di Kemendagri lahir dari tempaan proses pendidikan Sekolah Ikatan Dinas macam IPDN. Khusus mengurus birokrasi dalam negeri. Prinsipnya jelas, tegakkan Bhineka Tunggal Ika. Namun, pendekatan Kemendagri tidak mencerminkan kebhinekaan itu. Justru cenderung ‘rasis’. Kondisi ini menandakan, disadari atau tidak, Kemendagri sudah terseret sendiri dalam pusaran conflict of interest.
Pusaran ini menjebak Kemendagri dalam tren ‘politik identitas’ dalam konteks, suku, ras dan golongan. Ini berbahaya. Bahkan rentan memicu praktek-praktek dagang, supply (penawaran) and demand (permintaan). Daerah tertentu punya demand, Kemendagri punya supply. Maka, diantara demand dan supply tentu ada ‘nilai’ yang harus ditunaikan. Oknum pejabat terkait, cenderung menggunakan momentum ini, untuk mengeruk keuntungan pribadi, dengan berbagai dalih dan narasi.
Terus terang, tren politik identitas dalam konteks ini, dampaknya buruk. Kalau tren ini tidak dihentikan, terus perangkat negara lainnya, macam institusi Polri, Kejaksaan dan lembaga perangkat negara lainnya, apakah juga harus begitu? Orang Kalimantan, harus tugas dinas di daerahnya. Pejabat orang Jawa harus berdinas di daerah Jawa. Pejabat dari Bali, harus bertugas di Bali. Lalu, kapan kita bisa maju atas dasar semangat NKRI?. Lebih-lebih punya cita-cita besar Indonesia Maju, menuju Indonesia Emas Tahun 2045.
Perlu diingat kembali bahwa visi utama Kemendagri adalah menjaga kebhinekaan. Dan, ASN adalah perekat teknis kedinasan pusat-daerah secara vertikal dan sebagai pengintegrasi bangsa secara horizontal.
Poto : Sumber Laman Berita Suara.com