Mitologi Purwa Perebutan ‘Tirta Kamandalu’ yang Ditinggalkan

Facebook
Twitter
WhatsApp

ESAI – kelirbali.com

oleh Denara, penulis jalanan. Mata air – Air mata sebuah jalinan antara makrokosmos dan mikrokosmos yang sama-sama keluar melalui nadhi, mengalir di pertiwi (bumi) dan mengalir di tubuh. Dalam sepanjang hidupnya, manusia terus berupaya meraih-mendapatkan yang namanya amrta, oya (toya).

Air (toya) berada di mana saja, dalam tumbuhan, buah, tanah, sungai; sebagai sumber bebas tiada yang memiliki. Oleh manusia, maka tercipta krisis terjadi peperangan memperebutkan amrta. Tuhan menciptakan amrta guba keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup di bumi.

Jauh sebelumnya, dalam mitologi purwa, manusia berebut amrta (toya) dengan para raksasa. Peperangan ini muncul dalam demi menikmati air suci kehidupan, banyu suci perwitasari. Semuanya merasa berhak memiliki air suci kehidupan dan motifnya adalah dengan laku suci agar dirinya suci dengan air suci.

Mitologi purwa berkait amrta; air suci (toya), tidak saja dituliskan di India, di Persia perebutan tirta amrta ini dengan nama Aab-i-Hayat (Air untuk kehidupan). Al-Iksir di Arab yang dimaknai benda ajaib, di Skotlandia dan Irlandia disebutkan Uisce Beatha yang artinya Air hidup. Dalam Bibel juga dituliskan Fountain of Life (Roh Allah), sedangkan di Tibet sendiri dengan mitologi purwa Mansarovar yang bermakna identik Telaga di dekat Sungai Gangga dan kisah purwa lain di belahan bumi. Di Nusantara kisah purwa ini dituliskan Tirta Kamandalu yang bahkan saking ajaibnya Tirta kamandalu disebut bisa menghidupkan yang telah mati. Dalam romantisnya kisah purwa ini, sampai disebutkan siapa yang meminum Tirta Kamandalu, akan hidup abadi. Tentu!

Perebutan air ini terus berlangsung sampai kehidupan manusia modern (kekinian-kontemporer). Manusia modern memperebutkan tirta amerta dengan cara yang berbeda, namun dengan laku yang mirim perseteruan purba. Manusia meniru kisah purwa tersebut, sebutlah salah satunya, Matirta Yatra atau ritual di tempat suci. Kemudian berkembang istilah baru, pelestarian atau yang paling dekat dengan masyarakat Bali, Danu Kertih. Semuanya memiliki tujuan mulia, spirit cinta (eros) menuju than-atos (kematian yang suci). Manusia kemudian mencari air suci dengan mendaki bebatuan puncak gunung, dalam belantara, di atas altar suci pemujaan.

Oleh guru wisesa (pemerintah) persoalan perebutan air nampaknya menjadi tontonan. Dua daerah yang nyata-nyata kekeringan, kesulitan air bersih terus berlangsung sejak mereka bermukim di wilayah tersebut. Yang paling jelas menampak, di dua kecamatan di Bali, Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung dan Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Dari tahun-tahun sepanjang tahun, persoalan air tidak pernah terselesaikan. Mereka dahaga dan mendapatkan air dengan caranya sendiri.
Jejak yang agak menjengkelkan adalah, tetiba masyarakat diajak untuk Wisata Air, Wisata Tirta, lalu berbondong-bondong berebut kuasa atas air di balik kapitalisme. Bukankah tegaknya suatu kebudayaan didukung oleh kelestarian sumber daya air? Ingatan akan UUD 45, Pasal 33 ayat 3, meleleh melenceng.

Mareresik di sumber air adalah mulia. Lebih mulia lagi bila air tersalur dengan baik ke rumah-rumah kaula warga, warga yang dekat-dekat dengan sentuhan BLT. Yang paling aneh lagi, sudah jelas dan kekeringan selalu muncul di setiap tahun, berulang namun upaya yang dilakukan sepertinya tambal sulam. Tahun depannya, dahaga air lagi, krisis air lagi. Di sisi lain, sumber air melimpah untuk dikelola. Hanya saja pengelolaannya tidak bisa dengan cara-cara 10 atau 20 tahun yang lalu. Teknologi air terbentang lebar, sumber mata air ada, hanya tinggal kemauan dan tekad baja, bahwa air (toya) juga untuk semua mahluk hidup.

Yang duduk di lembaga legislatif juga diam bisu. Mereka lebih memilih mendapatkan uang Bansos/Hibah ketimbang memberikan perlakukan terhadap air yang lebih manusiawi. Hampir ratusan miliar dana rakyat disebar untuk bantuan ini, tempat dimana air suci dialtarkan. Namun mereka lupa, tubuh-tubuh ringkih di depan altar memerlukan amrta-toya; agar sesuai kehendak mitologi purwa ; Tirta Kamandalu memberi mereka hidup abadi.
Dibutuhkan jadma pinilih untuk mewujudkan cita-cita ini, dimana perebutan-peperangan-kuasa atas amrta tidak berulang dari tahun ke tahun. Seperti kata orang Jerman sana, Nietchsze peradaban yang baik itu syaratnya; bila manusia telah memiliki kuasa akan kedalaman air, berani memasukiliarnya hutan, tegar mendaki tingginya gunung. Dengan catatan mereka telah mengasah budi, memasah bumi, mengerti malaning bumi.(den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…