RUMPI – kelirbali.com
Pada suatu hari di pagi yang sejuk, seorang raja berjalan-jalan ke hutan. Perjalanannya ke hutan untuk mencari suasana sejuk di tengah kesumpekan rutinitas sebagai raja. Berbekal busur panah dan hanya diiringi satu pengawalnya. Jauh menelusuk ke dalam hutan tanpa hasil buruan seekor pun. Raja mulai lelah dan ingin mencari pertapaan terdekat.
Sebuah pertapaan akhirnya di temukan. Suasananya indah, damai. Di sekeliling pertapaan tampak bunga aneka warna dan burung-burung bercicit riuh, tupai bergelantungan. Raja sangat kagum dengan suasana pertapaan tersebut. “Betapa bahagianya pertapa ini. Pagi hari melantunkan doa, siang hari ke hutan mencari bahan makanan, sore beristirahat, mandi, makan dan tidur. Tanpa ada satupun yang melelahkan pikirannya,” batin sang raja. Di lihatnya di sekelilng pertapaan, hanya ada satu dapur, satu altar tempat pemujaan dan satu pondok kecil sebagai tempat tidurnya. Damai, seperti harapan semua orang, tanpa keluh kesah berapa saldo ATM.
Dalam pikiran sesaatnya, sang raja ingin sekali meninggalkan kehidupan sebagai raja. Dirinya ingin mengikuti langkah pertapa, Wana Prastha menyepi dari riuh masyarakat dan mendekat diri dengan sang penguasa. Pikiran sesaatnya memastikan bahwa tujuan hidup berdamai dengan diri damai dengan alam. Maka keputusannya bulat, seluruh hidupnya akan diabdikan sebagai pertapa.
Sang pertapa juga tidak kalah kagetnya. Selama bertapa tidak ada satu pun yang datang ke pertapaannya. Dirinya berpikir betapa indahnya menjadi warga masyarakat, berbaur dengan masyarakat saling bertegur sapa dan berbagi suka duka. Dirinya juga ingin sebagai manusia bebas di lingkungan sosial. Di hadapan pertapa, raja berkata, “Wahai pertapa suci, dahaga ku sudah terhapuskan. Aku pemburu dan tidak membawa daksina apa pun ke pertapaanmu. Hanya ada satu busur dan anak panah. Benda ini akan aku berikan padamu,” kata sang raja. Sebagai pertapa yang sudah meninggalkan keduniawian, dirinya sudah tidak tertarik lagi dengan benda-benda yang mengandung unsur pembunuhan. Lalu pertapa berkata,
“Hadiah busur panah? Aku melihatnya saja sangat sedih. Pada busur itu mengandung pembunuhan, tamasik. Aku menolaknya,” kata pertapa tegas. Namun sang raja bersikeras,
“Pertimbangkan lah lagi wahai sang pertama,” pintanya.
“Sebaiknya, kamu membawa kembali busur panahmu,” jawab pertapa.
“Jika boleh memohon sekali lagi. Aku hanya ingin menitipkan busur panah ini di pertapaan. Aku akan menaruhnya di belakang pertapaan, sehingga tidak merepotkan. Kapan aku datang ke sini maka aku akan mengambilnya lagi,” jelas sang raja.
Akhirnya sang pertapa menyetujui permintaan sang pemburu. Sang raja berjalan sendiri ke tengah hutan dan mencari tempat yang pas untuk mendirikan pertapaan. Di mulai dengan meratakan tanah, mencari bambu untuk penyangga pondok. Kehidupannya semakin susah ketika semua dilakukan sendiri. Mau kembali ke kerajaan juga malu. Tubuhnya tambah kurus dan menua.
Sang pertapa sendiri, setiap habis bermeditasi menoleh busur panah di belakang pondoknya. Dengan lewatnya waktu dan hari-hari kesendiriannya, sang pertapa mulai tergoda memegang busur panah. Ia mulai tergoda mengambil satu anak panah dan melesatkannya. Terkejut, anak panahnya melesat tidak jauh dari sasaran. Lalu diulangi lagi, diulang lagi. Beberapa hari setelahnya, sang pertapa mencoba peruntungan ke sekitar pertapaan untuk memanah seekor babi hutan dan semakin lama semakin kecanduan berburu. Panah yang sebelumnya tidak ingin dilihatnya, memberikan godaan dan menggagalkan upayanya menjadi seorang pertapa. Di sisi lain, sang raja yang bertapa di hutan semakin renta. Tidak ada obat untuk penyesalan. Tanggung jawab sebagai raja yang ditinggalkan hanya karena melihat satu sisi keindahan pertapaan.(den)