Yeh Pulu dalam tafsir Kun Adnyana

Facebook
Twitter
WhatsApp

RUMPI WAYANG – kelirbali.com

oleh Seno Joko Suyono – penyair budayawan. Setidaknya terdapat dua perupa, yang lima tahun terakhir ini tercatat berpameran tunggal bertolak dari riset atas peninggalan arkeologis. Keduanya asal Bali. Pertama, Putu Sutawijaya – yang telah lama menetap di Yogya. Kedua, Wayan Kun Adnyana –seorang akademisi seni rupa yang kini bergelar professor dan menjabat rektor ISI Denpasar Bali.

Putu, kita ketahui sejak lama berminat terhadap situs-situs arkeologis. Di Yogya ia memiliki kelompok bernama Bol Brutu – suatu komunitas lintas disiplin (dari ibu rumah tangga sampai dosen) – yang suka menjelajah ke berbagai situs-situs. Tak hanya situs besar-yang sudah popular di publik yang beramai-ramai mereka kunjungi namun situs-situs kecil yang jarang ditengok.

Mereka suka mendokumentasi berbagai arca-arca rusak yang ada di berbagai situs. Bukan hanya wilayah Yogya dan Jawa Tengah – perjalanan kelompok ini bahkan sampai Jawa Timur. Sampai ke lereng Gunung Penanggungan misalnya. Yang menarik, setelah perjalanan-perjalanan itu mereka kerap menerbitkan buku. Seperti sebuah buku yang bagus mengenai situs-situs Penanggungan.

Pameran: Anetes tahun 2019 adalah fase terbaru dari minat arkeologis Putu Sutawijaya. Pameran ini bertolak dari perhatiannya terhadap arca Garudeya. Bersama salah seorang sahabatnya, Kris Budiman – yang juga pemerhati candi, ia melakukan penelusuran sampai ke Jawa Timur untuk mengunjungi candi-candi yang memiliki arca-arca atau ornamen Garudeya. Saat di Dusun Sumberbeji, Desa Kesamben, Kecamatan Ngoro Jombang ditemukan sebuah bekas petirtaan Majapahit dan di petirtaan itu masih menempel utuh pancuran air berbentuk Garudeya, Putu pun datang ke sana. Arca Garudeya itu menempel di dinding sisi barat petirtaan tersebut berbentuk sosok garuda dengan tangan kanan mencengkeram leher ular, tangan kirinya memegang ular tersebut.

Sementara publik baru tahu ternyata Wayan Kud Adnyana memiliki ketertarikan terhadap situs arkeologis di Bali terutama Yeh Pulu saat disertasinya: Pita Maha: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali 1930-an diterbitkan KPG pada tahun 2018. Di situ ia mengulas bagaimana relief-relief Yeh Pulu sangat mempengaruhi I Gusti Lempad, pendiri Pita Maha. Hipotesisnya ini menarik dan merupakan sumbangan baru untuk memahami corak gambar Gusti Lempad – lepas pertanyaan beberapa orang bagaimana mengaitkan gaya gambar stilisasi Lempad dengan gaya relief natural Yeh Pulu.

Dalam berbagai karya drawingnya – selain yang memang mengangkat sosok-sosok dalam citra wayang Ramayana dan Mahabharata – Gusti Lempad juga kerap menggambarkan manusia-manusia biasa di tengah makhluk-makluk dari alam lain. Kita melihat percampuran yang fantastis. Beberapa drawingnya – di mata penglihatan seni rupa modern sangat erotik. Sering kita melihat sebuah gambar dengan topik: seorang perempuan dengan tubuh ramping dengan dada terbuka dikerubungi makhluk makhluk halus jahat. Sementara sosok-sosok manusia di relief Yeh Pulu rata-rata naturalis – secara keseluruhan narasi relief di Yeh tidak menyajikan percampuran antara dunia gaib dan dunia manusia dan cara memahatnya cenderung tidak mengidealisasi tubuh.

Selain sebagai obyek material studi akademis – yang menarik relief Yeh Pulu diangkat oleh Kun Adnyana ke dalam imajinasi lukisannya sendiri. Kun memang akademisi cum perupa. Ia memamerkan karya-karyanya yang bertolak dari relief Yeh Pulu di At Thienny Lee Gallery, Sydnye Australia Juli-Agustus 2019 kemudian Oktober tahun yang sama di Museum Neka Bali dengan judul: Sudra Sutra. Ia agaknya terus menerus mengeksplor relief Yeh Pulu. “Saya sudah lima tahun ini mengangkat relief Yeh Pulu ke lukisan,” katanya. Pameran di Agung Rai Museum 11 April sampai 11 Mei lalu maka bertajuk: Hulu Pulu – Five Years Exploration of Yeh Pulu Reliefs. Adalah menarik mengamati strategi estetis Kun lima tahun ini dalam menafsirkan relief Yeh Pulu ke kanvasnya. Adakah ia melakukan pembacaan yang mengejutkan? Bagaimana ia menarik data-data relief Yeh Pulu ke persoalan kita?

Situs Yeh Pulu dalam arkeologi kita memang lain daripada yang lain. Situs ini memiliki ukiran relief menonjol yang ditatah di permukaan tebing cadas sepanjang 25 meter dengan tinggi 3 meter. Yang demikian ini belum pernah ditemui di situs-situs arkeologi di Jawa atau Sumatra. Relief panjang di Yeh Pulu tersebut diperkirakan dipahat pada abad XIV atau XV – sezaman dengan periode Majapahit di Jawa Timur. Tingkat timbul relief jauh dari relief yang ada di Majapahit yang sebagaimana relief pada candi-candi Mataram Medang cenderung datar. Relief-relief di Candi Jawa Tengah dan Jawa Timur rata-rata dipahatkan dalam bentuk rendah (bas-relief), kemenonjolan relief hanya tipis dari bidang mediumnya – sementara relief tebing Yeh Pulu lebih tebal. Menurut Kun – teknik pahat relief di Yeh Plu terasa sangat spontan, sehingga memunculkan kesan ekspresif dan massif tidak halus sebagaimana relief candi-candi Jawa Tengah-Jawa Timur. Teknik pahat yang dipakai adalah dengan memahat langsung batu padas yang menempel di tebing. Relief tebing Yeh Pulu juga tidak menampilkan suatu rangkaian kisah yang diambil dari Kakawin atau kisah-kisah sastra sebagaimana biasanya relief di candi-candi Jawa seperti Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Kresnayana, Kisah Sudhamala, Kisah Tantri Kamandaka, Kisah Garudeya dan sebagainya. Sebaliknya –relief tebing Yeh Pulu menyajikan sebuah panorama kronik-kronik lepas kehidupan masyarakat.

Tak banyak arkeolog memang yang mendalami dan menafsirkan relief tebing Yeh Pulu. Di antaranya adalah Sukmono, Benrnard Kempers, A Gede Oka Astawa dan lain-lain. Relief tebing Yeh Pulu sendiri dipahat secara berjejer dari ujung utara ke selatan dan kemudian diakhiri dengan dua bilik ceruk pertapaan. I Kadek Yuliawan dari ISI Denpasar melihat – setiap tokoh dalam relief memiliki bidang ceruk tersendiri. Cara pengomposisian obyek di bidang memperhatikan keseimbangan antara kiri dan kanan, terlihat dari jumlah manusia yang diatur simetris. Motif stilisasi tumbuhan merambat terletak pada semua sisi relief.

Arkeolog A Gede Oka Astawa mencermati relief di Yeh Pulu diawali dengan pahatan sebuah kayonan. Kayonan adalah lambang gunung. Menurutnya itu menggambarkan bagaimana kultus gunung (sebagaimana juga di Jawa Timur pada periode sama) diaktivasikan masyarakat saat itu.

Secara urutan adegan, relief tebing Yeh Pulu dimulai dengan relief seorang lelaki sedang melambaikan tangan, selanjutnya seorang lelaki mengusung bejana tuak, sesosok putri, sesosok pendeta cebol, seorang perempuan tua yang sedang membuka pintu rumah, seorang lelaki pembawa pacul, dan seorang perempuan paruh baya yang sedang berdiri menggampiri lelaki bermuka raksana sedang bertapa. Kesemua adegan tokoh-tokoh ini seperti berlangsung di dalam pekarangan rumah. Kemudian adegan berikut, kesemuanya seperti berlangsung di luar rumah, tepatnya di alam bebas. Secara berturut-turut tampak adegan lelaki pengendara kuda, adegan tiga pemburu macan, lelaki-perempuan sedang minum (terdapat penggambaran kendi sedang berasap), dua lelaki menjinjing babi hasil buruan, lelaki pengendara kuda yang ekornya sedang ditarik tangan seorang perempuan, dan diakhiri dengan sosok patung Ganesha. I Kadek Yuliawan melihat mana yang warga dan mana yang bangsawan dapat dilihat perbedaannya dari atribut busananya.

Menurut Bernard Kempers, relief tersebut berkaitan dengan kisah kepahlawanan Krisna. Kempers berpendapat demikian karena dia melihat terdapat adegan perkelahian antara lelaki dan binatang liar yang dilihatnya antara macan dan beruang. Menurut Kempers dalam epos Mahabharata ada disebutkan Krisna bertarung dengan beruang. Yang menarik Kun menolak pendapat Kempers. Jelas-jelas menurut Kun adegan yang dimaksud Kempers menggambarkan tiga pemburu dan macan bukan beruang. Menurut Kun tidak ada jejak beruang yang hidup di Bali – dan maka dari itu meleset bila menafsirkan relief itu berkaitan dengan kisah Krisna. Kun agaknya lebih cenderung menafsirkan kisah relief berdasar kepercayaan masyarakat. Masyarakat lokal meyakini relief Yeh Pulu menceritakan kisah-kisah resistensi masyarakat Ubud terhadap ekspansi Majapahit.

”Saya melihat relief Yeh Pulu menampilkan kisah perlawanan orang-orang biasa,” kata Kun sebagaimana banyak dikutip oleh media. Masyarakat setempat sendiri banyak melihat relief itu berkaitan dengan kronik-kronik kehidupan raja Bedahulu yang memimpin warga Bedahulu melawan agresi kerajaan Majapahit. Hal demikian diyakini masyarakat sebab di ujung relief-relief terdapat cerukan-cerukan goa yang diduga sebagai tempat meditasi sang raja. Dalam sejarah dikenal daerah Bedahulu adalah daerah yang termasuk paling terakhir takluk terhadap Majapahit. Mereka melawan sampai tahun 1358 M. Begitu banyaknya relief yang menampilkan sosok rakyat biasa agaknya membuat pembacaan Kun lebih tertarik menonjolkan sisi heroisme masyarakat bukan kepemimpinan raja dalam mempertahankan daerahnya.

Menarik juga diamati – adakah Kun juga tertarik untuk mengeksplorasi Petirtan. Dalam khazanah situs-situs arkeologis Hindu di Jawa Timur – temuan patirtan-patirtan kuno sangat banyak. Petirtan adalah unsur penting dalam kosmologi Hindu. “Yeh Pulu” sendiri berasal dari kata Yeh yang artinya air dan Pulu berarti gentong, Yeh Pulu artinya gentong air. Nama tersebut diambil karena di kawasan ini ada sebuah gentong dan di sebelah barat situs tersebut terdapat sebuah sumber air. Sumber air tersebut disucikan. Berkaitan dengan petirtan adalah juga menarik melihat Situs Goa Gajah yang letaknya tak begitu jauh dari Situs Yeh Pulu. Situs Goa Gajah juga memiliki petirtaan.

Di muka Goa Gajah agak ke sebelah bawah terdapat situs petirtaan. Petirtaan ini tersusun dari tiga kolam pemandian suci yang berjajar utara-selatan, dengan enam arca berpancuran di tepinya. Masing-masing pasangan arca terdiri dari satu arca diapit oleh dua arca bidadari, tegak menghadap satu kolam besar. Sampai sekarang para arkeolog masih mencoba memahami adakah hubungan antara Situs Goa Gajah dan Situs Yeh Pulu. Di dalam Goa Gajah sendiri terdapat beberapa arca kuno yang menggambarkan Hariti, Ganesha dan raksasa. Para arkeolog menduga arca yang berada di patirtaan tengah Goa Gajah yang telah hilang kemungkinan adalah arca Ganesha. Sementara relief terakhir di Yeh Pulu Relief terakhir menggambarkan sosok Ganesha yang sedang duduk di dalam relung.

Dengan data-data arkeolog, hipotesis-hipotesis arkeolog, dan pembacaan pribadi bahwa relief Yeh Pulu lebih berkenaan dengan perlawanan masyarakat lantas bagaimana cara Kun mengartikulasikan catnya ke kanvas? Apakah ia sekedar memimesis seluruh relief dengan teknik modern? Adakah ia memaknakan air dan juga arca Ganesha – satu-satunya pantheon Hindu yang ditatah di relief itu? Atau ia melakukan mengapropriasi lalu memberinya makna baru? Apabila apropriasi bagaimana cara dan makna baru apa yang ditambahkannya? Pendeknya strategi estetis apa yang dilakukan atas data-data yang sudah ada?

Marilah kita melihat lukisan-lukisan Kun. Lukisan Kun cenderung berformat besar. Segera yang tertangkap, Kun tidak menyalin mentah-mentah apa yang ada dalam relief. Tapi ia melakukan permainan semiotika, menempatkan sosok-sosok yang ada dalam relief ke konteks yang berbeda yang kadang mengarah ke kejenakaan dan budaya pop sehari-hari. Pada relief itu misal ada gambar sosok menunggang kuda. Aktivitas menunggang kuda ini lalu menjadi objek Kun untuk melakukan berbagai penafsiran. Lihatlah lukisannya berjudul: In Passion#2. Di situ ia menampilkan seorang perempuan dengan busana ningrat atau bangsawan menunggang kuda. Sementara ekor kuda ditarik oleh seorang perempuan lain yang mungkin embannya atau apa . Jelas ide lukisan ini bertolak dari relief.

Dalam relief Yeh Pulu terdapat relief penuh “teka teki” seorang perempuan sedang memegangi ekor kuda yang ditunggangi seorang laki-laki. Di sebut “teka teki” – karena para arkeolog masih belum bisa memastikan apa maknanya perempuan itu menarik ekor kuda? Apakah perempuan itu melarang suaminya pergi berperang, sehingga ia menarik ekor kuda yang ditunggangi suaminya? Apakah perempuan itu justru menarik ekor kuda itu untuk membuat sang kuda meloncat dan kemudian berpacu kuat? Dalam interpretasinya sosok laki-laki yang menunggang kuda dalam relief tersebut oleh Kun diganti sosok perempuan.

Dalam lukisan Kun, tampak kuda mendongak meringkik ke atas dan perempuan yang menarik ekor kuda itu gembira. Di seputar tubuh kuda terdapat sosok-sosok kecil perempuan berambut panjang, semua seolah bersuka cita menyambut sang penunggang kuda. Kita tak tahu tafsir Kun mengarah kemana, selain bahwa ia mengapropriasi relief untuk diganti penunggangnya dengan perempuan. Kun mengulang lagi ide lukisan ini dengan judul: The Upside Down Naration. Hanya saja kini tubuh-tubuh kecil yang mengikuti arah berjalan kuda ini bukan perempuan tapi laki-laki.

Tafsir aktivitas menunggang itu kelihatan mencolok pada karya: Princess Rider. Di sini kelihatan kejahilan Kun. Dalam gambar itu ditampilkan seorang perempuan dengan kostum tradisional tengah menaiki Harley Davidson atau motor besar. Di depan Harley itu berjalan seorang laki-laki dengan pikulan. Di sini Kun secara “plesetan” mengganti kuda dengan ikon modern moge. Pada karya Ocean Habitus yang memperlihatkan panorama dasar laut terlihat para perempuan menunggang ikan-ikan besar dengan sisik warna warni. Beberapa sosok perempuan duduk diatas punggung bersisik, beberapa lainnya di bagian ekor. Mereka seolah bersuka ria. Habitus adalah istilah Pierre Bordieu untuk menenggarai adanya semacam pengetahuan yang tidak kita sadari, yang rutin kita lakukan. Bentuk pemahaman ini meliputi sesuatu dengan rentang situasi yang beragam; mulai dari cara berjalan, makan atau berbicara hingga sampai kebiasaan-kebiasaan sosial dan politik. Gagasan dasar gambar itu sendiri adalah permainan dalam ekosistem laut. Kita tidak tahu-apakah Kun tiba-tiba memiliki ide tentang lukisan laut ini sebagai hasil refleksinya terhadap patirtan atau sumber air yang ada di Yeh Pulu? (den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…