POLITIK – kelirbali.com
Menjelang Pemilu 2024, banyak kepala daerah baik gubernur maupun bupati memutuskan mundur untuk ikut Pileg atau pun habis masa jabatannya. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, pemerintah pusat menugaskan PJ (Penjabat) Gubernur atau Bupati untuk menjalankan roda pemerintahan.
Hanya saja, dinamika dan situasi politik ini menimbulkan dampak yang kompleks pada jalannya birokrasi di daerah. Kondisi ini tentu harus diantisipasi pemerintah pusat, agar tidak ada kekacauan akibat kewenangan terbatas Pj di setiap daerah. Sepanjang perjalanan birokrasi suatu daerah, kerap terjadi gejolak. Ini memerlukan kewenangan untuk melakukan suatu kebijakan. Kewenangan ini harus dimiliki penjabat bupati, agar bisa mengambil langkah-langkah strategis.
Apa yang bisa dilakukan dan batas maksimal kewenangan yang disandangnya. Melihat kondisi ini, tokoh masyarakat Klungkung Putu Tika Winawan, menyarankan pemerintah pusat khususnya Kemendagri, untuk mencantumkan kewenangan yang dibutuhkan itu pada diktum kedua dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri soal penunjukan PJ Bupati.
“Setelah diktum pertama yang menyatakan mengangkat pejabat menjadi PJ, diktum kedua saran saya sebaiknya ditambahkan, memberikan rekomendasi kepada pejabat yang ditunjuk dalam keputusan menteri, untuk bisa melakukan pemberhentian, penjatuhan sanksi, dan tindakan hukum lainnya. Bahkan, melakukan mutasi pejabat. Tanpa kewenangan itu, PJ Gubernur atau Bupati, tak lebih hanya sebuah piguran,” terang Tika Winawan, kepada media ini, Jumat (1/12/2023).
Tambahan diktum kedua ini, dengan pertimbangan merujuk pada keadaan bila terjadi force majeure atau keadaan memaksa. Mengingat dalam situasi tahun politik, tentu sangat rentan terjadi konflik kepentingan, konflik sosial, maupun antisipasi terkait jika terjadi suatu bencana alam. Demikian juga terkait kewenangan PJ Bupati dalam melakukan penandatanganan NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) yang beririsan langsung dengan kepentingan publik.
Kewenangan dalam mengatasi masalah-masalah seperti ini, tentu tidak bertentangan dengan ketentuan aturan yang ada. Bahkan justru sejalan dengan semangat reformasi birokrasi, di antaranya cepat, tepat dan efisien, demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik oleh aparatur berintegritas tinggi, produktif, dan mampu melayani secara prima dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik.
“Kalau Kementerian Dalam Negeri tidak mau mengambil sikap itu, maka sensitivitas pusat dalam membaca situasi daerah patut dipertanyakan. Artinya, terjadi suatu kemunduran pada level berpikir para elite disana. Ini ada apa?. Satu hal yang harus dipahami, dinamika birokrasi dan politik di daerah yang menghadapi nanti adalah PJ. Karena dialah yang nantinya berhadapan langsung dengan masyarakat di provinsi/kabupaten,” tegas Politisi Partai Perindo Kabupaten Klungkung, Bali ini.
Mantan Wakil Ketua DPRD Klungkung ini menambahkan, pada intinya kewenangan-kewenangan yang dibutuhkan seorang PJ, harus diberikan guna mengantisipasi semua potensi konflik itu. Hal ini tentu sejalan dengan SE Mendagri Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2023 kepada Gubernur dan Bupati di seluruh Indonesia. Pada poin 4 sudah sangat tegas dijelaskan bahwa Mendagri memberikan persetujuan kepada PJ untuk melakukan pemberhentian, pemberhentian sementara, penjatuhan sanksi dan/atau tindakan hukum lainnya kepada pejabat/ASN di lingkungan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang melakukan pelanggaran disiplin dan/atau tindaklanjut proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan.
Kemudian, juga bisa melakukan persetujuan mutasi antardaerah dan/atau antar instansi pemerintahan, sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis, sebagaimana ketentuan Pasal 71 ayat (2) Pasal 162 ayat (3), UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU.
Selain itu, juga ketentuan Pasal 132 A ayat (1) huruf a dan ayat (2) PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Demikian juga mengenai ketentuan aturan Surat Kepala BKN Nomor K.26-30/V.100-2/99 tanggal 19 Oktober 2015, dalam hal penjelasan atas kewenangan Penjabat Kepala Daerah.
“Jadi, Penjabat Bupati nantinya tinggal melaporkan kepada Mendagri paling lambat tujuh hari terhitung sejak dilakukannya tindakan kepegawaian itu, sesuai dengan ketentuan Surat dari Kepala BKN itu. Semoga saran ini bisa menjadi bahan renungan para pejabat di Kemendagri untuk benar-benar kerja mewujudkan kestabilan situasi di daerah. Karena menunjuk PJ tanpa diberikan kewenangan, itu tidak ada gunanya ditugaskan di daerah,” tutup Tika Winawan.(den)
(foto diambil dari Patrolipos, Pelantikan Pj Bupati Gianyar)