Pustaka Batur Kamulan (bag 5)

Facebook
Twitter
WhatsApp
SIAT WAYANG – kelirbali.com
 
oleh I Wayan Wesata, pembaca sastra. Sudah terlalu lama Mpu Gandring Sakti  meninggalkan tanah kelahiran. Sejak ditinggal sang istri, Dyah Giri Sewaka, kesedihan tidak dapat disembunyikan.  Dengan langkah  gontai,  sembari menggendong  anak semata wayang, mata sang mpu masih berkaca-kaca. “Ia istriku bidadari ternyata, aku telah membebaskannya. Semoga ia  kembali ke kahyangan.”
 
Siang, saat matahari tegak lurus di langit Bali, Mpu Gandring Sakti berangkat menuju  Asrama Kayu Putih, jauh di bukit tandus Madura. Melewati semak dan hutan, istirahat, bermalam di kuburan, menuruni jurang, menyusuri pantai, menyeberang samudra. Digendongnya sang anak yang baru berusia beberapa bulan.  Bayi itu betapa kuat, dalam lelah dan letih ia selalu tenang, tidak rewel. Mendekap hangat dada sang ayah yang bidang seperti Bhima.
 
Pagi, setelah tiga hari perjalanan dari Bali, Mpu Gandring Sakti  sampai di Asrama Kayu Manis, Madura. Ia tampak letih, keringat bercucuran di badan. Menangkupkan tangan, seraya merunduk, menghormat pada Mpu Bumi Sakti. “Ampuni ananda  sang Mpu,  hamba  baru datang.
 
“Aku tahu semua takdirmu. Sekarang, istirahatlah dulu  Nak, engkau pasti letih.”
 
Beberapa saat setelah mensucikan diri, menidurkan si bayi di balai-balai, Mpu Gandring Sakti menghadap sang ayah. “Bagaimana kabar adikmu, apakah kau temukan dia?”, sela Mpu Bumi Sakti.
 
“Ya, adik hamba, Mpu Galuh sudah  hamba temukan,” jawab Mpu Gandring Sakti pendek. Ia tidak berani melanjutkan, karena ia tahu, sang ayah  menguasai ilmu gaib “Duradarsana” dapat melihat alam yang dekat maupun jauh. Gandring berkata seadanya, juga perihal  pertemuannya, kisah cintanya dengan Dyah Giri Sewaka.
 
“Maaf ayah pendeta, adik Mpu Galuh bermaksud akan menguasakan kamoksan, hendak menurut jejak darma seorang brahmana. Ia kini mengabdi Hyang Tolangkir di Besakih, ia diberi gelar Sang Kul Putih. Ia tak hendak berbalik ke Madura. Mohon berkati adik hamba Sang Pendeta!”
 
Mendengar hal itu,  Mpu Bumi Sakti  begitu bahagia, seraya berkata, “Mana cucuku, ajak  dia kemari, akan kusucikan dia, supaya benih kebrahmanaannya memancar seperti Dewa Brahma. Bergegas Mpu Gandring Sakti mengajak serta sang anak kepangkuan Mpu Bumi Sakti. Dipangku sang kakek, cahaya memancar dari ubun-ubun Brahmana Dwala. “Anak ini betul-betul perpaduan kekuatan fisik dan jnana, ia akan menjadi brahmana besar,” bisik sang kakek dalam benak.
 
“Anakku Mpu Gandring Sakti, rawat baik-baik cucuku. Kelak ia akan tumbuh menjadi brahmana yang  teguh memegang janji diri, suci bijak, senantiasa menjunjung  darma kependetaan. Ayah sangat bahagia.  Kini tinggalah kau di asrama, ayah hendak menengok adikmu di kaki Gunung Agung. Ingat, ayah tak akan kembali. Tugas ayah di dunia  sudah cukup, anak cucu yang  ayah turunkan akan melepas roh ini ke Nirbana.”
 
Sekejap badan Mpu Bumi Sakti musna, kembali ke Brahmaloka. Bunga jangga di halaman asrama tiba-tiba rontok bersamaan dengan lepasnya atma sang rsi. Langit biru benderang tak berawan. Sepercik sinar putih menaik menuju angkasa. Hening mengatup  menjadi bulir-bulir bahagia, buah perjuangan di jalan pemulia api. Inikah namanya moksa atau nirbana? Entahlah… tampaknya sang Mpu paham cara meniada di jalan brahmana.
 
Syahdan Brahmana Dwala tumbuh dewasa. Kepandaian dan kebajikkannya termasyur. Menyenangi sastra, ahli  ilmu kepandean.  Orang-orang  hormat padanya.  Suatu hari ia pergi ke Gunung Indrakila, menengok sang ayah, Mpu Gandring Sakti  yang  tengah mencipta  api pelebur diri,  jalan pulang ke Brahmaloka.
 
Tiba di Gunung Idrakila, dilihatnya sang ayah tengah melakukan pranayama. “Mungkin ini yang disebut ngili atma,” ujar Brahmana Dwala dalam batin. 
 
Badan sang ayah terlihat begitu kurus,  batangan tulang dan alur ototnya terlihat jelas. Pertanda pendeta ini menolak makan dan minum. Rambut dan janggutnya terburai ke tanah. Brahmana Dwala terenyak melihat  ayahnya sedimikian tangguh  memegang  brata. Tertarik akan rasa bakti pada orangtua, timbullah hasrat Bramana Dwala  mengantar kepergian sang ayah pulang ke Brahmaloka. Segera duduk di sebelah sang mpu, melakukan yoga, menguncarkan mantra peniadaan. 
 
Tiba-tiba,..terdengar sabda dari dalam benak. “Om, berbahagialah cucuku Brahmana Dwala. Dengarkan kataku ini. Aku datukmu Mpu Siwa Saguna, adik kedua dari datukmu Bhagawan Pandya Mpu Bumi Sakti. Kini datukmu telah kembali ke alam Acintya, kerap beliau datang ke Besakih, ke Penataran Kepandean. Jangan sekali kali engkau lupa ada leluhurmu di Besakih, begitu pula anak cucumu.”
 
Mpu Siwa Saguna melanjutkan sabdanya,  “Apabila engkau sungguh-sungguh menjalankan guna gina kepandean, merunut jejak leluhurmu Mpu Bumi Sakti, engkau harus menjalankan darma kepandean. Baca, pahami baik-baik  pustaka “Batur Kamulan”. Dari situ bisa dipahami, betapa tidak gampang orang yang  menekuni perkerjaan amande mas dan perak, apalagi perihal membuat senjata  perang. 
 
“Engkau harus paham  Panca Bayu,  inti  pustaka Batur Kamulan. Yang dimaksud panca bayu itu adalah: prana, apana, samana, udana dan byana. Prana adalah napas dari paru-paru,  keluar dari lobang hidung. Napas ini adalah ububan atau pengembusan, yang membuat bara api makin membara.
 
Sementara apana, napas yang asalnya dari perut dan kantong kencing, itu merupakan jambangan. Tempat di mana segala yang membara didinginkan. Samana adalah napas atau bayu dari hati. Itu tak lain adalah api dari  badan. Udana, napas yang berasal dari ubun-ubun, yang tak lain adalah garam dari badan. Byana, napas  yang bermula dari seluruh sendi tulang, itu tak lain landasan di paha. Palu dan sepit adalah tanganmu. Itulah yang hendaknya kau kuasai. Perhatikan dengan baik, jangan salah surup. “Sebagai brahmana yang menekuni guna-gina  kepandean, dirimu mesti lepas dari asta candala. Camkan, yang dimaksud asta-candala,  antara lain: amanat, pembuat nira, amalanting menjadi  melandang judi, ajagal menjual daging mentah, amande lemah, membuat periuk belanga dari tanah. Ajulendang, menerima upah dari menumbuk padi. Anapis, memakan sisa makanan orang lain.”
 
Lagi pula, lanjut Mpu Siwa Saguna, engkau dan keturunanmu tidak boleh makan kalaketu, bangsa dedalu, ikan pinggulan(deleg) dan buah keluwih (timbul). Nasihatku, apabila ayahmu Mpu Gadring Sakti meninggal kelak, tidak perlu dibuat segala upacara lagi, karena amat sempurna ilmu kepandaennya. Dia  kuasa mencipta api pelenyap tubuh, menghancur jasmani. Jangan sekali-kali kau minta air suci dari brahmana lain, khawatir apabila  kasidhian pendeta brahmana itu belum sempurna. Bila  itu yang kau lakukan, roh ayahmu akan pergi ke neraka.
 
“Selain paham muasal panca bayu, engkau mesti mengerti Kamandaka Carita. Kitab yang memaparkan kisah seorang brahmana bernama Bhagawan Darmaswami. Kesalahan terbesarnya, ia bersahabat dengan penjahat, hingga suatu hari ia bersaksi pada Sanghyang Triyodasasaksi dan Sanghyang Caturlokapala, saksi  seru sekalian alam.”
 
Di situ sang Bhagawan berjanji, tidak akan  bergaul pada penjahat. “Bila ada turunanku bersahabat dengan penjahat, semoga tidak sempurna usahanya di dunia,” begitu janji Brahmana Darmaswami.
 
Demikianlah nasihat  Mpu Siwa Saguna dari alam tak terlihat mata pada Brahmana Dwala. Yang menerima nasihat merunduk taksim, seraya berkata. “Ampun datuk pendeta, hamba seakan-akan menerima tirta amerta. Lega hati hamba menerima wejangan datuk. Akan saya indahkan semua nasihat, segala petuah dan amanat akan hamba lakukan penuh rasa bakti dan tanggung jawab. Mohon bimbing hati ini senantiasa, biar hamba selalu bertindak di jalan yang benar. Dan hamba bisa mengharumkan roh suci leluhur hamba.”
 
“Iya cucuku, jalankan swadarma  dengan baik, pegang teguh darma kepandean, jangan kau kotori leluhurmu yang suci dengan berbuatan tidak berbudi. Kau turunan brahmana, kau mesti siap menjadi guru bagi semua, membimbing yang keliru, meluruskan yang bengkok, memaafkan yang salah. Setiap kata yang keluar dari bibirmu adalah api yang akan membakar celamu,” demikian nasihat Mpu Siwa Saguna, lalu lenyap di hadapan Brahmana Dwala, kembali ke Brahmaloka.
[Bersambung…..]
 
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…