SIAT WAYANG – kelirbali.com
oleh I Wayan Wesata, pembaca sastra. Sudah terlalu lama Mpu Gandring Sakti meninggalkan tanah kelahiran. Sejak ditinggal sang istri, Dyah Giri Sewaka, kesedihan tidak dapat disembunyikan. Dengan langkah gontai, sembari menggendong anak semata wayang, mata sang mpu masih berkaca-kaca. “Ia istriku bidadari ternyata, aku telah membebaskannya. Semoga ia kembali ke kahyangan.”
Siang, saat matahari tegak lurus di langit Bali, Mpu Gandring Sakti berangkat menuju Asrama Kayu Putih, jauh di bukit tandus Madura. Melewati semak dan hutan, istirahat, bermalam di kuburan, menuruni jurang, menyusuri pantai, menyeberang samudra. Digendongnya sang anak yang baru berusia beberapa bulan. Bayi itu betapa kuat, dalam lelah dan letih ia selalu tenang, tidak rewel. Mendekap hangat dada sang ayah yang bidang seperti Bhima.
Pagi, setelah tiga hari perjalanan dari Bali, Mpu Gandring Sakti sampai di Asrama Kayu Manis, Madura. Ia tampak letih, keringat bercucuran di badan. Menangkupkan tangan, seraya merunduk, menghormat pada Mpu Bumi Sakti. “Ampuni ananda sang Mpu, hamba baru datang.
“Aku tahu semua takdirmu. Sekarang, istirahatlah dulu Nak, engkau pasti letih.”
Beberapa saat setelah mensucikan diri, menidurkan si bayi di balai-balai, Mpu Gandring Sakti menghadap sang ayah. “Bagaimana kabar adikmu, apakah kau temukan dia?”, sela Mpu Bumi Sakti.
“Ya, adik hamba, Mpu Galuh sudah hamba temukan,” jawab Mpu Gandring Sakti pendek. Ia tidak berani melanjutkan, karena ia tahu, sang ayah menguasai ilmu gaib “Duradarsana” dapat melihat alam yang dekat maupun jauh. Gandring berkata seadanya, juga perihal pertemuannya, kisah cintanya dengan Dyah Giri Sewaka.
“Maaf ayah pendeta, adik Mpu Galuh bermaksud akan menguasakan kamoksan, hendak menurut jejak darma seorang brahmana. Ia kini mengabdi Hyang Tolangkir di Besakih, ia diberi gelar Sang Kul Putih. Ia tak hendak berbalik ke Madura. Mohon berkati adik hamba Sang Pendeta!”
Mendengar hal itu, Mpu Bumi Sakti begitu bahagia, seraya berkata, “Mana cucuku, ajak dia kemari, akan kusucikan dia, supaya benih kebrahmanaannya memancar seperti Dewa Brahma. Bergegas Mpu Gandring Sakti mengajak serta sang anak kepangkuan Mpu Bumi Sakti. Dipangku sang kakek, cahaya memancar dari ubun-ubun Brahmana Dwala. “Anak ini betul-betul perpaduan kekuatan fisik dan jnana, ia akan menjadi brahmana besar,” bisik sang kakek dalam benak.
“Anakku Mpu Gandring Sakti, rawat baik-baik cucuku. Kelak ia akan tumbuh menjadi brahmana yang teguh memegang janji diri, suci bijak, senantiasa menjunjung darma kependetaan. Ayah sangat bahagia. Kini tinggalah kau di asrama, ayah hendak menengok adikmu di kaki Gunung Agung. Ingat, ayah tak akan kembali. Tugas ayah di dunia sudah cukup, anak cucu yang ayah turunkan akan melepas roh ini ke Nirbana.”
Sekejap badan Mpu Bumi Sakti musna, kembali ke Brahmaloka. Bunga jangga di halaman asrama tiba-tiba rontok bersamaan dengan lepasnya atma sang rsi. Langit biru benderang tak berawan. Sepercik sinar putih menaik menuju angkasa. Hening mengatup menjadi bulir-bulir bahagia, buah perjuangan di jalan pemulia api. Inikah namanya moksa atau nirbana? Entahlah… tampaknya sang Mpu paham cara meniada di jalan brahmana.
Syahdan Brahmana Dwala tumbuh dewasa. Kepandaian dan kebajikkannya termasyur. Menyenangi sastra, ahli ilmu kepandean. Orang-orang hormat padanya. Suatu hari ia pergi ke Gunung Indrakila, menengok sang ayah, Mpu Gandring Sakti yang tengah mencipta api pelebur diri, jalan pulang ke Brahmaloka.
Tiba di Gunung Idrakila, dilihatnya sang ayah tengah melakukan pranayama. “Mungkin ini yang disebut ngili atma,” ujar Brahmana Dwala dalam batin.
Badan sang ayah terlihat begitu kurus, batangan tulang dan alur ototnya terlihat jelas. Pertanda pendeta ini menolak makan dan minum. Rambut dan janggutnya terburai ke tanah. Brahmana Dwala terenyak melihat ayahnya sedimikian tangguh memegang brata. Tertarik akan rasa bakti pada orangtua, timbullah hasrat Bramana Dwala mengantar kepergian sang ayah pulang ke Brahmaloka. Segera duduk di sebelah sang mpu, melakukan yoga, menguncarkan mantra peniadaan.
Tiba-tiba,..terdengar sabda dari dalam benak. “Om, berbahagialah cucuku Brahmana Dwala. Dengarkan kataku ini. Aku datukmu Mpu Siwa Saguna, adik kedua dari datukmu Bhagawan Pandya Mpu Bumi Sakti. Kini datukmu telah kembali ke alam Acintya, kerap beliau datang ke Besakih, ke Penataran Kepandean. Jangan sekali kali engkau lupa ada leluhurmu di Besakih, begitu pula anak cucumu.”
Mpu Siwa Saguna melanjutkan sabdanya, “Apabila engkau sungguh-sungguh menjalankan guna gina kepandean, merunut jejak leluhurmu Mpu Bumi Sakti, engkau harus menjalankan darma kepandean. Baca, pahami baik-baik pustaka “Batur Kamulan”. Dari situ bisa dipahami, betapa tidak gampang orang yang menekuni perkerjaan amande mas dan perak, apalagi perihal membuat senjata perang.
“Engkau harus paham Panca Bayu, inti pustaka Batur Kamulan. Yang dimaksud panca bayu itu adalah: prana, apana, samana, udana dan byana. Prana adalah napas dari paru-paru, keluar dari lobang hidung. Napas ini adalah ububan atau pengembusan, yang membuat bara api makin membara.
Sementara apana, napas yang asalnya dari perut dan kantong kencing, itu merupakan jambangan. Tempat di mana segala yang membara didinginkan. Samana adalah napas atau bayu dari hati. Itu tak lain adalah api dari badan. Udana, napas yang berasal dari ubun-ubun, yang tak lain adalah garam dari badan. Byana, napas yang bermula dari seluruh sendi tulang, itu tak lain landasan di paha. Palu dan sepit adalah tanganmu. Itulah yang hendaknya kau kuasai. Perhatikan dengan baik, jangan salah surup. “Sebagai brahmana yang menekuni guna-gina kepandean, dirimu mesti lepas dari asta candala. Camkan, yang dimaksud asta-candala, antara lain: amanat, pembuat nira, amalanting menjadi melandang judi, ajagal menjual daging mentah, amande lemah, membuat periuk belanga dari tanah. Ajulendang, menerima upah dari menumbuk padi. Anapis, memakan sisa makanan orang lain.”
Lagi pula, lanjut Mpu Siwa Saguna, engkau dan keturunanmu tidak boleh makan kalaketu, bangsa dedalu, ikan pinggulan(deleg) dan buah keluwih (timbul). Nasihatku, apabila ayahmu Mpu Gadring Sakti meninggal kelak, tidak perlu dibuat segala upacara lagi, karena amat sempurna ilmu kepandaennya. Dia kuasa mencipta api pelenyap tubuh, menghancur jasmani. Jangan sekali-kali kau minta air suci dari brahmana lain, khawatir apabila kasidhian pendeta brahmana itu belum sempurna. Bila itu yang kau lakukan, roh ayahmu akan pergi ke neraka.
“Selain paham muasal panca bayu, engkau mesti mengerti Kamandaka Carita. Kitab yang memaparkan kisah seorang brahmana bernama Bhagawan Darmaswami. Kesalahan terbesarnya, ia bersahabat dengan penjahat, hingga suatu hari ia bersaksi pada Sanghyang Triyodasasaksi dan Sanghyang Caturlokapala, saksi seru sekalian alam.”
Di situ sang Bhagawan berjanji, tidak akan bergaul pada penjahat. “Bila ada turunanku bersahabat dengan penjahat, semoga tidak sempurna usahanya di dunia,” begitu janji Brahmana Darmaswami.
Demikianlah nasihat Mpu Siwa Saguna dari alam tak terlihat mata pada Brahmana Dwala. Yang menerima nasihat merunduk taksim, seraya berkata. “Ampun datuk pendeta, hamba seakan-akan menerima tirta amerta. Lega hati hamba menerima wejangan datuk. Akan saya indahkan semua nasihat, segala petuah dan amanat akan hamba lakukan penuh rasa bakti dan tanggung jawab. Mohon bimbing hati ini senantiasa, biar hamba selalu bertindak di jalan yang benar. Dan hamba bisa mengharumkan roh suci leluhur hamba.”
“Iya cucuku, jalankan swadarma dengan baik, pegang teguh darma kepandean, jangan kau kotori leluhurmu yang suci dengan berbuatan tidak berbudi. Kau turunan brahmana, kau mesti siap menjadi guru bagi semua, membimbing yang keliru, meluruskan yang bengkok, memaafkan yang salah. Setiap kata yang keluar dari bibirmu adalah api yang akan membakar celamu,” demikian nasihat Mpu Siwa Saguna, lalu lenyap di hadapan Brahmana Dwala, kembali ke Brahmaloka.
[Bersambung…..]