POLITIK – kelirbali.com
oleh Denara – penulis jalanan. Publik tentu bertanya-tanya kenapa Prabowo lelet mengumumkan Cawapres pendampingnya. Kondisi ini membuat seluruh awak media geregetan. Bahkan oleh media, seluruh elemen yang berada di dekat Prabowo digali, dikait-kaitkan dengan Prabowo dan Cawapres. Jangankan satu kalimat, ketika Gibran mencuit ‘E’ dalam twittnya, dihubung-hubungkan. Lalu jawaban Gibran, “Salah pencet.”
Di sisi lain, kubu AMIN (Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar) tampak tenang-tenang saja. Semua sudah ada agenda dan sosialisasi ke daerah-daerah basis masa. Kubu AMIN seperti merasa tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap dua kompetitor lain, baik Ganjar-Mahfud dan Prabowo sebagai kompetitor dalam Pilpres. Sedangkan kubu Ganjar-Mahfud sendiri masih menghadapi persoalan psikologis; Gibran. Gibran berkali-kali menyebut dirinya masih PDIP. Pun ketika Eric Tohir dan Yusril mencari SKCK, Gibran dengan terang membantah. Yang sontak membuat publik terkejut lagi, Gibran diusung Golkar mendampingi Prabowo. Airlangga Hartarto yang semua ngotot mendampingi Prabowo, nampaknya mesti minggir teratur.
Kembali lagi, publik menjadi geregetan dengan Prabowo, lelet banget. Pendaftaran di KPU berakhir 25 Oktober mendatang. Capres dan Cawapres adalah bahan yang paling enak digoreng. Hanya saja, Prabowo masih memiliki banyak waktu menyiapkan segala sesuatu berhubungan dengan Cawapres pendampingnya. Momentum ini menyebabkan berbagai opini berkeliaran; semua dicari-cari, bahwa pemberitaan Pilpres sesuatu yang sangat menjual dan mendapat sesuatu yang terpercaya adalah sebuah viral. Prabowo tetap tidak bergeming, tidak ada yang bisa memaksa-maksa dan bahkan kapan mendaftar belum terjadwal. Yang harus memutuskan siapa dan kapan, hanya Prabowo yang tahu.
Bisa jadi ini taktik ‘Perang Air’ gaya Toyotomi Hideyoshi dimainkan Prabowo, bisa jadi. Suatu ketika, Toyotomi Hideyoshi tidak bisa menaklukkan sebuah daerah karena sekelilingnya dibentengi air. Tidak kehilangan akal, lalu Hideyoshi membendung air yang mengalir ke wilayah tersebut. Kubu lawan menganggap sia-sia membendung air dan pasukannya tetap tidak bisa masuk ke wilayah tersebut. Hideyoshi kemudian menggunakan upaya jitunya, membuka total bendungan air tersebut, hingga wilayah tersebut banjir bandang dan seluruh wilayahnya tenggelam. Dibentengi oleh air, dengan air pula wilayah tersebut ditaklukkan. Taktik ini sepertinya membiarkan pihak lawan melakukan apa saja dengan psywar.
Dalam psywar beberapa pekan ini dengan jelas tekanan mengarah kepada Jokowi yang dianggap memuluskan putranya, Gibran sebagai Cawapres. Presiden RI Jokowi sedang dalam lawatan ke Cina dan Saudi Arabia. Padahal, Jokowi belum mengatakan apa pun berkait putranya untuk menjadi Cawapres, walau Gibran sendiri saat ini menjadi Walikota Solo. Tudingan kepada Jokowi adalah politik dinasti. Lalu serangan kepada Prabowo yang masa lalunya selalu diungkit-ungkit. Bahkan seratus kebaikan yang pernah dilakukan, prestasi Prabowo terlupakan dan tidak menampak, semuanya tertimbun kepentingan Capres.
Dalam beberapa hari ini, psywar akan muncul semakin dashyat. Di samping menunggu kapan Prabowo umumkan pendampingnya dan siapa pun pendampingnya akan digoreng habis di media. Jadi atau tidaknya Gibran sebagai pendamping Prabowo juga akan digoreng habis oleh media. Selanjutnya, momentum tekanan kepada Prabowo, tekanan publik kepada Jokowi. Jokowi dihadapkan pada tekanan politik yang dianggap merencanakan politik dinasti. Kendati demikian, kadung sudah disebut politik dinasti, sekalian saja.
Nah, dalam ‘Perang Air’ strategi Toyotomi Hideyoshi, strategi ini mungkin dimainkan. Seluruh psywar tersebut dikumpulkan, dikompilasi. Maka akan terdengar mana yang nyaring, keras, parau, serak dan berbisik. Dari seluruh kompilasi tersebut dengan mudah Jokowi atau Prabowo bisa mengukur kekuatan lawan. Strategi ini kemungkinan berhasil, namun bisa juga kehilangan momentum. Berhasil mengetahui kekuatan lawan lewat psywar yang sudah tersebar sehingga dengan mudah bisa membalik keadaan. Kemungkinan pula, kehilangan momentum mengingat kubu sebelah sudah berlari dan mendapatkan apa yang diharapkan.
Namun demikian, pemilihan masih lama. Mengacu pada Kierkegaard 125 tahun silam yang menyebutnya pesta demokrasi tidak ubahnya demoralisasi media. Lewat media opini ditampilkan dengan harga semurah-murahnya, dengan keuntungan sebesar-besarnya. Paling tidak, siapa yang menguasai media, dialah pemenangnya.(den)