Penganan Apem ‘Kojong’ Simbol Kosmologi, Pemujaan kepada Dewi Sri

Facebook
Twitter
WhatsApp

BUDAYA – kelirbali.com

Salah satu penganan tradisional Nusantara yang kini semakin terlupakan adalah Apeng Contong (kojong, Bali). Sebelum adanya penganan Apem berbahan telur, gula, soda perempuan Nusantara membuat penganan ape mini untuk persembahan atau untuk hajatan tertentu. Hadirnya apem modern dengan rasa gurih, lembut dan bisa dengan aneka warna ini, lalu menggeser penganan apem tradisional.

 

Penganan Apem kojong (kerucut) tidaklah dibuat setiap hari, pun sangat sulit ditemui di pedagang jajanan/kue Bali. Namun penganan ini (diusahakan) ada pada setiap upacara agama Hindu dari skala kecil sampai skala (besar) agung. Namun kini, penganan Apem kojong ini tidak lagi tampil seperti pada awal diciptakan dan mengalami gempuran kemasan. Bahkan penganan Apem, sebutlah modern ini, dari bahan baku sampai pengolahannya tidak lagi murni sebagaimana penganan Apem tradisional Bali.

 

Karena yang suka mengkonsumsi sedikit sekali, atau enaknya saat baru matang saja, maka penganan ini dibuat sedikit. Dan, ketika ketika upacara ritual selesai, penganan yang dibuat dengan susah payah ini, teronggok bisu bersama penganan lain seperti Jaje Uli, jaje Calcalan.  Anak-anak (generasi) milenial dipastikan tidak menyukai lungsuran penganan Apem ini. Kalaupun suka, dipastikan dicemil saat baru matang dari kukusan, itupun kalau ibunya sendiri yang memasak. Sehabis upacara, anak-anak milenial (pewaris Hindu) dipastikan tidak menoleh penganan ini atau bahkan nantinya tidak tahu bagaimana cara membuat dan memaknai penganan Apem ini.

 

(Wonggunung, 2018; 16) menyebutkan penganan apem ini bermuasal dari India dan oleh penduduk Jawa-Bali (agraris) dijadikan penganan khusus sebagai persembahan spiritual. Bahkan penganan Apem ini; tercipta pada awal-awal tahun masehi di nusantara. Tokoh yang membawa penganan Ape mini ke Nusantara adalah Ki Ageng Gribig, sewaktu melawat ke India sepulang dari perjalanannya ke Tanah Suci. Oleh masyarakat agraris Jawa dan Bali (agraris) penganan

 

Apem kojong adalah penganan khusus, luhur dan suci. Di Nusantara yang akhirnya sampai ke Bali, penganan Apem kojong dibuat sebagai pengormatan kepada Dewi Sri, Dewi Padi, sebagai bukti masyarakat Bali adalah agraris dan Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran. Penganan Apem seperti apakah yang dimaknai sebagai apem suci, untuk persembahan. Apem yang dimaksud adalah apem yang berbentuk kerucut (segitiga lancip) berbalut daun pisang. Namun ada juga yang dibungkus daun Nangka yang masih muda. Penganan suci ini, berbahan utama tepung beras, santan, ragi. Pun proses pembuatannya memerlukan keterampilan khusus, sehingga matangnya sempurna, mekar di bagian atas dan tetap lancip pada ujung satunya.

 

Secara kosmologi, bahan tepung beras disimbolkan sebagai debu, bahwa manusia adalah setitik debu di alam semesta. Kelapa diibaratkan hasrat pencapaian manusia, simbol diri manusia. Dimana buah kelapa pada saat masih putik, begitu halus, murni. Kulit yang menampak pada buah kelapa dari putik sampai tua, kering, itulah kulit manusia, wajah asli manusia. Serabut kelapa diibaratkan pikiran manusia, dimana saat masih anak-anak, pikiran masih murni, tanpa serabut. Semakin dewasa maka muncullah serabutnya, bukankan pikiran manusia seperti serabut kelapa, terikat satu sama lain tidak jelas. Tempurung kelapa diibaratkan ego manusia, semakin tua semakin keraslah ego manusia. Dan di dalam ego, terdapat kelapa yang akan dijadikan santan. Bahwa manusia itu yang dibalut kulit, tempurung di dalamnya memiliki santan, bila diperas. Terdapat pula air kelapa yang setia sampai putik (tombong) bertunas dan diserap habis oleh tunas sebegai generasi baru. Ragi sendiri disimbolkan sebagai hasrat manusia, benci, cinta dan gabungan keduanya.

Apem kojong Nusantara sebagai penganan suci sebagai penghormatan kepada Dewi Sri, Dewi Padi bagi masyarakat Jawa-Bali (nusantara) yang agraris. Apem Bali berbentuk kerucut ini, lahir beriringan dengan sarana Kwangen juga mewakili simbol dari Ang Ung Mang = Om. Pada proses pematangan di dandang ini, apem akan terbentuk sempurna. Begitu juga manusia, akan menjadi matang ketika hidup pada tantangan, panasnya api kehidupan.

Persoalannya kini, selain sudah digeser apem empuk berbahan soda dan telur dan kemasan plastic, maka nilai kesucian apem memudar. Masyarakat kini tidak sepenuhnya mengerti akan makna apem, sebagai penghormatan, sebagai simbol suci Tuhan. Gempuran bentuk dan bahan apem, sekaligus menghilangkan makna dan simbol. Walau demikian, ibu kita di kampung masih menyajikan apem Bali, walau sudah tahu, anak-anaknya tidak bakal menikmati.(denara)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…