SENI dan BUDAYA – kelirbali.com
oleh I Wayan Westa-pegiat budaya.
Sanwacana
Siapa saja yang sempat membaca kitab Adiparwa Jawa Kuna, kitab pertama yang membangun literasi abadi Mahabharata, karya magnum opus Bhagawan Byasa ─ di situ bisa kita baca kata paling tua perihal tradisi pertanian. Di sana, dalam kisah “Domya Carita”, saat sang bhagawan menguji Sang Arunika, salah seorang dari tiga murid sang guru, sebelum ia dianugerahi pengetahuan perihal darma ─ Ârunika diuji lewat jalan mengerjakan sawah ─ asawaha.
Begini kitab Âdiparwa menuliskan: Hana sira brāhmana, bhagawan Dhomya ngaran ira, patapan ira ry Âyodhyāwisaya. Hana ta śisya nira tigang siki, ngāran ira sang Utamanyu, sang Ârunika, sang Weda. Kapwa pināriksa nira, yan tuhu guru śuśrusa, guru bhakti. Kramanya de nirāmarīksa, sang Ârunika kinon ira yāsawaha rumuhun; kamêna nira wéhana ring sang hyang Dharmmaśastra. Yatna ta sang Ârunikāngulahakên sakrama ning sawah, ginawayaken ira”.
Artinya: Ada seorang brahmana Bhagawan Domya nama beliau, pertapaan beliau ada di daerah Ayodhya. Ada murid beliau tiga orang, namanya Sang Utamanya, Sang Arunika, Sang Weda, ketiganya diuji oleh beliau apakah benar-benar bakti kepada guru. Cara belau menguji. Sang Arunika ditugaskan untuk mengerjakan sawah lebih dahulu, sebelum dianugerahi pengetahuan tentang dharma, sangat hati-hati Sang Arunika mengerjakan sawah, semua ara bersawah dikerjakan.
Kata yāsawaha atau kata kerja asawaha ternyata telah berusia lebih dari seribu tahun, setidaknya terhitung sejak proyek besar “mangjawaken byasamata” digagas Raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama [ 991 -1016] ─ penguasa Jawa tersohor, raja terakhir periode Medang, Jawa Tengah, sebelum nantinya kerajaan dipindah ke Jawa Timur.
Bagi kita, Dharmawangsa Teguh adalah raja Jawa paling terpelajar. Raja yang punya visi jauh ke depan. Proyek “mangjawaken byasamata” itu ibarat “danau jernih” mengalirkan sari-sari pemikiran Bhagawan Byasa menembus sungai zaman ─ hingga kini tetap memberi nutrisi jiwa kita, memberi kita peneguhan darma, ajaran-ajaran moralitas, tentang hukum, dan kepantasan-kepantasan sosial.
Hari ini kita tak hendak membicarakan kebesaran Raja Dharmawangsa Teguh. Namun lebih pada satu warisan kata asawaha, kata yang telah berusia lebih dari seribu tahun ini, yang hingga kini masih hadir sebagai kata yang bertemali dengan arti ” mengerjakan sawah” ─ kata yang sejak lama diserap dalam kamus-kamus awal Bahasa Indonesia.
Di zaman silam, setidaknya seribu tahun sesudah kata asawaha ini muncul, tradisi pertanian adalah peradaban awal yang menyudahi penduduk nusantara hidup nomaden. Hutan-hutan diterabas untuk pembukaan sawah, komune-komune kecil yang disebut “grama”, “banua” terbangun, yang boleh jadi kelak terintegrasi menjadi kerajaan.
Sementara Adiparwa memberi kita penegasan prinsip, mengerjakan sawah bukanlah pekerjaan yang boleh digambangkan begitu saja. Asawaha adalah pekerjaan yang memerlukan kesuntukan, ketekunan, ketelitian, kesabaran, dan hati yang selelu lembut. Yatna ta Sang Ârunikangulahakên sakrama ning sawah ginawayakên ira,…”. Karena itulah Ârunika kemudian diberikan anugerah Dharmasastra, yang teguh pada pengabdian dan kebenaran.
Penghasilan permanen dari sebuah kerajaan adalah dari tanah pertanian yang subur. Hasil bumi, pajak-pajak dipungut dari tanah-tanah hak milik. Ketahanan pangan sebuah kerajaan amat tergantung dari luas tanah pertaniannya. Kekayaan kerajaan, kekuatan birokrasi dan pertahanan kerajaan akan terkendali dari penguasaan lahan-lahan pertanian, di samping sumber-sumber lain. Pasang surut sebuah kerajaan agraris amat tergantung dari kemakmuran hasil pertaniannya ─ di samping oleh sebab-sebab politis tentu. Soal ini misalnya, bisa kita baca dari keterangan Henk Scohulte Nordholt dalam buku The Spell Of Power, Sejarah Politik Bali 1650-1940. Bahwa disitu; irigasi, air, bendungan, dan DAM bertemali dengan kekuasaan sebuah dinasti. Bahkan dalam situasi konflik, banyak bendungan dijebol, disabotase untuk kepentingan kekuasaan dan penaklukan. Jadi basis pertama pertahanan sebuah negara adalah tanah pertanian yang dikelola dengan baik.
Pertanian yang kuat dalam suatu kebudayaan menunjukkan juga pola manajemen air yang tangguh dan terorganisir. Pada tahun 962 Masehi misalnya, sebagaimana dicatatkan prasasti Manukaya, Raja Candrabhayasingha Warmadewa merasa perlu memerintahkan rakyatnya merapikan, memperkuat, menata batu-batu di Tirta Empul. Oleh sebab; banjir yang datang saban musim penghujan meluluhlantakan kondisi Tirta Empul. Karenanya, raja berkepentingan menata kolam di kawasan ini. Dicatatkan prasasti Manukaya, irigasi yang terbangun itu mengairi kurang lebih 1936 sawah di Subak Kumbha dan Pulagan.
Begitu juga di Jawa misalnya, Raja Airlangga adalah sosok yang amat peduli pada kesejahteraan petani. Di masa pemerintahannya, raja berdarah Bali ini memperbaiki kembali bendungan Waringin Sapta yang berdampak besar pada difungsikannya kembali pelabuhan regional Hujung Galuh yang lama terbengkalai. Dari catatan prasasti tinggalan Airlangga itu kita tahu pejabat irigasi di zaman itu disebut hulair [hulu – air].
Bermula dari Peradaban Catur Bhaga
Lalu bagaimana halnya dengan Bali? Bila pun banyak data bisa kita temukan perihal awal mula organisasi subak di Bali, peradaban agraris di Bali bisa dipastikan hadir sebelum kerajaan-kerajaan Bali Kuna terbangun. Bahkan sebelum teks-teks pertanian sejenis Dharma Pamaculan, Kramaning Pari, Usadha Sawah, dll muncul. Boleh jadi titik peradaban agraris itu dimulai dari peradaban “catur bhaga”, terbangun dari warisan geodesi empat danau Bali. Dari sinilah pola pengairan Bali digagas hingga mewariskan organisasi canggih bernama subak.
Catatan Raja Purana Pura Batur, memberi kita keterangan awal, nun di Danau Batur itu ada 11 pintu mata air disebut “buka”, tempat muncul dan mengalirnya mata air menuju beberapa sungai dan danau. Sungai dan danau ini mengairi persawahan seantero Bali, meliputi; Kabupaten Buleleng, Bangli, Klungkung, Karangasem, Gianyar, Badung, serta Tabanan.
Sebelas “buka” dimaksud tak ubahnya saluran darah, mengantar sari makanan ke seluruh tubuh. Etah, kenapa 11 “buka” di Danau Batur itu ibarat saluran darah, di mana dalam perjalanannya menembus sungai bawah tanah, menyalurkan “nutrisi” ke seluruh dataran pulau.
Kesebelas “buka” yang disebut Raja Purana Batur ini meliputi: “Buka” Telaga Waja, terletak di timur Danau Batur, di antara Desa Abang dan Buahan, mengalirkan air ke Sungai Telaga Waja, meletas di sebelah timur Desa Rendang, mengairi sawah-sawah di Kabupaten Karangasem.
“Buka” Bantang Anyud, letaknya tak jauh dengan Sungai Telaga Waja, mengalirkan air Danau Batur ke Sungai Tukad Pipis (Tukad Jinah) dan Sungai Tukad Bubuh di Kabupaten Klungkung. “Buka” Danu Gadang, letaknya tak jauh dengan Bantang Anyud, mengalirkan air Danau Batur ke Sungai Tukad Bubuh di antara perbatasan Klungkung dan Gianyar. “Buka” Danu Kuning, berdekatan dengan Danu Gadang, mengalirkan air Danau Batur ke Sungai Campuhan, Gianyar.
“Buka” Pelisan, terletak di sebelah barat Danau Batur, tak jauh dari Desa Kedisan. Di sini terdapat tiga “buka” yang mengalirkan air Danau Batur ke Danau Beratan di Desa Candi Kuning. Selanjutan air Danau Beratan mengairi persawahan di Kabupaten Tabanan dan Badung. “Buka” Rejeng Anyar, letaknya di tepi barat Danau Batur, mengalirkan air Danau Batur ke sejumlah sungai yang ada di Kabupaten Buleleng, utamanya ke wilayah Tejakula.
Di samping sejumlah “buka” yang disebutkan Purana Pura Ulun Danu, ada juga “buka” yang difungsikan sebagai tempat memohon air suci. Di antaranya, Tirta Mas Mampeh, terletak di tepi barat Danau Batur, tak jauh dengan “Buka” Pelisan. Sumber mata air ini menjadi tempat memohon air suci disebut tirta pabersihan, terutama dalam upacara panangkeb dan panglanus di sawah. Selain itu, tempat ini juga merupakan tempat pesucian Ida Bhatara Sasuhunan Sakti Makalihan yang bestana di Pura Ulun Danu Batur.
Selain Tirta Mas Mampeh, ada juga mata air disebut Tirta Mangening, letaknya di tepi barat Danau Batur, tak seberapa jauh dengan Pura Jati. Di tempat ini masyarakat Bali memohon air suci disebut tirta pabersihan, terutama untuk upacara di Pura Ulun Danu Batur-Kalanganyar.
Yang terakhir adalah Tirta Bungkah, merupakan sumber air panas, tempat masyarakat memohon kesembuhan. Diyakini mata air ini menyembuhkan sejumlah penyakit. Pada intinya semua buka tersebut menjadi sumber apa yang kemudian disebut tirta Ulun Danu Batur. Tirta ini terutama digunakan untuk menanggulangi hama dan hal-hal yang berhubungan dengan upacara di sawah, semisal upacara nangluk merana, upacara nglanus dan sebagainya. Demikian Raja Purana Batur menyuratkan.
Secara sosio-religius Danau Batur tak ubahnya tali pusar pengintegrasi subak-subak di Bali. Empat danau di wilayah hulu Bali yang disucikan ini membentangkan terbangunnya suatu peradaban air sejak zaman Bali purba. Peradaban ini juga lazim disebut peradaban “catur baga”, artinya peradaban empat danau.
Memang sebelum nantinya orang Bali berorientasi ke laut, orang Bali kuna menjadikan danau sebagai orientasi kehidupannya. Maka ungkapan “segara danu” adalah ungkapan lazim dalam peradaban catur baga ini. Di pusat peradaban ini pasti terbangun bagaimana orang Bali melakukan penghormatan pada air. Apa yang kemudian digelar sebagai upacara danu kertih, boleh jadi merupakan kelanjutan dari “doa akbar” pemuliaan air. Dan saban tahun, saat usabha Batur, krama subak mengaturkan sawinih kehadapan Bhatara di Batur – wilayah yang telah menganugerahi kesuburan sawah sawah Bali.
Disinyalir, orientasi hidup masyakarat Bali Kuna pada awalnya terbangun di wilayah sekitar empat danau ini ─ sebelum nantinya, di zaman Majapahit, orientasi hidup masyarakat non tani bergeser ke pesisir, di mana kemudian dibangun pusat-pusat pengintegrasi sosio kultural Pura Sagara dan Pura-Pura lain sebagai benteng “rohani” masyarakat Bali.
Belakangan di zaman raja-raja Bali Kuna barulah kita menemukan jejak-jejak tertulis di sejumlah prasasti Bali tentang bagaimana air dikelola untuk organisasi tradisi yang disebut subak ─ satu kultur agraris yang kini tengah dirundung senja kala. Tengoklah misalnya data yang diberikan Prasasti Trunyan, disitu ditemukan kata ‘serdanu’ yang diduga sebagai jabatan untuk Kepala Urusan Air Danau. Boleh jadi, dari sini kata “ser” berkembang kemudian menjadi ‘pakaseh’, julukan untuk pengurus subak di Bali.
Sementara menurut data-data resmi prasasti Bali, kata subak misalnya, berasal-usul dari kata “suwak”, satu wilayah yang di masa lalu disebut sebagai “kasuwakan”. Kata ini tercatat dalam prasasti Pandak Badung yang dikeluarkan raja Anak Wungsu pada tahun 1071 Masehi. Data yang sama juga termaktub dalam prasasti Banjar Celepik, Desa Tojan, Klungkung, prasasti Pangotan, Bangli, dan Prasasti Bwahan, Kintamani, Bangli.
Namun apapun kondisi yang tergambar kini, berhadapan dengan alih fungsi lahan yang masif, Bali pernah mencatat masa gemilang ─ pulau yang mewariskan tradisi pertanian holistik, didukung managemen air terpadu disebut subak dengan sistem pembagian air berkeadilan disebut tali kunda. Dari sungai bawah tanah “buka”, air mengalir ke sungai-sungai, melajur ke telabah-telabah, melewati jelingjingan lalu menghasilkan sawah-sawah subur, yang dijaga ketat tindakan etis “dharma pamaculan”.
Hilangnya Etik Pertanian Bali.
Apa yang terjadi kemudian setelah puluhan dekade tanah-tanah di Nusantara ─ termasuk juga tanah di Bali terkena program paksa “ureanisasi”, demi menggenjot ketahanan pangan dan program swasembada beras tanah pertanian dipaksa memakai pupuk kimia. Mulai sejak itu, sekitar tahun 1964, etik pertanian Bali telah ditinggalkan. Tata cara pengolahan tanah dengan pendekatan tradisonal [sains tradisional] tanpa sadar dibuang.
Cacing-cacing, bakteri pengurai tanah mulai mengilang, tanah menjadi kejal, humus alaminya mati. Dan tanaman hanya hidup semata dibantu pupuk kimia. Pangan tercemar, dengan resiko berbagai penyakit. Memang swasembada pangan berhasil dicapai, tetapi ureanisasi terjadi bertahun-tahun, dengan resiko kesuburan tanah alami mati, dan pelan-pelan hasil panen menurun. Walau hal ini kini mulai disadari para penggiat tani organik.
Sementara hari ini dunia menghadapi krisis pangan global. Sejumlah konflik, peperangan, perubahan iklim, tingginya harga pupuk, kelangkaan sumber air melanda berbagai negara. World Food Pragramme [WFP] atau Program Pangan Dunia mencatat, di tahun 2023; lebih 333 juta orang di 78 negara menghadapi kerawanan pangan tingkat akut. Ini dilema yang tak gampang diurai para penentu kebijakan global, dan kondisi ini cenderung memunculkan spekulasi pada kebijakan pangan global, di mana kondisinya mudah dimainkan para elit global.
Bali sesungguhnya memiliki kearifan bertani layak diperhitungkan dalam konteks keragaman pangan dunia, begitu juga teks-teksnya membentangkan pola-pola bagaimana orang Bali bertani. Tindakan pemulian pada air, tanah, tanaman, musim tanam hingga tata perawatan padi dari penanaman benih hingga padi diketam lalu “dilinggihkan” sebagai Dewi Sri di Lumbung menentukan kualitas pangan itu sendiri.
Teks-teks semisal Dharma Pamaculan, Sri Tatwa, Usadha Sawah, Aji Pangintar Pari, Aji Pari, Tatwa Cecarikan, Tingkahing Makarya Ring Pertiwi, dll. menunjukkan kekayaan literasi bagaimana etik menjadi petani dan mengolah tanah di Bali. Karena sungguh bagi orang Bali, pangan tidak cuma menyangkut kebutuhan pakan semata. Namun menyangkut juga soal lebih mendasar perihal daya dukung kebudayaan, ritual, serta kehidupan rohani masyarakatnya.
Pada setiap ritus atau upacara yang berkaitan dengan sawah, adalah juga sebentuk devosi penuh penantian dalam keheningan. Sebutlah misalnya, soal Nyepi di sawah, upacara penuh hening ini digelar pada bulan-bulan tertentu dalam sejumlah tradisi-tradisi lokal subak di Bali. Tujuan dan maknanya adalah; menyucikan, mengheningkan wilayah subak supaya segala yang disemai atau ditanam di sawah mendatangkan hasil melimpah, memberi kesejahteraan lahir batin. Ini juga menjadi sejenis tindakan kontrol, bahwa sawah sebagai “mandala dewi sri”, tempat suci bagi para petani, pejalan karma kanda itu, selalu menjauhkan diri dari pikiran dan tindakan yang mengotori subak itu sendiri. Itulah makanya, bagi organisasi subak yang tetap setia menjaga norma-norma suci itu jadi pemali melakukan aktifitas yang mengganggu keharmonisan subak.
Upacara “Mabea kukung” misalnya, adalah upacara paling mistis yang digelar di sawah sebelum padi-padi itu menua. Frasa “bea kukung” bisa kita maknai sebagai hidangan atau persajian bagi upacara rahasia “persenggamaan mistis”. Persenggamaan dimaksud adalah panunggalan intim Dewi Sri sebagai Nini Patuk dengan Kaki Patuk, dengan harapan supaya hubungan itu berjalan penuh rasa puncak. Maka sejumlah jajan beras yang dibungkus daun bambu dan daun kunyit dihidangkan secara meriah. Padi-padi itu lalu dihibur dengan suara “sunari” bernada merdu. Baling-baling kayu atau ‘pindekan’ berputar, bersuara tanpa henti.
Secara praktis petani Bali sesungguhnya memiliki dua pola bertani, terutama bagi mereka yang bekerja di sawah; “wang magaga sawah.” Dua pola tanam itu meliputi; pola tanam tulak sumur dan pola tanam kerthamasa. Pola tanam tulak sumur bisa dilakukan di sawah bila ketersediaan air mencukupi. Misalnya dari tanam padi ke tanam padi kembali.
Sementara pola tanam kerthamasa dilakukan bila persedian air tidak mencukupi atau pemakaian air harus berbagi. Misalnya dari padi yang serentak, berganti palawija secara serentak. Pola tanam ini, bila ia memakai pupuk alami dipastikan akan senantiasa menjaga asam-basa tanah. Begitu juga soal cara mengusir hama di sawah, teks Usadha Sawah memberikan cara-cara yang ramah lingkungan. Ada banyak solusi praktis dijelaskan dalam teks itu. Dan ini mesti segera “dihindangkan” pada masyarakat luas ─ sebagai bentuk edukasi demi menghindari pencemaran-pencemaran tidak perlu yang merusak nutrisi hidup kita.
Lontar Dharma Pamaculan misalnya, memberi sejumlah larangan bagi petani yang bekerja di sawah. Dalam salah satu risalah teks disuratkan begini: Nihan pratingkahing wwang magaga sawah, lwirnya; amidik-midik, amipih enu, amipih rurung, amipihi sawah, nyapuh pundukan, ngalahang tukad, mipih jlingjingan, pinaka sawah, wang mangkana katemah de sang Kala Desa Bhumi, phalanya, kena gring tutumpur, mwang koos. [Ini prilaku bagi penggarap sawah, diantaranya; amidik-midik, merusak air, merusak jalan, merusak sawah, meratakan pundukan, merusak sungai, merusak saluran air, sebagai sawah, mereka yang demikian dikutuk Sang Kala Desa Bhumi, terkena sakit kutukan dan boros.]
Di samping pemilihian hari baik, dewasa ayu bercocok tanam, termasuk jenis-jenis tanaman, dan hari lahir yang menanam, petani Bali juga sangat pemegang pantangan umun yang disebut Ingkel.
Ada enam “ingkel” dalam sistem kalendar Bali, meliputi; wong, sato, mina, manuk, taru, dan buku. Hari-hari dalam bentangan wuku ini amat dihindari orang Bali dalam mengambil keputusan, mengerjakan sesuatu. Misalnya dalam ingkel buku, petani Bali berpantang menanam atau menebang tanaman yang serba berbuku, misalnta; tebu dan bambu.
Dalam ingkel taru misalnya, petani Bali berusaha menghindari menanam atau menebang sarwa pepohonan, karena bisa berakibat fatal bagi tanaman. Ini adalah sejenis sains dan kesantunan tradisional – yang bisa jadi amat sangat terhubung dengan harmoni semesta, posisi planet-planet, momen atau dauh dan hal-hal yang berkaitan dengan kunci-kunci kewaktuan wariga Bali.
Itulah sejumlah atitude normatif petani Bali, yang kini karena kepentingan pragmatisme, mengejar produk, efesiensi waktu, di mana didalamnya ada politik pangan, menggerus kesantunan agraris itu ─ berlomba dengan makanan cepat saji, makanan sintetik, vitamin-vitamin, target produk halal.
Bersyukur belakangan banyak orang disadarkan, bahwa makanan-makanan alami, natural, tanpa kena zat kimia seribu kali lebih sehat dari makanan cepat saji dan sintetik. Bila ingin sehat, hindari asupan racun lebih banyak ke tubuh. Karena itu, orang bijak kerap mewanti, ada dua sumber penyakit yang harus dibereskan terlebih dahulu, yakni: makanan dan pikiran. Makanan yang sehat, pikiran yang sehat, adalah dua fondasi dasar kesehatan lahir batin.
Kusa Agra,
Ubud,
Saniscara Umanis, Wuku Tolu,
20 Januari 2024.
Makalah ini disajikan dalam acara tahunan “Rembug Sastra Sarasastra’ Yayasan Janahita Mandala Ubud.