Pada 94 Sungai, 4 Danau dan 54 Bendungan, Kita Masih Susah Air

Facebook
Twitter
WhatsApp

Sentil Dalang – kelirbali.com

‘Ketika sumur mengering, barulah kita menyadari betapa berharganya air.” Ungkapan Pendiri Amerika lebih dari 250 tahun silam masih relevan sampai saat ini. Jauh sebelumnya, sasanti bijak Timur menuliskan dengan indah, “Adanya air yang mengalir bersih dan tenang ke muara, tentu ada tangan-tangan bijak di hulu yang merawat hutan.”

Sejarah yang terlupakan bagi anak bangsa, ketika Presiden RI I, Bung Karno di Tahun 1955 menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci. Sesampainya disana, suhu udara mencapai sekitar 50 derajat celcius, yang di Indonesia dengan panas rata-rata 29 derajat. Melihat tandusnya Padang Arafah dan menyebabkan dehidrasi sampai kelelahan, Bung Karno mengusulakn tanah tersebut ditanami pohon. Gayung bersambut, penguasa Arab terkemuka Abdul Rahman sangat antusias dengan proyek tersebut. Bung Karno menyumbangkan ribuan Pohon Mimba (Melia Aedarach; Kayu Intaran) pada proyek tersebut. Akhirnya, pada lahan 1.250 hektar, Kawasan Bukit Safa sampai Bukit Marwa di Padang Arafah kini hijau yang tananhnya khusus didatangkan dari Indonesia dan Thailand. Oleh penguasa Arab, pohon tersebut dinamai Pohon Soekarno.

Musim kemarau Tahun 2023, suguhan berita kekeringan dan kebakaran lebih banyak terpampang di media. Jauh-jauh hari BMKG Pusat telah mengingatkan bahwa akan ada gelombang panas dan ancaman kekeringan di sejumlah wilayah di Indonesia. Peringatan BMKG terbukti dengan beberapa wilayah gagal panen yang berujung pada naiknya harga beras. Khusus di Bali, wilayah Utara Bali sebagian besar mulai tandus. Rerumputan tidak lagi menghijau dan nampak gersang meranggas. Dua kecamatan di Bali Utara yang paling parah tingkat kekeringannya adalah Kecamatan Gerokgak, Buleleng dan Kecamatan Kubu, Karangasem. Dua kecamatan ini sampai 1 Oktober 2023 sudah 90 hari tanpa turun hujan dan diperkirakan lebih lama lagi. Ternak sapi warga, dibiasakan dengan pakan kering yang disimpan sebelumnya sebagai cadangan saat kemarau tiba.

Badan dunia FAO mengisyaratkan kepada Negara-negara berkembang agar memperhatikan atau mengusahakan tiga komponen terpenting dalam pengambilan kebijakan nasional. Kebijakan ini adalah Water (Air) – Food (makanan) – Energy (energi). Pengambilan kebijakan tersebut didasari atas tujuan untuk kesejahteraan umat manusia, pengentasan kemiskinan dan pendukung program selanjutnya. UGM bersama Forum Irigasi Indonesia telah memberikan masukan kepada Bappenas RI, RPJMN 2020-2024, guna melakukan langkah-langkah strategis terkait Food – Energy – Water. Sehingga berbicara soal Ketahanan Pangan (Food) maka langkah utama adalah penyelesaian ketahanan Air (water). Tanpa didasari atas kebijakan ketahanan air, maka kebijakan selanjutnya akan sulit berkembang. Dimana, air bersih terdistribusi merata ke seluruh warga, yang selanjutnya meratanya tanaman pangan mendapatkan air, sehingga ketahanan pangan berjalan dengan baik.

Hanya saja, ancaman kekeringan masih saja terjadi. Di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung semisal. Persoalan air menjadi persoalan yang belum terpecahkan. Wilayah yang terkenal tandus tersebut mulai bangkit dengan sector pariwisata. Di saat kemarau panjang Tahun 2023 ini, seluruh sector membutuhkan biaya tinggi guna pemenuhan konsumsi air. Warga yang tinggal di dataran lebih tinggi yang pertama merasakan dampaknya. Cubang-cubang warga mulai mengering, yang memungkinkan warga disana mandi dengan puas dengan air bersih adalah sebuah kemewahan. Warga disana nampak pasrah, dimana upaya pemerintah baik jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang belum terealisasi. Air merupakan barang mewah. Pun hal ini oleh pemerintah, melarang warganya membuat sumur bor dan menjual air PDAM ke warga lain, yang mana kebijakan ini tanpa solusi. Dimana tugas pemerintah adalah mendistribusikan air, bukan menjual air. Kondisi ini juga terjadi di Kecamatan Kubu, Karangasem. Bagi warga yang kesulitan air bersih, mereka bisa mendapatkan dengan menghubungi pemerintah, sehingga datang Tangki Air.

Bali memiliki 94 sungai besar dan kecil dan sebagiannya mengalirkan air di saat musim hujan saja. Terdapat pula 4 danau dan 54 bendungan/embung/waduk. Pertanyaan mendasarnya, kenapa dengan potensi cadangan air tersebut, warga di Bali masih ada yang tidak mendapatkan distribusi air? Yang setidaknya, warga tidak lagi menjerit saat kemarau, mengingat cadangan air pada waduk, embung dan bendungan sedemikian banyaknya. Dengan tabungan air sedemikian itu, tentunya pula, memerlukan tangan bijak agar air bisa terdistribusi ke warga dengan baik. Sehingga sasanti bijak Timur tidak indah di atas kertas, pun ungkapan Benjamin Franklin yang jauhnya ribuan kilo dari kita terjawab dengan baik.(denara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…