Oleh : Sitayana | Pegiat Komunikasi Politik
Pasangan Ganjar Mahfud bak panglima tanpa pasukan dalam menghadapi Pilpres 2024. Mereka diminta memimpin perang tetapi tidak didampingi pasukan tangguh. Di Bali, pasukannya sesungguhnya sangat banyak. Bahkan mereka rata rata menjabat. Tetapi, faktanya mereka tak berani bertaruh sepenuh jiwa untuk menang.
Kabupaten Karangasem disebut-sebut sebagai kandang banteng. Bupati Karangasem juga kini menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Karangasem. Sebagai kader banteng, semestinya Gede Dana berjuang memenangkan pasangan Ganjar Mahfud. Namun, lihatlah faktanya di lapangan. Tak ada satu pun Gede Dana memasang baliho yang menyatakan dukungan secara verbal kepada Ganjar Mahfud.
Kader selevel kepala daerah, semestinya berani pasang badan, memasang baliho dukungan segede bildboard. Tetapi sepanjang banyak titik bildbord di Bumi Lahar, tidak ada satu pun yang terpasang Ganjar Mahfud. Gede Dana nampak tak berani berjuang untuk memenangkan paslon ini. Entah karena sudah tahu pasangan ini akan kalah atau ada tekanan dari pihak tertentu untuk tidak ikut-ikutan mendukung pemenangan Ganjar Mahfud di Bali. Karena risikonya berhadapan langsung dengan Presiden Joko Widodo.
Cawe-cawe Gede Dana sebagai kader banteng, tak terasa untuk urusan Pilpres 2024. Campur tangannya justru paling terlihat sibuk untuk memenangkan pileg, memenangkan kader-kader baru pilihannya untuk bisa naik tahta sebagai anggota DPRD Karangasem. Langkah politiknya yang paling agresif, yakni memenangkan anak kandungnya sebagai anggota DPRD Bali dan satu lagi “selir hatinya” sebagai anggota DPRD Karangasem. Apakah ini jiwa seorang kader banteng sejati. Padahal, Ganjar Mahfud sedang membutuhkan dukungan penuh seluruh kader banteng, untuk bisa menang. Bahkan dengan target tinggi di Bali, 95 persen.
Seluruh ASN hingga tenaga kontrak diindimidasi harus memenangkan anak kandung dan selirnya itu, dengan berbagai pola dan propaganda. Anehnya, bahkan masuk ke kandang suara yang sudah kandang banteng. Langkah politik seperti ini pun menimbulkan kegaduhan diantara kader banteng di Bumi Lahar. Gede Dana seolah bukan ingin memperkuat dan memperluas basis massa, tetapi malah ingin meregenerasi kader banteng di kandang banteng. Artinya, harus ada kader sendiri yang terbunuh. Bukan membangun basis massa di wilayah lain, untuk memperkuat basis partai semasih pegang palu kekuasaan.
Dalam pandangan filsafat, Gede Dana kini terasa tertatih-tatih pada jalan moralitas victorian. Sebuah pandangan moral masyarakat yang hidup pada zaman pemerintahan Ratu Victoria di tanah Britania Raya. Sebagai seorang raja, apapun akan dia lakukan untuk menjadikan orang pilihannya, anak, selir, pembantu, dan orang-orang sekitarnya mendapatkan posisi yang diinginkan dalam politik dan kekuasaan. Semata mata untuk mengisi ambisi orang yang penting di batinnya.
Pertanyaannya, siapakah ratu victorian itu di bumi lahar yang sedang diperjuangkan oleh sang raja?. Orang yang mengikuti proses politik di Bumi Lahar pasti sedang tersenyum tipis membaca tulisan ini. Menggelikan memang. Seorang kepala daerah, lebih sibuk mengurus hal-hal seperti ini, ketimbang menyelesaikan masalah-masalah fundamental daerah. Bahkan sampai lupa mengeksekusi visi misinya sendiri. Kenyataannya sampai sekarang tak satu pun visi misinya mampu dieksekusi tuntas. Masyarakat Karangasem tak merasakan dampak pembangunan yang konkrit.
Satu ungkapan yang paling sering keluar dari warga Bumi Lahar, adalah era Gede Dana yang disebut-sebut sebagai Karangasem Era Baru, hasilnya jauh lebih buruk dari era Bupati Mas Sumatri. Dan era Bupati Mas Sumatri tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Era Bupati Wayan Geredeg. Sekarang, barulah warga kian sadar betapa besarnya dedikasi Wayan Geredeg untuk membangun Karangasem. Dialah pemimpin sejati, “bapak pembangunan” di Kabupaten Karangasem. Harus diakui era Wayan Geredeg pembangunan Karangasem sangat jauh berkembang pesat.
Kini, kembali pada misi gelap Gede Dana, seluruh tim yang dibentuk di dalam lingkup ASN sudah bergerak secara masif. Bahkan, target perolehan suaranya sudah direkap dari sekarang, dengan indimidasi kepada keluarga ASN dan tenaga kontrak, tanpa menunggu proses pemilu berlangsung. Guna memastikan ambisi itu terwujud.