“Menyongsong 80 Tahun HB Jassin” Antara Sastra dan Kritik Sastra

Facebook
Twitter
WhatsApp
SASTRA – kelirbali.com
 
dari Jurnal Sastra Hudan Hidayat, penyair.  “Menyongsong 80 Tahun H.B. Jassin”, salah satu tulisan di bukunya, “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan”, Ignas Kleden membawakan dua penilaian terhadap Jassin. “Budi Darma benar”, katanya, “Jassin tidak menyumbang sesuatu yang khas dalam teori sastra. Teeuw mungkin pula benar, esai dan kritik Jassin tidak secemerlang buah pena Asrul Sani.”
 
Manneke Budiman menyambut kehadiran buku Ignas Kleden ini. Dalam tulisannya “Sastra di Mata Ignas”, ia menyebut “gemilang” untuk “cemerlang”, sebutan yang diarahkannya kepada Subagio.
 
Manneke:
 
“Membaca Ignas Kleden dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan serasa menyaksikan bangkitnya kembali kritikus Subagjo Sastrowardojo, yang pernah gemilang dengan karyanya Sosok Pribadi dalam Sajak bertahun-tahun yang lalu.”
 
Jadi buku Ignas Kleden itu gemilang sebagaimana buku Subagio, pernyataan yang menarik, dalam hubungan dengan kritik sastra dan teori sastra.
 
Kalau kita memakai pengertian Richards apakah kritik sastra (“Principles of Literary Criticism”), pengertian kritik sastra segera terhubung dengan teori sastra.
 
Ia diteorikan sebagai “endeavour to discriminate between experiences and to evaluate them”.
 
Kalau kita lepaskan istilah sastra dan kritik sastra, yang ada hanyalah “pikiran” yang sedang menghadapi “pikiran lain”. Ia “sedang berupaya membeda-bedakannya. Jadi, menilainya.”
 
Begitulah kritik sastra didefinisikan: ia hanyalah kegiatan logis manusia saat menghadapi masalahnya. Seperti kegiatan-kegiatan logis lainnya, di masalah-masalah dalam hidupnya. Dalam lalu-lintas yang ramai, logis adalah menoleh ke kiri dan ke kanan saat diri hendak menyeberang.
 
Logika ini pula yang menuntut agar kritik sastra memakai teori sastra. Sebab, kata Richard, tanpa teori bagaimana kita melakukannya?
 
Sampai di sini sebagai pengertian, teori sastra seakan kritik sastra: apa, teori sastra?
 
Kata Richards di pengantar bukunya, “We cannot do this without some understanding of the nature experience, or without theories of valution and communication.”
 
Jadi pengetahuan kita tentang “nature”, watak, alam makhluk, sesuatu di balik experience. Bahwa kita musti mengerti apakah di balik peristiwa, di dalam karya sastra. Pengertian yang akhirnya terbentang di dalam bahasa sebagai bentuk-bentuk formal komunikasi verbal.
 
Masalahnya pengertian itu (teori) bergerak maju, walaupun demikian apa yang sudah dicapai mustahillah ditiadakan. Prinsip-prinsip yang sudah digariskan misalnya oleh Richards, tetap menjadi fundamen, dasar bagi kritik atau teori.
 
Faruk di dalam tulisannya:
 
Aku” dalam Semiotika Riffaterre
Semiotika Riffaterre dalam “Aku”,
 
adalah salah satu dari bentuk “baru”, yakni cara mengerti sastra menurut Riffaterre, dalam hal ini mengerti puisi. Cara Semiotik. Apakah cara ini telah bergerak menjauhi psikologi sastra – nature of experience?
 
Ia menjadi telaah yang menarik apa bila kita bandingkan antara cara Jassin, Subagio, Ignas, lewat “kemajuan sastra dari dunia akademik” seperti yang diyakini Faruk.
 
2
 
Sebelum “apa teori sastra”, kita bisa bertanya: “apa, teori itu?” Teori yang selalu dihubungkan dengan ilmu. Ilmu pengetahuan bertumbuh lewat teori-teori yang dikembangkannya. Sains fisika tidak bisa membuat bom atom tanpa teori Einstein tentang persamaan energi, massa, dan kecepatan.
 
Berhadapan dengan dunia yang bergerak maju, teori adalah kegiatan pikiran dalam usahanya untuk memahami, termasuk memahami dirinya sendiri sebab ia bagian dari “dunia yang bergerak maju”.
 
Andai “setiap” kita sebut “Ada”, maka esensi dan eksistensi “Ada” ini dipandu oleh teori. Tidak suatu “Ada” yang bisa hidup tanpa teori. Ia mesti teori. Dirumuskan atau tidak dirumuskan, prinsip keberadaannya di bawah naungan teori.
 
Sebuah buku mengucapkan: “Teori adalah pernyataan umum yang meringkaskan gerak-gerak”. Begitu fundamental definisi ini, karena “Ada” itu bergerak.
 
Saat sebuah “ada” diandaikan tak bergerak, teori keluar menunjukkan bantahan lewat “gerak-gerik atom yang tak kelihatan”, menyingkapkan betapa luar biasa gerakan-gerakan yang tak terlihat mata kita, di dalam itu. Seperti gerak batin seseorang yang terlihat diam, tapi imajinasinya melesat ke mana-mana. Atau batu: ia bukanlah benda dingin dan kita sangka: diam itu.
 
Atau andai kita mengubah contohnya yang bergerak dari sebuah hipotesa dengan memasukkan sastra secara langsung, bahwa: “apabila puisi ingin disukai, ia musti menjelmakan keindahan bagi pembacanya. Teorinya: keindahan meningkatkan kecintaan pada puisi.(den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…