SENTIL DALANG – kelirbali.com
oleh I Wayan Westa, pegiat budaya. Pernahkah Anda berkunjung ke Taman Patoyan Tjampuhan Shanti? Letaknya tak jauh dari Pantai Lovina, tepatnya di Banjar Sekar, Desa Kaliasem Buleleng. Jarak tempuh dari Kota Singaraja kurang lebih 10 km. Taman seluas 55 are ini sungguh menyejukkan hati. Dirawat sedemikian apik dengan hati bening.
Lebih dari sepuluh tahun, tempat ini hadir sebagai oase baru di hamparan Bali Utara yang cenderung kerontang. Beragam tanaman tumbuh subur dirawat dengan baik. Telaga trebesan yang memanjang, tempat di mana orang-orang kerap datang menyucikan diri. Sungai kecil, telaga natural dihias beragam bunga tunjung. Deretan-deretan pohon menghijau menambah suasana taman jadi ranum, dikitari sawah subur.
Pintu masuk ke Patoyan Taman Tjampuhan memiliki nilai artistik tersendiri
Memasuki halaman taman, pengunjung disambut dua pokok rimbunan bambu kuning, jenis bambu langka untuk keperluan beragam upakara penting di Bali. Gapura taman dihias pintu kayu berukir, ciri khas ukiran Bali Utara dengan motif burung terbang mengusung relief kayonan, mengingatkan kita dunia pawayangan dan arti penting alam bagi kehidupan.
Bagi masyarakat Bali, alam adalah penyangga hidup, ibu dari semua mahluk bumi. Sungguh tak ada kehidupan tanpa dukungan kasih ibu bumi. Itulah makna kayonan. Itu juga arti harmoni bagi hidup ̶ yang melatari kenapa kelak orang Bali melakukan pemuliaan pada pepohonan saat hari Tumpek Bubuh. Tujuannya tak lain; berharap supaya segenap yang tumbuh senantiasa menyangga hidup bersama. Tanaman berbuah ranum, umbi-umbian tumbuh lebat, dan hidup disejahterakan lahir batin.
Di sepanjang jalan menuju taman, pengunjung disambut rimbunan pohon pisang, deretan pokok kamboja, aliran air jernih menambah suasana jadi teduh membuat hati tenang dan jenak. Jalan setapak sepanjang 70 M, dengan lebar kurang lebih tiga meter dipadati tanah berpasir, butiran-butirannya seperti menghadirkan sehimpunan kisah, perihal bagaimana taman ini hadir digagas seorang wanita mandiri, yang kerap berjalan ke ujung-ujung dunia.
Yang lebih menarik, sepanjang jalan dihias puluhan lesung, batu sarana penumbuk padi yang memiliki cerita dan kisah masing masing. Lesung-lesung ini layaknya folder di computer, menyimpan jutaan file tentang kisah agraris perjalanan manusia Bali dari masa silam – tempat hasil panen ditumbuk guna menyambung hidup.
Akses menuju Utamaning Utama dengan tanaman dan lesung batu yang memberi kedalaman nuansa spirit
Ada jutaan kenangan diam yang disimpan di batu-batu itu. Berjuta tetes keringat ibu-ibu, pahlawan bagi anak-anak mereka tercatat di situ ̶ kisah dari meliaran hari, cerita dari jutaan tahun perihal hidup yang harus diperjuangkan. Hanya mereka yang peka bisa bercakap dengannya ̶ seperti hendak pulang ke masa silam, atau hadir dari masa depan. Semua tersimpan di batu-batu lesung itu.
Melangkah ke dalam, sembari memanjakan mata di rerumputan hijau, memandang bangunan-bangunan ikonik, palinggih-palinggih nan mungil ̶ tempat yang datang menghaturkan kasih. Dan tepat halaman tengah Arca Dewa Ganesa berdiri kokoh, seperti melindungi semua. Ganesa adalah Dewa Penghalang Rintangan. Mendapat berkatnya, berarti keselamatan bagi kita ̶ yang memuliakan dijauhkan dari petaka dan bencana.
Dulu, tempat yang kini diberi nama Patoyan Taman Tjampuhan Shanti tak lebih dari pemukiman pinggiran kumuh, ditumbuhi semak tak jelas. Sungai kecilnya disesaki sampah. Bila musim hujan banjir kerap melanda. “Saya rawat tempat ini lebih dari 10 tahun silam. Saya terinspirasi dari perjalanan penyelamatan air di seluruh dunia. Pelan-pelan kami sulap kekumuhan ini, kami ubah menjadi taman yang keadaannya seperti sekarang,” ujar Jro Tjampuhan pengelola tempat ini.
Tampaknya benar kata orang bijak, bila kita ingin burung-burung datang, jika ingin kupu-kupu hadir, kita tak perlu membawa burung dan kupu-kupu ke tempat itu. Cukup jadikan tempat itu taman, rawat alam dengan jiwa bening dan hati bahagia, niscaya burung dan kupu-kupu itu datang. “Taman ini menjadi oase perjalanan jiwa saya, layaknya retreat jiwa menuju ruang-ruang meditatif. Bila orang lain biasa menghaturkan sesaji besar, jelimet, saya cukup menjalankan “sesaji” pada tanah, menanam pohon, menggembur-gemburkan ibu bumi, menyiram yang layu, memupuk yang gersang,” jelas Jro Tjampuhan.
Memuliakan alam dan dekat dengan Sang Maha Pencipta dalam harmoni
Sang pengabdi ternyata memilih jalan doa dalam tindakan. “Itulah jalan yang saya pilih, merawat alam dengan hati riang. Dan hasilnya kini menjadi berkah bagi semua yang hidup. Burung-burung datang, kupu-kupu datang. Semua menjadi jejaring harmonis. Karena sesungguhnya inilah ajaran Kanda Pat itu; nyata, real, bermanfaat untuk kedamaian lahir batin,” terang Jro Tjampuhan.
Sejak awal taman ini diniatkan untuk merawat dan memuliakan air, memang. Maka, penataan awal perlu dilakakunan; merawat kesucian mata air yang mengalir dari tiga penjuru, tepatnya di sisi Timur menuju Barat, Selatan menuju Utara, Barat menuju Timur, lalu bertemu indah di Telaga Tjampuhan, lantas aliran itu menyatu, mengalir menuju Utara – arah kiblat Dewa Wisnu sebagai Dewa Penguasa Air.
“Berbulan-bulan bila pulang dari Belanda kami mareresik di sini, membebaskan air dari sampah dan kotoran yang mencemari. Kami mulai menata tempat ini, beraneka pohon kami tanam, beragam bunga-bunga kami “tajuk” di sini. Bangunan-bangunan penting, gedong pemujaan, bale pawedan, altar meditasi, tempat melukat kami bangun pelan-pelan. Kami juga membangun Gedong Saraswati, perpustakaan kecil, ruang baca penyadaran buat siapa saja yang datang berkunjung.” kilah Jro Tjampuhan.
Kini semua telah berubah di sini. Layaknya bidadari terlepas kutukan, lalu menjelma menjadi dewi. Kekumuhan disulap menjadi taman asri. Tak terbayangkan, dulu tempat ini penuh sampah plastik, kumuh tak terawat, kini menjelma menjadi taman indah. Sampah plastik nyaris tak ada di taman ini. Ini sungguh menjadi perjalanan batin pengelolanya.
Batin bersih, pikiran bening cenderung memantulkan kondisi yang sama di luar. “Ya, taman inilah rumah hening saya sekarang, saksi bisu tapak-tapak perjalanan saya ke dunia damai, dihibur burung-burung, dirindangi pohon-pohon, ditenangkan gemricik air jatuh ke telaga,” papar Jro Tjampuhan.
Penataan terus diupayakan di taman ini. Di hulu, di posisi utama taman terbangun Padmasana, tempat semua yang ilahi dipuja, dimuliakan penuh takzim. Palinggih Ratu Bhatari Manik Segara, Palinggih Ratu Ayu Mas Rangda juga dibangun guna memuliakan semua energi kedewaan.
Delapan sumur kecil berkedalaman seputar 1 meter terbangun apik. Sumur-sumur ini tak cuma hadir sebagai mata air alami. Namun dihadirkan untuk memuliakan air hidup, karena betapa penting air dalam hidup orang Bali. Sebab itulah agama orang Bali disebut Agama Tirtha. Agama yang tak saja secara doktrin menyuruh umatnya merawat air, akan tetapi berharap setiap waktu sang pejalan menemukan kebeningan. Siapa pun yang sadar di jalan itu. Air adalah amreta, maknanya; ia yang tak pernah mati, sang penghidup semesta beserta isinya.
Dalam pandangan kesucian orang Bali, sesungguhnya ada dua jenis palukatan. Pertama, palukatan dengan air ragawi. Kedua, palukatan dengan “air pengetahuan” disebut banyu-pineweruh. Bahwa mereka yang mendapatkan terang pengetahuan suci terbebaskan dari kegelapan dan kekumalan pikiran. Bila badan kotor; basuhlah dengan air. Bila pikiran kotor, sucikan dengan air pengetahun, banyu-pineweruh. Inilah yang kerap dijelaskan dalam teks-teks suci – ini juga kenapa orang Bali memuliakan Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
Dan di taman ini kita lalu mendapat kesadaran, bahwa Saraswati sesungguhnya adalah air pengetahuan yang mengalir, membasuh kekotoran batin, menerangi kegelapan pikiran.
Ada dua hal yang dikodratkan mengalir di semesta ini. Pertama adalah air. Air yang beku, tergenang cenderung menjadi penyakit. Karenanya ia harus dialirkan. Begitulah bila air di tubuh beku, kematian pasti menjemput.
Kedua, air pengetahuan. Kodrat pengetahuan senantiasa mengalir dari waktu ke waktu. Dari guru ke murid, dari ibu ke anak, dari pikiran ke hati. Mereka yang menyendat, menyembunyikan pengetahuan, sama dengan air tergenang, ia mati, bau, dan berpenyakitan.
Taman ini sesungguhnya hendak menjadi contoh gerakan kongkret atas penyelamatan lingkungan. Di tengah-tengah kerusakan situs air Bali, kehancuran lingkungan, taman ini hadir sebagai teladan. Tentang bagaimana sebuah situs air nyaris mati dihidupkan kembali, wilayah kerontang dihijaukan.
Bayangkan bila banyak orang terpanggil untuk ini, seberapa banyak makhluk bisa diselamatkan, seberapa banyak pohon bisa dirawat. “Kita lupa, oksigen yang kita hirup gratis. Namun abai menanam pohon yang senantiasa memberi kita udara bersih, segar tanpa polutan,” ujar ibu satu putra ini.
Seperti juga wilayah pertapaan, taman ini tidak jauh dari sejumlah godaan. Sejumlah investor dan pengembang yang tidak bertanggungjawab pelan-pelan merangsek. Mereka menanam beton, tak lagi menanam pohon. Air yang menjadi aset hidup abadi tak lagi dipikirkan untuk generasi.
Orang-orang memilih menjadi generasi perusak, merasa tak dimuliakan menjadi generasi penyelamat. Segelintir orang bisa saja sedih menyaksikan semua ini, tapi tak banyak peduli saat alam dirusak, kecuali jiwa-jiwa tercerahkan ̶ ia ingin taman ini menjadi rumah hening untuk jiwa-jiwa yang lelah, rapuh dikoyak masalah hidup yang garing, kering dan mati rasa.