SIAT WAYANG – kelirbali.com
oleh I Wayan Westa, penikmat budaya. Pernahkah Anda berjalan, bermalam di antara batu-batu lancip di kaldera purba Gunung Batur? Ini tak cuma ujian fisik tentu, tapi bagaimana Anda bisa melakukan tanpa keluh, dalam hening malam nan dingin nyaris merontokkan tulang.
Boleh jadi tak banyak yang sempat mengalaminya, berjalan tertatih di antara batu-batu tajam, dalam medan di mana orang tak bisa melangkah tanpa hati-hati. “Mata kaki” yang selalu awas. Sedikit saja tergelincir, berarti luka.
Bila pun dibetot udara dingin, malam nan majenun, berjalan di antara batu-batu bergerigi itu, beberapa kali saya pernah ikut merasakan tikaman batu-batu lancip itu, bertahan hingga subuh, menikmati kabut beku, berkarib batu-batu magma yang mendingin.
“Perapen,” begitu para pengelana spiritual menyebut tempat ini — wilayah yang dipandang suci, dan dulu tidak begitu sering didatangi orang normal. Hanya pada hari-hari tertentu, menjelang upacara tertentu, krama Desa Batur melakukan bersih-bersih di sini, merabas semak, melakukan penghijauan, sembari memulikan Hyang Salodaka, air panas dan api yang menyembul dari kaldera Batur. Kini, di tempat ini sudah berdiri pura megah, yang awalnya cuma batu dan kepundan.
Di sisi selatan punggung Gunung Batur, memang ada gundukan bukit kecil nan hijau. Di situ, di kakinya, pada tebing sisi utara, tepat di bawah palinggih Padma kecil, senantiasa mengepul asap tipis dari lubang-lubang kaldera. Coba mendekatkan anggota badan pada kepulan asap itu, hawa panas segera terasa. “Di sini dulu ada gua, dari lorong ini bisa dilihat bara api di kedalaman goa,” terang Ketut Pande Rijasa, ayah tiga putra asal Batur yang sejak kecil acap lalu-lalang di tempat ini.
Inilah alasan kenapa wilayah ini disebut Perapen (asal kata: Per-api-an). Para tetua di Desa Batur, begitu juga keluarga besar Pande di Bali, meyakini tempat ini sebagai payogan Mpu Bramaraja. Oleh karena itu wilayah ini sangat disucikan.
Siapa gerangan Mpu Brahmaraja itu? Adakah sosok ini pernah hidup? Tak ada yang bisa memastikan. Bila pun begitu, tokoh ini sering dikaitkan dengan keberadaan sejumlah pura penting di Bali.
Pura Indrakila, di Desa Dausa Kintamani, Pura Teratai Bang di Bedugul, Pura Ulun Danu Beratan, Pura Puncak Mundi, Nusa Penida adalah pura yang selalu dikaitkan dengan kehadiran Mpu Brahmaraja di Bali — baik langsung maupun tidak langsung. Setidaknya itulah kenyataan yang ada, dan sejumlah historiografi, prasasti, babad seperti menguatkan hal itu.
Bila pun tak ditemukan fakta sejarah, keluarga besar Pande Beratan misalnya, yang kini jenak di sejumlah tempat di Bali meyakini Mpu Brahmaraja itu tokoh yang pernah membumi, orang suci yang benar-benar pernah hidup dan memiliki keturunan. Guru berhati teduh nan mumpuni.
Asal-usul Mpu Brahmaraja bisa dirujuk dari Prasasti Pande dan Babad Pande Beratan. Saya berniat menuliskannya dari rujukan historigrafi itu.
Alkisah, Prasasti Pande menuturkan, bahwa Mpu Brahmaraja terlahir dari yoga Bhatara Brahma. Suatu hari, di Gunung Silasayana, Brahma tapekur dalam yoga, tiba-tiba dari paha kanan keluar api menyala-nyala, layaknya Hyang Agni turun ke bumi. Api terjatuh di sebuah telaga. Namun ajaib, dalam genangan air, api itu tetap menyala-nyala. Beberapa saat api meredup, berubah menjadi manik air yang berkilau. Brahma memuja manik air itu, seorang bayi lalu keluar penuh sinar. Bayi itu menangis, merasa jasmaninya keluar dari saluran tidak biasa. Jiwa bayi ini meronta, seperti menanyakan ayah-ibu.
Sementara bayi ini meronta, Brahma tetap tepekur, lalu berkata,”Benar anakku, kau tidak perlu khawatir, menanyakan siapa ayah-ibumu. Engkau adalah anakku, putra Bhatara Brahma. Bagimu engkau tidak perlu rawatan sebagaimana bayi lainnya. Untuk menjadi siddhi engkau tidak perlu bertapa terlebih dahulu, kuanugerahi engkau sebagian kesaktianku. Dan engkau tidak perlu pertolongan orang lain lagi. Mulai saat ini kuberi engkau nama Mpu Brahmaraja.”
“Tapi Paduka Bhatara, mohon ajari hamba keterampilan hidup, supaya hamba bisa menghidupi diri sendiri, menolong orang lain,” Brahmaraja menyela.
“Anakku, Brahmaraja, akan kuajarkan engkau ajaran yang patut menjadi kewajiban hidupmu, dengan ajaran ini engkau bisa mengabdi pada dunia. Ada dua kewajiban yang mesti kau jalani, yakni: agandring dan amande galuh. Kewajiban ini harus engkau jalankan dengan batin setia, suci bersih tanpa pamerih.
“Camkan anakku,” sabda Brahma kembali. “Yang dinamai agandring adalah pekerjaan membuat segala senjata tajam. Dan amande galuh, kewajiban membuat peralatan dan busana para wiku, serta kesatria abhiseka ratu.”
Brahmaraja tumbuh semakin dewasa, senantiasa ingat memuliakan pesan-pesan Bhatara Brahma. Demikian ia menjadi orang suci ternama, seorang mpu yang menguasai penuh ilmu agandering dan amande galuh, suci sakti menyerupai Bhatara Brahma. Kabar tersiar ke mana-mana, banyak orang datang ke pertapaan di Gunung Hyang (Gunung Dieng, Jawa Timur).
Suatu hari, Patih Madhu, penguasa Madura, seizin Sri Hayam Wuruk, Raja Majapahit hendak menggelar yadnya agung untuk memuliakan leluhur, mungkin sejenis upacara sradha. Niat ini lama tak dilaksanakan. Untuk memimpin upacara ini Patih Madhu bermaksud mencari seorang pendeta yang kesaktian dan kesuciannya menyamai Mpu Lohgawe.
Suatu hari sebuah berita sampai ke telinga Kryan Madhu, bahwa seorang mpu sakti tengah melakukan tapa di Gunung Hyang. Ke situ Patih Madhu menghadap, memohon pada sang mpu untuk datang ke Madura, guna memimpin upacara pitra puja.
Tidak beberapa lama upacara sradha akhirnya digelar, dipimpin Mpu Brahmaraja. Sejumlah tamu penting diundang, Adipati Blambangan, Pasuruan, Sunda, Sumba, Palembang, turut juga Adipati Bali, Dalem Ketut Ngulesir, ayah Dalem Waturenggong, Raja Gelgel yang masyur itu. Upacara digelar begitu megah sebagaimana adat para raja-raja bijak.
Usai memuja, Mpu Brahmaraja memanggil Patih Madhu, seraya berucap, “Patih, dengan segala hikmat kesucian, upacara sradha sudah selesai Bapa gelar. Sekiranya engkau tidak percaya, tolong tanyakan kesempurnaan upacara ini pada layang-layang, batu-batu, dan tetumbuhan yang ada di sini!”
Patih Madhu berdiri, menanyakan pada layang-layang, tetumbuhan dan batu-batu yang ada di sekitar. Serentak menyatakan upacara itu berhasil sempurna. Seluruh roh kawitan yang diupacarai sudah mendapat tempat di surga. Tak alang kepalang bahagia hati Patih Madhu. Para tamu, semua yang hadir dalam upacara itu takjub menyaksikan kesucian dan kesempurnaan Mpu Brahmaraja. Karena kesidian mantranya, sejak saat itu Brahmaraja, anak Bhatara Brahma ini diberi gelar “Bhagawan Pandya Mpu Bumi Sakti.
Sebagai tanda hormat Patih Madhu kepada Mpu Bumi Sakti, padanya dibuatkan asrama asri di Madura, di pucak bukit tak jauh dari kota kerajaan. Asrama itu dikenal dengan nama Kayu Manis, tempat Mpu Bumi Sakti mengajar para murid, sembari menjalankan kewajiban agandring dan amande galuh.
Beberapa lama setelah upacara sradha di Madura, sang brahmana minta diri menuju desa yang sepi. Syahdan dalam suatu perjalanan, Brahmaraja berjumpa seorang anak yang tengah membajak, ia menangis karena gigi bajaknya patah. Sang Mpu mendekati anak itu dengan perasaan iba. “Nak, kenapa dikau menangis,” sapa sang Mpu. “Maaf tuan pendeta mulia, gigi bajak hamba patah menyuruk bebatuan. Hamba takut, ayah hamba marah,” sahut anak itu sembari menahan tangis.
“Ya Nak, bawa bajakmu ke sini.” Brahmaraja memperhatikan gigi bajak yang patah itu. Sang Brahmaraja tepekur, dari mata sang mpu keluar api membakar besi bajak itu. Dari hidung kiri keluar hembusan angin, nyala api makin membesar. Besi yang tengah memerah itu ditaruh di paha kiri, tangan kanan sang mpu memukul-mukul besi bak palu godam. Gigi bajak disambung kembali. Besi yang masih memerah itu diusapkan di badan sang mpu, dalam keringat masih mengucur. Mata bajak itu akhirnya purna diperbaiki. “Sekarang pulanglah Nak, bajak ini tidak akan pernah patah lagi.” Sang mpu lalu melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak, melewati tegalan yang sunyi, pohon-pohon besar, dan kuburan angker.
Di tengah kuburan, terlihat serigala, dan anjing-anjing liar berebut bangkai, mencabik-cabik isi perut yang mulai membusuk. Sang Mpu tercenuung, memandang ke segala arah. Sepi, hanya raung serigala menyapa. “Boleh jadi ini pertapaan seorang pendeta Buddha,” bisik sang Mpu.
Sore, matahari mulai rebah ke barat, burung-burung pulang ke rindang pohon. Udara terasa dingin, terdengar suara genta menyambut sandya, dan matahari pun tenggelam. Bau menyan, asap cendana seperti membangunkan mahluk-mahluk bawah. Lolongan anjing, suara belalang semak melipat pergantian kala.
[bersambung…..]