Pertapa di Tengah Kuburan (bag 2)

Facebook
Twitter
WhatsApp
SIAT WAYANG – kelirbali.com
 
oleh I Wayan Westa, penikmat budaya. Bau mayit, bayangan kelam, dengungan serangga malam mengantar langkah Mpu Brahmaraja memasuki Asrama Aksobhya, tempat seorang   Pendeta Buddha Bairawa melakukan tapa di tengah kuburan. Terlihat pondok lengang, atapnya terbuat dari ikatan ilalang, dipagari kayu puring dan endong bang. Sobekan kain kumal  bekas selimut jenazah penuh bercak darah dan nanah berserak, lalat merubung di mana-mana. Usungan mayat tergeletak begitu saja. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Namun Sang Sadhaka Buddha ini memaknainya sebagai pintu keabadian, surga masa depan meraih kelepasan.
 
Angin mendesir pelan, harum punga pudak  mengusir bau mayat tengah membusuk dicabik srigala. Seutas usus terburai penuh kotoran digeranyam ulat-ulat bulu.  Sesekali serigala  mengaung, membangunkan bulu kuduk. Pokok rangdu besar terlihat seperti  bayangan  hantu kuburan.
 
Beberapa depa dari halaman asrama, tampak seorang Wiku Buddha tengah khusuk memuja Hyang Amogsiddhi. Mpu Bumi Sakti terheran melihat busana  pendeta yang tengah tenggelam dalam samadhi. Tempat air sucinya terbuat dari tulang tengkorak manusia, berselempang usus tua,  anting-anting hati membusuk, minyak rambut dari nanah, berbaju kulit harimau. Begitulah lazimnya  Pendeta Buddha saat memuja Hyang Bajrajnana. 
 
Sesaat usai memuja, Pendeta Buddha itu memandang ke luar,  terlihat seorang brahmana tamu tengah menunggu di rindang pokok kepuh. “Mari mampir ke pondok Tuan Brahmana, sudi memberkati tempat ini,” sapa Pendeta Buddha ramah.
 
Mpu Bumi Sakti melangkah pelan, sedikit membungkuk sembari menghaturkan hormat. Dipandangi lingkungan sekitar. Kembang sarikonta seakan merunduk menyambut kedatangan Mpu Brahmaraja. Bunga walikadep mendadak mekar, bahagia menyambut kedatangan sang mpu. Tiada lampu dan suluh, hanya cahaya bintang jadi penerang. Anjing-anjing menggonggong berlarian. Dengan tutur kata lembut sang Pendeta Buddha bertanya.
 
“Selamat datang Tuan Brahmana mulia, dari manakah asal Tuan hingga terlunta ke sini? Betapa bahagia hatiku. Wajah dan kesantunan Tuan memperlihatkan Tuan dari keturunan suci. Tak ubahnya Wrahaspati, guru para dewa. Saya seorang Wiku Buddha ingin tahu muasal Tuan Brahmana, suka kiranya Tuan memberkati tempat  ini!”
 
Dengan rasa hormat dan segala kerendahan hati Mpu Bumi Sakti  menjawab:
 
“Ya, Pendeta Guru, yang seakan-akan Bhagawan Angira dalam kebijaksanaan, patut mensucikan segala cemar dunia. Mohon maaf saya memperkenalkan diri. Nama saya Mpu Bumi Sakti, anak dari Hyang Brahma. Saya  berasal dari Silasayana. Saya datang kehadapan Dang Guru hendak bermaksud berguru, belajar kebajikan hidup dan  melepas atma saat tubuh kian menua. Sudi kiranya Dang Guru memungut saya sebagai anak,” demikian kata Mpu Brahmaraja.
 
“Wahai anakku,” jawab Dang Astapaka. 
“Betapa bahagia hati ini atas kedatangan anakku  Mpu Bumi Sakti. Engkau betul-betul putra Hyang Datra (Brahma). Saya ini guru Buddha yang miskin, menyendiri di tengah kuburan.  Engkau memang brahmana  maha utama. Tunjukkan padaku dari mana keluarnya api  ketika anakku menyelesaikan pekerjaan amande? Di mana ububan pengembusan, mana yang merupakan palu dan landasan dalam badan anakku? Coba ceritakan padaku inti dan hakikat keahlian anaku?
 
Dengan penuh taksim, tanpa niat pamer kesaktian, memohom beribu maaf Mpu Bumi Sakti menjawab:
 
Ampuni anakkmu ini Guru mulia,  ijinkan hamba menjawab pertanyaan Dang Guru. Hamba tak hendak ingin pamer. Sedebu pun hamba tak ingin menunjukkan ketinggian hati. Dang Astapaka menganggukkan kepala tanda setuju.
 
Sementara Mpu Bumi Sakti menyatukan cipta, dalam yoga yang dalam, teramat khusuk, tiada berapa lama api keluar dari mata kanan sang Mpu, seakan-akan tofan berembus dari dua lubang hidung. Mpu Bumi Sakti mencipta Hyang Daneswara, Dewa Kekayaan. Tiba-tiba emas dan perak mengucur dari langit, jatuh di panggkuan  Sang Mpu. Emas pemberian dewa itu segara dikerjakan, seraya memutar tiga kali, seketika itu logam mulia berubah jadi perhiasan pendeta. Sang Mpu lalu mempersembahkannya kepada Pendeta Astapaka.
 
Wiku Buddha ini terkesiap bahagia, seraya berkata: “Anakku Mpu Bumi Sakti, kini Bapa tahu keutamaan, kebijaksanaan, dan keahlian anakku. Namun perlu Ananda ketahui, Bapa ini hidup seorang diri, tiada punya turunan. Hanya ada anaku seorang wanita, namanya Dyah Amrtatma, ia akan Bapa serahkan kepada anaku untuk kawan hidup. Semoga lahir putra terbaik, sebagai cucu Bapa.  Berharap kelak ia dapat menolong Bapa menuju alam kelepasan. Jika tidak, Bapa khawatir, ketika tiba saat berpulang, roh Bapa tidak bisa dibebaskan. Itulah hakitat putra, bermakna yang menyeberangkan. Sebab sebagimana Bapa dengar dari ceritera Mahabharata. Ada seorang pendeta yang taat, Jaratkaru namanya.  Ia tidak berniat mencari pasangan hidup. Dan ketika  ayahnya meninggal, belum juga ia mempunyai turunan. Maka roh ayahnya digantung terbalik pada sebatang pohon bambu. Tali gantungan dikerat tikus, nyaris putus,  sang pendeta  hampir jatuh  ke dalam jurang. Lama ia menunggu supaya turunannya datang membebaskan. Demikian papa-nya orang yang tidak mempunyai turunan,”
 
Demikian wejang Dhang  Astapaka, maka Bhagawan Pandya menjawab, “Ya guru, yang seakan-akan Hyang Ratnasambhawa, saya anak sang pendeta setulus hati menerima anugerah mulia Dang Guru. Terima kasih atas kebaikannya, terima kasih atas kasih yang tulus. Semoga tiada dosa melekat di batin hamba. Ini akan menjadi jalan terang perjalanan hamba kelak.”
 
Jawaban Mpu Bumi Sakti melegakan hati Dang Astapaka. Tak berpikir panjang, pada hari itu juga Mpu Bumi Sakti dinikahkan pada Dyah Amrtatma di Asrama Buddha, di tengah kuburan nan sepi. Laksana Indra  menyunting   Bhatari Saci. Indah mempesona. Tak terlukiskan bagaimana penganten baru ini memadu cinta kasih. Pada waktu  bersantap  tak lupa merapal Aji Padmadanda. Begitu pula saat bertemu kasih, memadu asmara ia tak lupa mempraktikkan samgamayoga, Aji Kamatantra, dengan maksud mendapat keturunan utama. 
 
Kecuali itu Dang Mpu membangun pula putra hista. Putra artinya selalu membuat telaga, pancuran dan balai-balai, hista artinya selalu memuja kepada Hyang Ekagni, Triagni, dan Kundagni serta sangat berbelas  kasih terhadap orang-orang sengsara yang minta perlindungan. Tidak pernah berhati sombong. Hatinya selembut embun pagi, percik-percik kebijaksanaan terlihat dalam kata dan tindakan. Demikian keadaan sang Mpu selama bersuami isteri di Asrama Kayu Manis.
 
Beberapa bulan setelah pernikahan Dyah Amrtatma  hamil. Dalam keadaan demikian  sang Mpu kian taat melakukan  yoga samadhi. Saban hari, sebelum matahari terbit, Sang Mpu amat taat melakukan surya sewana, memuja surya, energi abadi alam semesta.  Demikian kian hari pasraman Kayu Manis di Madura semakain ramai dikunjungi para siswa, mereka belajar sastragama, mendalami Jyotisa, tata bahasa, menulis puisi, merapal seloka pemujaan, mendalami ilmu amande.
 
Kini diceritakan Sri Semara Kepakisan, setelah kembali dari Madura. Di kratonnya di Gelgel,  sang raja terkenang kesucian Mpu Bumi Sakti dalam memimpin upacara. Maka terbit niat sang raja  berguru pada Mpu Bumi Sakti. Untuk maksud ini Sri Semara Kepakisan mengutus Ki Pasek Bya datang ke Madura, mengundang Mpu Bramaraja datang ke Gelgel.
 
Dalam tiga hari perjalanan, menaiki Jukung, berlayar dari Pesisir Jumpai, Ki Pasek Bya sampai di Asrama Kayu Manis. Begitu indah Asrama Kayu Manis terlihat, dipenuhi bunga-bunga, dikitari pokok-pokok kayu Mas, Kenyeri putih dan abang,  bunga Menur  dan Angsana  berbunga lebat. Kumbang-kumbang mendengung, tengah bahagia mengisap sari bunga. Pohon-pohon kelapa ganding  berjajar rapi dililit kacang kara. Bunga jangga tengah mekar, baunya menggoda birahi.
 
Ki Pasek Bya memasuki halaman, didapati Sang Mpu tengah melakukan puja Surya Sewana. Sejenak sang tamu harus menunggu. Dengung suara genta  terdengar hening. Usai memuja Sang Mpu turun, mendekat pada Ki Pasek Bya.
 
“Duh, aum-aum, tuan hamba tamu dari mana? Apa gerangan maksud Tuan datang kemari? Mohon sampaikan pada Bapa Pendeta,” sapa sang pendeta.
 
“Ya Tuan Pendeta, hamba adalah putra Ki Arya Nganggo dari Nusa Bali. Hamba bermaksud mohon tuntunan, berguru aji kehadapan Sang Mpu. Hamba hendak membersihkan kegelapan dan kebodohan yang membalut hati dan pikiran hamba. Hamba sadar betapa kotor dan gelap jiwa raga hamba.” demikian hatur Ki Pasek.
 
“Wahai puyutku Pangeran Pasek Babya. Jika demikian, engkau masih sanak saudaraku. Bukahkah Mpu Ketek yang maha suci itu masih satu keturunan dengan Mpu Gandring, yang dulu ditikam Ken Angrok. Jika begitu adanya patutlah segara kau melakukan darma kependataan untuk membasuh jiwa sucimu. Demikian kata Sang Mpu, maka Ki Pasek Bya menjawab:
 
 “Ya Tuan pendeta junjungan hamba, sesungguhnya kedatangan hamba menghadap membawa serta dua kepentingan. Di samping kepentingan sendiri,  hamba diutus  Raja Bali, Dalem Gelgel untuk menghaturi Sang Mpu datang ke Bali, baginda hendak berguru kepada Sang Maha Mpu”.
 
“Hai puyutku Pangeran Pasek,  untuk kepentingan Dalem, saya akan datang sendiri bila telah ada hari baik. Untuk itu,  kiranya terlalu repot, silakan pulang mendahului. Sampaikan pesan Bapa, tiba waktunya tepat, Bapa akan datang ke Gelgel — tempat di mana raja dan rakyat selalu bahagia. 
 
Beberapa hari jenak di Asrama Kayu Manis, setelah menerima ajaran kediatmikan, upawasa, tapa,  samadhi, serta bisikan ajaran rahasia, Ki Pasek Bya mohon diri pulang ke Bali. Ini kelak bekal persiapan diksa menjadi pendeta.
 
Sebelum matahari terbit di ufuk timur, dalam suasana rintik hujan, bunga-bunga mekar di Asrama Kayu Manis, Ki Pasek Bya mohon diri kehadapan  Maha Mpu. “Hamba mohon ijin kembali ke Gelgel Paduka Pendeta, restui perjalanan hamba, maafkan kekurangan hamba,” atur Ki Pasek Bya pendek.
 
“Silakan anaku, hati-hati di jalan. Bila bertemu binatang buas, jangan lupa merapal mantra penjinak durga. Sebab, semua yang hadir dalam hidup kalian tunggal adanya. Tumbuh-tumbuhan, hewan, dan binatang adalah bagian utuh dari hidup  yang tunggal, ber-ibu satu, ibu bumi.”
[bersambung…]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…