SENTIL DALANG – kelirbali.com
Kegiatan dalam bentuk pameran, festival atau kegiatan lain yang melibatkan masyarakat banyak sangat sering melibatkan pihak ketiga atau sponsor. Di sisi lain pemerintah daerah tentunya sudah menganggarkan tahun sebelumnya untuk kegiatan yang akan dilaksanakan, baik pameran atau festival.
Kondisi menjadi ambiguitas, tat kala masuknya dana pihak ketiga yang bisa jadi tanpa pertanggungjawaban atau nota setor. Kondisi ini mengingatkan terhadap kondisi dana CSR perusahaan, baik milik swasta atau pemerintah, dalam hal ini BUMN / BUMD. Di satu pihak, dana ini bisa memberikan manfaat yang sangat besar kepada masyarakat. Disisi lain, apabila salah dalam mengelola atau memanfaatkannya, akan berdampak buruk terhadap kondisi sosial.
Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam pasal 1 ayat 3 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau merupakan komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. Guna meningkatkan kualitas kehidupan (sosial) dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Salah satu tujuan dari dana ini adalah memperbaiki hubungan dengan stakeholder dan pembuat regulasi, dalam hal ini pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah. Ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 pada pasal 295, yang bunyinya “Lain-lain pendapatan Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf c merupakan seluruh Pendapatan Daerah selain Pendapatan Asli Daerah dan pendapatan transfer, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Jadi dana CSR atau TJSL yang diterima pemerintah daerah merupakan pendapatan lain-lain yang sah. Karena merupakan pendapatan yang sah sesuai ketentuan hukum, maka wajib bagi Pemerintah Daerah mencatat atau tertuang dalam APBD penerimaan dana tersebut baik berupa barang, uang dan atau jasa. Ini sudah barang tentu pengelolaan, pertanggungjawaban nya serta pengawasan nya wajib sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berkaca dari itu dalam penerimaan dana CSR atau TJSL Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung mengikuti ketentuan yang ada. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan Pemda Klungkung adalah Festival Semarapura yang mulai dilaksanakan Tahun 2015 serta Festival Nusa Penida yang diselenggarakan lebih awal yakni Tahun 2014 yang melibatkan salah satunya Pihak Ketiga baik perusahaan maupun pribadi. Keterlibatan ini bisa berupa sumbangsih barang, uang dan atau jasa.
Namun menariknya lagi muncul pertanyaaan apakah mekanisme sumbangsih pihak ketiga ataupun masyarakat ini sudah mengikuti ketentuan yang ada. Atau menggunakan mekanisme penjual sate lontong di pinggir jalan yang mana ditangani penjual saja termasuk sisa lebihnya. Bayangkan saja kegiatan tersebut berjalan sudah hampir 10 tahun, kemana sisa lebihnya, siapa saja yang memberikan sumbangsih, berapa besarannya, bak hilang ditelan tsunami habis tak bersisa.
Ironisnya sistem pengawasan internal yang digawangi oleh Inspektorat Daerah tidak melakukan pengawasan melekat, Sekda selaku Ketua TAPD yang berwenang utuk merencanakan setiap program kegiatan yang ada bersama Kadis Pariwisata enteng-enteng saja, tidak tahu, pura-pura tidak tahu, sama-sama tahu, atau tahu sama tahu yang lainnya. Pun ketika rapat pertanggungjawaban digelar tertutup dan laporan terima beres. Polanya berulang, dan dalangnya tetap orang yang sama seperti no Hp yang tertera di baliho.
Menariknya lagi, seperti Festival Nusa penida Tahun 2024 ini, dilaksanakan saat APBD cekak anggaran. Selain cekak anggaran, juga di tengah masyarakat Nusa Penida krisis air bersih, krisis BBM. Dan tentunya pejabatnya berkelit bahwa hal tersebut sudah diagendakan rutin.(Den)