Brahmana Dwala Lahir (bag 4)

Facebook
Twitter
WhatsApp
SIAT WAYANG – kelirbali.com
 
oleh I Wayan Westa, penikmat budaya. Pagi sebelum matahari terbit, saat burung-burung hutan begitu riang menyambut fajar, Mpu Galuh berangkat ke Bali. Bunga Kemoning dan Gadung terserak di jalan, seakan menghantar  kepergian Sang Mpu meninggalkan tanah Madura yang berkapur. Menyeberangi laut, menuruni jurang, menelusur hutan-hutan  lebat penuh binatang buas, Mpu Galuh sampai di kaki Gunung Agung, akhirnya. 
 
Di kaki Tolangkir, di gunung tertinggi di Pulau Bali ia menghamba kehadapan Hyang Mahadewa. Hatinya begitu suci dan tulus. Sejak saat itu Mpu Galuh atau Dyah Kencanawati digelari Dyah Kul Putih. Konon dalam  menyediakan persiapan upakara, Dyah Kul Putih ditemani seekor kera putih kesayangan Bhatara.
 
Sejak dianiaya sang kakak,  sang ayah Mpu Brahmaraja tidak tahu di mana Mpu Galuh berada. Begitu lama ia tidak kelihatan di Madura. Datang ke asrama pun tidak. Mpu Brahmaraja kemudian menyuruh Mpu Gandring Sakti  mencari Mpu Galuh. Berbulan-bulan, ke seluruh penjuru sudah dicari, toh sang adik tidak juga ditemukan. Mpu Galuh seperti hilang ditelan bumi, tiada kabar, tiada berita. Hati Mpu Gandring Sakti pun gundah, merasa bersalah. Ia  berkeputusan mencari dengan jalan batin, menggelar yoga, sehingga badan halusnya keluar — di situ dalam samadhi yang hening, terlihat Mpu Galuh  tengah melakukan samadi di kaki Gunung Agung.
 
Mpu Gandring Sakti  menyudahi yoganya, cepat-cepat pergi ke Bali. Sore saat matahari hendak terbenam, Mpu Gandring Sakti merasa sedikit lelah, beristirahatlah ia di bawah Pohon Randu.  Mencium bau manusia,  mendadak seorang raksasi keluar dari mulut gua,  wujudnya menakutkan. Melihat wajah Mpu Gandring Sakti yang tampan, raksasi ini lalu berteriak, “Hai manusia, apa yang kau cari ke sini. Kebetulan sedang aku lapar, aku  ingin memakan dagingmu.”
 
Seketika Mpu Gandring Sakti menguncarkan mantram penjinak hati, bernama Wisnu Panjaramurtti. Hati raksasi  akhirnya terkulai, seperti disusupi air kesabaran. “Engkau raksasi, saya adalah anak seorang Brahmana dari Madura, anak Bhagawan Bhumi Sakti. Saya mau pergi ke Bali, disuruh ayah tercinta.”
 
Mendengar jawaban  demikian, tiba-tiba raksasi  itu berubah pikiran. Ia yang tadinya galak  hendak memakan daging manusia, seketika berubah menjadi kasih asmara. Nafsu birahinya bangkit ingin  bersebadan dengan Mpu Gandring Sakti. Bunga-bunga hutan, daun yang ranum, air gemericik, angin yang menghempas pelan, nyayian burung-burung, suara kumbang mengisap sari bunga, terlihat seekor kijang tengah bersenggama, raksasi ini tiba-tiba jadi kasmaran. Dipandanginya Bhagawan Bhumi Sakti ini seperti Dewa Manobhu, tampan gagah perkasa. Tatapannya seperti Dewa Kama.
 
Keluarlah kata-kata rayuan raksasi itu, ” Ya Sang Mpu, hamba mohon dengan hormat, sudi  Sang Mpu menaruh belas kasihan pada  hamba, memberikan hamba seorang anak yang akan melepaskan  kesengsaraan hamba ketika hendak pulang ke dewa loka kelak. Mohon berkahilah hamba, hanya paduka yang bisa memutus tali derita ini, paduka juga yang berhak menghapus dahaga batin ini, paduka pula yang memiliki kesempatan menuntaskan kabut halus asmara ini. Semua ini ruwat bagi hamba, guna meninggalkan jubah raksasi ini.”
 
Demikian permohonan raksasi kepada Mpu Gandring Sakti. Belas kasihan juga Mpu Gandring Sakti  melihat raksasi itu, seraya berkata, “Hai Raksasi jika demikian  benar kehendakmu, lepaskanlah sifat keraksasaanmu, aku akan menerima engkau sebagai istri, sebab aku tidak boleh menolak orang yang meminta bantuan.”
 
Teramat girang hati raksasi mendengar kata-kata Mpu Gandring Sakti.  Sesaat si raksasi  merubah diri, dari   wujud menakutkan menjadi cantik menawan hati, laksana bidadari turun dari sorga, seraya berkata lemah lembut.
 
“Hai suamiku, pandanglah segara rupaku yang cantik ini! Sebagai seorang raksasi  dinda dapat mengubah diri sekehendak hati. Marilah kita pulang ke rumah, saya tidak kuat lagi menahan tindihan birahi, hangus rasanya hati saya dibakar api asmara. Sudi turunkan hujan selebat mungkin, supaya tanah-tanah ini basah dalam lautan nikmat kama tantra… ayo cepatlah suamiku, syarafku menggelinjang padat.”
 
Demikian ajakan raksasi, Sang Mpu  menyambut  dengan lemah lembut, berdua lalu masuk ke dalam sebuah gua gunung, menikmati indahnya asmara di ranjang hutan. Dipersunting seorang mpu suci, raksasi ini kemudian diberi nama Dyah Giri Sewaka.
 
Tiada  lama kemudian, sekian waktu menikmati bulan madu, Dyah Giri Sewaka  pun hamil, perutnya kian membesar. Sore di awal musim hujan, saat pohon-pohon mulai bertunas, bunga-bunga rontok di pohon, Mpu Gandring Sakti mendekati sang istri, seraya berkata, “Adikku Dyah Giri Sewaka, tinggal-lah adik di rumah, Kanda hendak melanjutkan perjalanan ke Bali. Kanda disuruh ayah, Mpu Brahmaraja mencari adik kandung Kanda, Mpu Galuh.
 
Sang istri Dyah Giri Sewaka terdiam, lalu mengangguk penuh rasa bakti. “Kanda junjungan hatiku, berangkatlah segera ke Bali, jemput segera adik iparku, aku rindu bertemu, dia pasti seorang brahmani bijak.” 
 
Mpu Gandring Sakti berangkat menuju Giri Tolangkir. Setibanya di sana, dijumpai sang adik  tengah melakukan yoga samadhi. Takjub Mpu Gandring Sakti melihat kemampuan sang adik seperti itu, duduk seperti gunung memuja Sang Maha Hidup. Setelah paripurna menikmati hening samadhi, Mpu Galuh menyudahi yoganya. Buru-buru  Mpu Galuh menyambut kedatangan sang kakak,  yang sedari tadi menanti di halaman asrama.
 
Sembari menangkupkan tangan, mencium kaki sang kakak, Mpu Galuh membungkuk seraya menghormat,”Ya kakak Mpu, maafkan adinda, selamat datang di asrama yang sederhana ini, saya haturkan puji hormat, “Om nama Siwa Buddha Ya,”
 
“Adikku Mpu Galuh, panjang umurlah kita semua, kakak tahu adik senantiasa teguh dalam yoga samadhi, memuja  Siwa-Buddha inti seru sekalian alam, yang menjadi jiwaku juga. Kakak diutus ayah, Mpu Brahmaraja untuk mencari adik di sini. Kini kakak tahu, adik telah menjalankan ajaran Sang Kul Putih guna menuaikan bakti marga kepada Hyang Widhi. Kakak bahagia, adik ternyata telah paham hakikat ajaran Siwa-Buddha, taat melakukan yoga samadhi,  mendalami dengan baik ilmu hidup dan mati. Lanjutkanlah perjalanan Dinda, agar kelak saat kematian menjemput  Adinda menunggal pada Hyang Siwa-Buddha,” demikian nasihat Mpu Gandring Sakti,  menyebabkan senang hati  Dyah Kul Putih.
 
Beberapa hari Mpu Gandring Sakti menginap di asrama Dyah Kul Putih yang sejuk. Menikmati pemandangan Pulau Bali dari kaki Gunung Agung. Mencicipi  ubi-rebus,  sayur paku ala kadarnya. Tiada lama jenak di Besakih, Mpu Gandring Sakti mohon pamit hendak pulang ke Madura, segera menyampaikan kabar baik pada Mpu Brahmaraja.
 
Sebelum pulang ke Madura, Mpu Gandring Sakti singgah di rumah sang istri, Dyah Giri Sewaka. Betapa bahagia hati sang Mpu, didapati sang istri tengah menggendong bayi laki-laki, tampaknya baru beberapa pekan lahir. Dengan senyum bahagia, Dyah Giri Sewaka  menyambut kedatangan sang suami, seraya berkata,”Ya duli Sang Mpu, selamat datang saya ucapkan. Inilah putra Sang Mpu, buah cinta kita, terimalah dia!”, ucap Dyah Giri Sewaka penuh hormat.
 
Mpu Gandring Sakti segera menimang anaknya, memandangi wajahnya penuh cahaya. Air mata bahagia  Sang Mpu menitik, seraya berbisik padanya, “Nak kau turunan Brahmana Sakti, suci lahir batin. Dengan pengetahuan seluas samudra engkau akan merawat dunia. Doaku, semoga engkau panjang umur.” 
 
“Istriku, Dyah Giri Sewaka, kemarilah, ada permintaanku untuk terakhir kali. Kanda sudah lama meninggalkan ayah Mpu Brahmaraja di Madura. Maksud Kanda kini hendak pulang ke asrama Kayu Manis. Anak ini akan kuajak, akan kudidik dia menjadi seorang terpelajar, brahmana yang unggul dalam sastra, pemulia api yang taat di jalan darma,” ujar Mpu Gandring Sakti lembut.
 
“Wahai Sang Mpu jungjungan hamba,  yang hamba cintai dan  dan hamba hormati. Apa dayaku, aku tidak bisa menyertai sang Mpu, karena keadaanku berbeda dengan manusia biasa. Ini anaku sebagai persembahan jiwaku yang akan mengiring Sang Mpu di dunia. Ia kunamai Brahmana Dwala, sebagai wala (bukti) jiwaku tetap bersama Sang Mpu,” demikian kata-kata Dyah Giri Sewaka,  dengan air mata berlinang.
 
Untuk terakhir kali Dyah Giri Sewaka menimang sang  anak, semberi memberinya restu,”Anakku Brahmana Dwala, panjang umurlah engkau, semoga engkau terhindar dari bahaya. Di hutan, di  kuburan, di  kali, di laut semoga kau selamat. Tidak terhalang  binatang buas, jin setan tidak berani padamu. Kini ibu mau berpulang ke surga, ayahmu telah melepaskan semua kekotoranku. Dyah Giri Sewaka pun lenyap, ia berubah menjadi bidadari, karena memang ia bidadari yang dikutuk menjadi raksasi. Demikianlah Mpu Gandring Sakti telah membebaskan raksasi kutukan itu, kembali pulang ke surga dewa-dewa.(den) [Bersambung….]
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…