SIAT WAYANG – kelirbali.com
oleh; I Wayan Westa, penikmat sastra. Hari masih pagi saat Brahmana Dwala menyudahi samadhi. Di Asrama Kayu Manis nan sahaja, fajar baru saja terbit. Suara burung hutan seperti nyanyian hati yang riang. Setangkai bunga jatuh menerpa keningnya. Dalam ketenangan seperti air telaga, tiba-tiba batin Mpu Dwala berbisik. Sembari duduk hening ia perhatikan suara kalbu itu; -mengalir lembut dalam damai.
“Wahai Dwala,” begitu tiba bisikan itu menyembul. Seorang brahmana tidak cukup dilahirkan dari keluarga brahmana. Tidak cukup pula karena ia telah menguasai kitab suci dan Weda-Weda. Tidak cukup karena diksa mengharuskan ia menjadi bramana. Tidak cukup karena ia telah menjalankan tapa begitu kuat. Brahmana adalah mereka yang hati, pikiran, darah, dan dagingnya telah diresapi zat tunggal Brahman — maka ia disebut guru loka, guru dunia. Maka ia disebut patirtan jagat, pembasuh, penyejuk dunia. Maka ia disebut surya, penerang batin dari kegelepan.”
Mendengar suara kalbu itu, Brahmama Dwala tercenung. Dari kejauhan terdengar suara ayam hutan seperti alunan genta. Ia pandangi langit biru tanpa noda. Ia pandangi semburat matahari menyinari seisi alam. Ia perhatikan cahaya bertenger di daun-daun. Ia sadari brahman meresap pada semua makhluk. Ia renungkan putaran: lahir-hidup-mati, menggema menjadi suara AUM, zat brahman yang tak termusnahkan. Abadi-lah semua, mengalirlah semua.
Setelah sang ayah, Mpu Gandring Sakti muksa, Brahmana Dwala memang bermaksud memasuki kehidupan diksa, menjadi pendeta, mengabdi di jalan darma sebagai pemulia api. Sayang tak satupun orang suci dinilai layak menjadi guru. Untuk itu ia membuat arca pralingga, patung leluhurnya, Mpu Bhumi Sakti dan istri Dyah Amrtatma. Arca itu kemudian ditempatkan di asrama pamujaan. Tiap hari tak lupa memuja leluhur. Seperti juga Ekalawya berguru pada patung Bhagawan Drona. Drona menolak permohonan anak sudra ini. Ekalawya lalu masuk hutan, membuat patung Drona. Pada patung inilah ia membayangkan gurunya, mengajarkan ilmu memanah, sampai ia mahir melampaui kemampuan Arjuna, murid Drona paling cerdas.
Begitulah Dwala, seperti juga Ekalawya selalu memuja lingga leluhurnya sebagai guru. Saking taatnya, ia kemudian dianugerahi Pustaka Bang, ilmu yang menjabarkan perihal kebahagiaan hidup dan mati, membabar hakikat Brahman yang tunggal. Dwala jadi mengerti hakikat hidup dan mati. Dia resapi bagaimana hidup dengan benar, paham bagaimana meniada dengan sempurna. Dengan Pustaka Bang itu, Brahmana Dwala memahami asta gina, menunaikan darma sebagaimana petunjuk Bhagawan Wiswakarma, arsitek surga yang masyur.
Sebagai perumah tangga, Brahmana Dwala dikaruniai dua putra. Yang sulung bernama Arya Pande Bratan dan si bungsu bernama Arya Pande Sadhaka. Mereka hidup rukun, mendalami sastra, hidup dalam kesucian. Matang dalam yoga samadhi. Saat itu yang berkuasa di Bali Dalem Waturenggong, di Gelgel. Dibantu mentri-mentri yang cakap: Kyayi Anglurah Agung Widhya, Kyayi Anglurah Dauh Bale Agung yang ahli dalam sastra. Pulina Bali benar-benar berada dalam puncak kedamaian, rakyat sejahtera, murah sandang pangan. Raja pun bahagia. Bukankah upah paling utama seorang pemimpin saat hidup rakyatnya bahagia?
Suatu hari Dalem Waturenggong hendak menggelar upacara besar Eka Dasa Rudra di Pura Besakih atas nasihat bhagawanta kerajaan Dang Hyang Nirartha. Orang suci ini adalah guru agama Dalem Waturenggong, yang kerap kebesaran jiwa dan kesuciaannya dianggap penjelmaan Bhatara Pitamaha. Pada wiku kawi ini Dalem Waturenggong menyerahkan tanggung jawab, diangkat sebagai wiku manggala, memimpin semua undagi, sangging Prabangkara, pande besi, bujangga serta wiku tapini.
Sayang saat persiapan upacara yang digelar setiap seratus tahun itu, tak ditemukan pande mas dan perak yang mumpuni di Bali. Bila pun ada Pande Tusan dan Pande Tatasan, sama sekali mereka belum pernah mengerjakan emas dan perak, apalagi membuat saji widhi-widhana, perhiasaan pralingga Bhatara. Dan persiapan upacara besar ini pun menemui sedikit kesulitan.
Terdengar berita dari Candi Kuning, seorang bernama Arya Pande Mulung baru datang dari Madura. Dia anak Mpu Brahmana Dwala tengah melakukan tapa di Gunung Bratan. Setelah menjalani kehidupan suci ia diberi nama Mpu Sadhaka, ahli sastra dan masyur dalam “ilmu kepandean”, cakap membuat perhiasan emas dan perak, terampil mengasah batu-batu permata.
Pendeknya, Mpu Sadhaka adalah seorang ahli citrakara, seorang diwa-rupa yang telah membadankan cahaya dewa-dewa, menggambarkan apa saja niasa Tuhan yang beraneka itu, tetapi tetap tunggal adanya.
Dalem Waturenggong segera mengutus orang suci ini. Utusan didatangkan untuk menjemput Mpu Sadhaka ke Gunung Bratan. Bukit-bukit rendah, kabut tipis, pohon-pohon hijau mengitari Asrama Bratan. Berjajar pohon kelapa gading disela tanaman palawija, asrama dipagari pokok-pokok kayu mas terlihat asri. Pohon dagdag sedang merimbun hijau, bunga sarikonta tengah dirubung kumbang. Bunga jangga melambai-lambai diterpa angin. Terlihat barak besar tempat membuat senjata, alat-alat bertani, keris dan tombak pesanan para ksatria.
Utusan bernama Ki Rampih dan Ki Manua akhirnya sampai di asrama. Terlihat Mpu Sadhaka tengah berbincang dengan para pamande, tengah menjelaskan tata cara membuat keris sesuai ilmu pagandringan.
Dua utusan pembesar Gelgel merunduk hormat dihadapan Mpu Sadhaka. “Duli paduka Mpu, hamba utusan Dalem Waturenggong. Beliau berkenan, supaya Paduka Mpu datang ke kerajaan. Ada hal penting yang hendak dibicarakan Dalem kehadapan Paduka Mpu. Sudi Paduka Mpu mengindahkan permohonan Dalem.”
Tak diceritakan perjalanan utusan. Menaiki kuda putih, ketampanan yang sempurna, Mpu Sadhaka sampai akhirnya di istana Gelgel. Terlihat istana amat ramai. Kraton megah meniru gaya kraton Jawa. Para undagi, pande besi, para tapini bekerja amat suntuk. Hasil kerjanya indah mengagumkan.
Tiba di paseban agung, Mpu Sadhaka menghaturkan hormat kehadapan Dalem. Raja tersenyum ramah, menyambut dengan hati riang kedatangan Mpu Sadhaka. Para abdi menghaturkan sirih dan air pencuci kaki.
“Mari Paduka Mpu, silakan duduk, saya gembira Mpu bisa datang. Jangan canggung Sri Mpu, ini istana paduka. Istana ini mendapat berkat atas kedatangan paduka Mpu. Saya bahagia. Saya mendengar kabar, paduka Mpu adalah turunan Brahmana Pandya Bhumi Sakti, pendeta masyur asal Madura.”
“Ya tuanku Raja, kakek buyut saya brahmana dari Madura. Asrama beliau bernama Kayu Manis. Ayah saya Mpu Brahmana Dwala. Apa gerangan titah tuanku yang bisa saya kerjakan? Mohon titahkan !”
“Begini paduka Mpu, kami hendak menggelar upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Upacara yang digelar setiap seratus tahun sekali. Ini upacara amat penting. Kita berharap pulau ini senantiasa memberi kesejahteraan bagi semua. Saya mohon paduka Mpu membatu pekerjaan kami. Buatkan kami upakara yang dipentingkan untuk itu, terutama perhiasan dari emas dan perak untuk pralingga Bhatara-Bhatari di Besakih.
“Baik paduka raja. Sesuai sasana kepandean yang saya ketahui, saya coba melakukannya dengan baik,. Terima kasih Dalem telah mempercayakan ini pada saya.”
Raja memberi tempat kerja khusus Mpu Sadhaka. Diserahkan gelontongan-gelontongan emas dan perak. Sesudah semua siap, sang Mpu menyatukan yoga, mengatur panca-bayu, menghidupkan panca nala, lima api dalam tubuh. Tiba-tiba api keluar dari tapak tangan sang Mpu, lalu bekerja dalam yoga yang sangat ketat.
Semua pada khusuk. Pande besi dan Mpu Bangkara pada mengeluarkan kekuatan batin masing-masing. Para undagi bekerja dengan teliti, semua menjalankan sasana masing-masing, sesuai ajaran analatatwa. Yang dimaksud ajaran analatatwa, tiada lain adalah ajaran Sang Anala, seorang arsitek, abdi setia Sri Rama. Dia arsitek pendiri jembatan laut: Situbanda, yang menghubungkan Ayodya dengan Alengkapura.
Sang Anala menurunkan banyak generasi. Di antaranya; Mpu Swarnangkara, Mpu Kapandyan Wasi, Mpu Sangging Prabangkara, Mpu Darmalaksana, bergelar Mpu Darmaja. Semua orang suci ini disebut trah Anala Wangsa.
Berkat kesidhian Mpu Sadhaka, dan kesucian Dang Hyang Nirartha upacara Eka Dasa Rudra selesai dengan sempurna. Rakyat Bali hidup tenteram, alamnya subur. Hasil panen melimpah, dewa-dewa senang, wabah penyakit menjauh. Sebelum pulang ke asrama Gunung Bratan, Mpu Sadhaka menerima ucapan selamat rsi bojana, dibekali sejumlah uang emas, busana kependetaan, serta alat-alat “pemandean”.
Entah berapa lama Mpu Sadhaka tinggal di asrama Bratan. Berlahan-lahan asrama itu menjadi pusat pembelajaran para pande, mendalami sastra mempratikkan “darma kepandean”. Di asrama ini pula Mpu Sadhaka membesarkan anak-anaknya. Arya Danu, Arya Suradnya, Pande Tusta, Pande Tonjok, dan yang bungsu bernama Ida Wana. Semua taat menjalankan “darma kepandean”. Mereka adalah para suci pemulia api.(den)
[Bersambung……]