POLITIK – kelirbali.com
oleh Demy – pembelajar politik. Hajatan Pemilu 2024 telah berakhir. Di daerah nyaris tanpa ada gejolak yang berarti. Suara Pilpres sudah terpampang jelas, begitu juga dengan suara para caleg yang lolos dan gagal duduk di kursi legislatif. Nah, ada pesta lain yang segera menanti. PILKADA.
Cerita formal penyelenggaraan pemilu ini di Jakarta tak begitu menarik bagi rakyat. Justru yang menarik adalah pesta di setiap kabupaten dengan ritmenya masing-masing. Usai Pilkada, hasilnya nanti bisa ditebak, pemenangnya nyaris tidak bisa berbuat apa-apa dalam meringankan beban rakyat kini yang semakin berat. Peserta pemilu layaknya “badut politik”, tebar pesona, tebar janji, setelah terpilih lalu tenggelam dalam rutinitas formal, resmikan, sambutan, hadiri, gunting pita atau kondangan. Nasib rakyat masih berjarak.
Kabupaten Karangasem posisi paling timur di Provinsi Bali sering menjadi korban paling kejam para badut politik ini setiap pemilu. Label daerah tertinggal dengan segala perspektif narasi kemiskinannya masih utuh sejak dulu sampai sekarang. Sehingga bisa disebut masalah purba yang dipelihara. Sampai muncul adagium bahwa Karangasem harus dibuat utuh sebagai daerah tertinggal, sehingga tidak menjadi pesaing daerah lain di Bali, macam Badung, Denpasar dan Gianyar. Masalah gepeng tak pernah tuntas, bahkan sekarang daerahnya pun menggantungkan harapan pada BKK dan bagi hasil PHR Badung. Tidak jauh dari peran gepeng.
Jelang Pilkada Serentak 2024, badut-badut politik ini akan bermunculan lagi. Meski berbekal wawasan dan ilmu politik yang pas-pasan, namun dengan bekal logistik dari hasil galian C, hibah, Bansos/Hibah, BKK Badung dan Provinsi, mereka tetap pede untuk tampil.
Sebut saja Gede Dana sebagai petahana, diprediksi akan mendapatkan perlawanan sengit dari poros-poros politik lama dan baru. Misalnya dari Poros ABM (Geredeg Center) sudah terendus satu nama, I Nengah Sumardi.
Dari poros GMT memunculkan salah satu trahnya; Gusti Putu Parwata. Satu lagi poros penantang, adalah poros Gerindra yang berpeluang membangun koalisi dengan partai lain, dengan mengusung sang ketua di Karangasem I Nyoman Suyasa.
Momentum terpilihnya Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai Presiden RI terpilih dalam Pilpres 2024, di personifikasi akan menguatkan peluang para kadernya di seluruh daerah untuk menjadi pemimpin kepala daerah di masing-masing daerah, termasuk di Bali. Tidak juga menutup kemungkinan dinamisnya perkembangan politik akan memaksa nama-nama yang muncul ini akan membentuk koalisi.
Dinamika politik masih sangat memungkinkan memunculkan berbagai opsi keputusan politik. Menarik untuk ditunggu apakah Suyasa punya nyali untuk menyambung visi besar Prabowo mewujudkan Indonesia Emas di daerah, membangun daerah dengan masalah purba nya. Atau Suyasa konsisten dengan pakemnya ; pragmatis. Hanya sekadar cawe-cawe saja dalam Pilkada kali ini.
Dua nama lainnya, Sumardi dan Gusti Parwata sangat erat kaitannya dengan percaturan politik Partai Golkar di Karangasem. Sumardi akan didorong terus oleh keluarga besar Geredeg Center untuk melanjutkan legacy yang cukup positif dari kakaknya I Wayan Geredeg sewaktu menjadi Bupati Karangasem dua periode.
Namun perjalanannya tidak akan mudah, karena antitesis dari kubu ini pada bagian Golkar lain akan mendorong Gusti Parwata. Kondisi politik saat ini dengan kenyataan Wayan Geredeg gagal lolos ke DPD RI dan Ketua DPD I Golkar Bali Sugawa Korry gagal dalam persaingan menuju DPR RI, membuat peluang Sumardi tambah redup. Kalau menimbang kemampuan memimpin, jelas Sumardi unggul dari segala perspektif. Terutama secara personal sebagai pemimpin yang low profile maupun pengalaman dan karakter sikap politiknya yang sangat Golkar Tulen : karya-kekaryaan.
Tetapi bukan Golkar namanya kalau menjelang Pilkada tanpa adanya pertarungan sengit dari bawah, dimana setiap percaturannya selalu membuat penikmat politiknya belajar dalam menerapkan strategi politik. Gusti Parwata dianggap figur yang sepadan untuk terus didorong oleh kelompok antitesis Geredeg di Karangasem di bawah kontrol Gede Sumarjaya Linggih alias Demer.
Ini bukan ikhwal kemampuan memimpin, tetapi soal logistik sebagai senjata utama politik pragmatis saat ini. Gusti Parwata secara tidak langsung diperankan sebagai badut politik, ideal yang sangat mudah dimainkan oleh kelompok politisi anti-Geredeg. Mereka ini bergerak senyap untuk semata-mata mengejar cuan dan mengisi ego politiknya sebagai kader Partai Pohon Beringin anti-Geredeg menjelang Pilkada. Karena poros GMT sebagai pemain baru dari pengusaha ke politik, sangat boros dan longgar kalau berkaitan dengan urusan logistik politik. Sedangkan Golkar sendiri secara tidak langsung dalam Pilkada selalu memainkan jurus andalan; jualan rekomendasi. Asalkan tujuannya tercapai.
Melihat Gusti Parwata yang masih ‘anak ingusan’ di dunia politik, tentu membutuhkan modal yang berlebih untuk memolesnya lewat propaganda Medsos, media massa dan rekomendasi partai politik. Demikian juga dengan urusan kerja-kerja politik. Dengan kualifikasi seakan-akan layak, sungguh amat berat memikirkan peluang seorang Gusti Putu Parwata untuk bermimpi menjadi Bupati Karangasem.
Pertama, dia mewarisi legacy yang buruk dari jejak digital mantan Bupati Karangasem Gusti Ayu Mas Sumatri sebagai ibu tirinya. Hal ini terlihat saat tim kerja pemenangan Mas Sumatri sebagai Bupati Karangasem bubar seiring konflik kepentingan dan lemahnya screening GMT dalam menerima informasi politik, sehingga mudah di adu domba.
Kedua, dia harus berhadapan dengan incumbent Bupati Karangasem Gede Dana, dimana secara struktur partai sangat militan hingga ke tingkat ranting. Meski langkah Gede Dana dalam Pilkada Karangasem kali ini harus diakui sama berat, menyusul tensi tinggi di internal PDIP pasca kalah Pilpres, yang menimbulkan ketidakpastian agenda pemenangan pemilu selanjutnya.
Ketiga, dia juga dihadapkan pada poros Gerindra yang kini memegang momentum kekuasaan tertinggi di republik ini. Kalau tetap ngotot dengan melihat peluang pragmatisme pemilih sebagai kunci untuk menang, maka GMT harus siap dengan logistik politik yang besar.
Lalu apakah Gusti Parwata dimunculkan oleh militan politik pada saat yang tepat? Atau akan menjadi samsak di hadapan dua poros besar, Golkar dan PDIP. Politik itu kejam, karena tidak cukup berbekal otak-otot dan ongkos, karena dibelakangnya ada Sakuni politik yang memanfaatkan kesempatan.(den)