Rumpi Wayang – Kelirbali.com
Redaksi kelirbali – Perupa I Wayan ‘Apel’ Hendrawan asal Sanur membukukan perjalanan hidup dengan buku; 50 Years, a Journey. Apel Hendrawan. Di hadapan awak media, Apel Hendrawan menyebut perjalanan hidupnya penuh kegetiran. Bahwa dirinya pernah dirawat di RSJ Bangli atas kelakuannya yang scizoprenia yang di alami. Dalam ruang seperti tahanan di RSJ Bangli ini, Apel Hendrawan bertemu dengan jiwanya, bahwa garis hidupnya adalah seorang perupa sekaligus sebagai ‘pemangku’ di lingkungan keluarga.
Perupa Apel Hendrawan saat ngopi pagi di studia tattoo miliknya
Peluncuran buku sekaligus pameran kekaryaannya akan dilaksanakan Rabu, 22 Mei 2025 di Galery Titik Dua, Peliatan, Ubud sampai 11 Juni mendatang. Dari tangan penulis yang sudah tersohor di Bali, I Wayan Westa, Arif Bagus Prasetyo, Richard Hortsman dan Dian Dewi Reich mampu menggali aspek kehidupan dan masa-masa kekaryaan Apel Hendrawan. Dalam pengantarnya sebagai penulis buku menyebutkan Apel Hendrawan sebagai pelukis, hadir dengan sejumlah masalah. “Pelukis otodidak dan berkali-kali melukis sebagai perjalanan proses kreatif. Apel Hendrawan mampu melukiskan hantu-hantu yang ada dalam dirinya, sebagai jawaban atas kegelisahan jiwanya,” beber Wayan Westa.
Wayan Westa juga tidak memungkiri, buku yang hadir di khalayak pembaca bukan lagi sebagai buku individu, melainkan sebagai catatan kebudayaan. Mengingat proses kreatif yang dijalani Apel Hendrawan nampak tidak lazim dibanding proses kreatif perupa lain. Wayan Westa juga menyebutkan perupa Apel adalah sosok yang unik, sekali pun dalam gejolak jiwanya yang disebut sebagai tidak waras, namun memiliki sisi kemanusian. “Proses kreatif Apel Hendrawan dalam berkarya adalah melawan jiwanya sendiri, kawah-kawah di dalam dirinya dieksploitasi, sehingga lahir karya yang memukau,” tambah Westa.
Arif Bagus Prasetyo membeber bahwa kekaryaan Apel Hendrawan sebagai bagian dari warga asli Sanur yang berhadapan dengan arus besar kehidupan, mampu menggali Spirit Sanur. Bagus Prasetyo juga mengungkapkan Sanur tidak saja dilihat dari aspek spiritualitas, di dalamnya juga ada kesenian dan pariwisata. “Kekaryaan Apel Hendrawan nampaknya mampu menggali akar spiritualitas di tengah hiruk pikuk derasnya pariwisata,” jelas Bagus Prasetyo. Dijelaskan lagi, sekali pun dalam karyanya bertemakan alam atau gunung, menampak pula makna spiritual.
Apel Hendrawan yang berani membukukan dirinya plus menampilkan karya-karyanya menyebut saat ini arus kesadarannya terus berproses. “Saya sendiri tidak memaknai berkarya sebagai proses kesadaran, pada saat berkarya saya menemukan banyak fase kesadaran. Saya berangkat dari kegelisahan panjang yang tidak mampu saya jelaskan, saat melukis semua saya tuangkan dalam karya,” ujar Apel Hendrawan. Secara tidak langsung, Apel Hendrawan menyebut saat berkarya itu adalah proses penyadaran yang sesungguhnya dan pada saat berada di tengah-tengah keluarga dalam keadaan normal, pada saat sebagai pemangku dijalani dengan baik, maka itu adalah kesadaran yang sesungguhnya.(Den)