ESAI – kelirbali.com
oleh Hamid Basyaib nalarsehat. Saya sedang duduk-duduk rileks sambil menikmati suasana pagi, ketika seseorang memanggil nama saya. Rasanya saya kenal pria berkumis itu, yang ternyata memanggil saya untuk mengajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.
Saya penuhi ajakannya, dan saya kecewa. Sangat kecewa. Ternyata madu yang dijanjikannya adalah racun yang pahit.
Saya diajaknya masuk-keluar gang becek, melewati para preman di sudut-sudut pasar, lalu naik angkot sempit, turun untuk masuk ke gang-gang lain yang buntu, menyeberangi sungai besar dengan perahu, lanjut dengan jalan kaki lagi di jalan setapak, terus naik mobil omprengan.
Badan saya sudah lengket dengan keringat. Dan dalam keadaan lapar karena tak pernah diajaknya masuk ke restoran, saya diturunkan begitu saja di tengah jalan—saya bahkan tidak diantarkan kembali ke rumah saya dan tak diberi ongkos pulang. Saya benar-benar nelangsa; batin saya hampa dan terombang-ambing tak tentu arah.
Maka saya berencana mengirimkan somasi kepada dia, dan kalau dua kali somasi saya tak digubris, saya akan mendatangi kantor Yanmas (Pelayanan Masyarakat) di Polda Metro Jaya. Orang itu telah membuat saya jengkel, menderita, dan putus asa.
Dalam gugatan nanti, saya juga akan mengajukan tuntutan ganti-rugi imateriel, yang jumlahnya harus saya rundingkan dulu dengan lawyer. Nanti akan jelas berapa ganti rugi yang saya minta untuk hati yang nelangsa. Berapa pula untuk batin yang hampa dan terombang-ambing—ini bisa ditetapkan harganya secara terpisah; berapa untuk hampa, berapa pula untuk terombang-ambing.
Begitulah gambaran yang bisa saya bayangkan setelah membaca tulisan panjang Fitzgerald Kennedy Sitorus di Facebook. Judulnya panjang: “Tentang Garis Demarkasi Antara Sains dan Filsafat dan Kematian Metafisika“. Di situ ia menyebut nama saya dan merumuskan sikap saya sebagai “berada pada posisi yang mengagungkan sains dan menganggap agama dan filsafat tidak relevan lagi”.
Inti tulisannya, yang di sana-sini ditaburi peristilahan Jerman (bukan Inggris, yang pasaran), sebetulnya hanya di beberapa kalimat di bagian akhir.
Begini bunyinya: “Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan kelemahan, justru keterbatasan itu kekuatan sains. Dengan keterbatasan itu sains dapat melakukan penelitian yang sedemikian mendalam pada objek tertentu sehingga dengan demikian kita memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai objek tersebut.”
Apa boleh buat, rumusannya memang seperti itu. Saya membacanya dari kiri ke kanan sebagaimana layaknya untuk pembacaan bahasa Indonesia; dan ketika saya baca dari kanan ke kiri seperti dalam bahasa Arab, maknanya tidak berubah.
Jadi, terbatas itu kuat, bukan lemah. Orang yang ceking dan jalannya sempoyongan adalah atlet angkat besi yang potensial; bisa juga jadi petinju seperti Ariel Noah, eh Mike Tyson.
Keterbatasan itu, kemudian disebutnya “pembatasan diri”, bukan hanya terjadi pada sains. “Pada filsafat juga itu terjadi,” katanya, mantap.
Jadi, berarti sains dan filsafat sama-sama terbatas dan karena itu sama-sama kuat? Sitorus tidak menyimpulkan apakah dengan kesamaan itu sains dan filsafat akan seri (draw) jika bertarung.
Kelanjutannya bukan penyimpulan, tapi wejangan yang mengejutkan: “Karena itu, menurut saya, sikap yang mengagungkan bidang sendiri tidak akan membawa kita ke mana-mana,” tulisnya. Kalau saja ia tak menegaskan “menurut saya” itu, mungkin saya bisa menduga itu ucapan orang lain. Dan saya tidak mengerti maksud “mengagungkan bidang sendiri” itu; sebab saya bukan ilmuwan. Saya bahkan nggak punya bidang.
“Uraian saya di atas (maksudnya pemaparannya yang panjang sekali—red) juga bukanlah sebuah pengagungan filsafat. Itu adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan garis demarkasi, tugas serta fungsi kedua disiplin ilmu tersebut.”
Selalu ada yang baru dalam proposisi Sitorus. Tupoksi ilmu dan filsafat, sebagai “kedua disiplin ilmu”, ternyata berbeda, jadi harus ditarik demarkasi. Tapi tiba-tiba lanjutannya: “Saintisme, sebagaimana diusahakan oleh Lingkaran Wina, adalah buah dari kebanggaan berlebihan terhadap sains. Saintisme sama dengan naturalisme, menganggap manusia semata-mata sama dengan realitas fisik, seperti batu atau pohon. Karena itu saintisme adalah fundamentalisme sains. Saintisme adalah dehumanisasi. Saintisme adalah kedunguan.” Saintisme adalah… oh, kutukannya selesai di situ, rupanya.
Inilah yang disebut orang Jogja, “banter ning kleru”. Suaranya lantang sekali, tapi salah.
Pernyataan itu tidak bisa ditanggapi karena tidak memenuhi syarat minimal untuk dikomentari. Ia tetap salah, bahkan kalaupun saya komentari dengan taburan bahasa Jerman atau Thai.
Proposisinya sudah salah. Seolah sains hanya mengenai manusia. Bagaimana dengan fisika dan kimia beserta beratus-ratus cabang dan rantingnya? Fisika itu mempelajari berbagai daya dan energi dan gelombang di alam semesta, bukan tentang manusia—meskipun ada “fisik” di situ. Kimia juga mempelajari beraneka ragam zat, termasuk untuk membuat pestisida, cat tembok, dan pewarna kain.
Tuduhan Sitorus tentang “kedunguan saintisme” dan berbagai variannya itu, selain usang dan kini tinggal hanya jadi hafalan para evangelis Amerika (seiring penentangan mereka yang kesumat terhadap teori evolusi), saya anggap merupakan benteng terakhir bagi kubu anti-sains untuk membendung laju sains yang unstoppable. Dalam kelangkaan argumen, karena stoknya sudah habis—kalaupun pernah ada—tudingan adalah tameng kecil yang tersisa, walaupun niscaya sia-sia.
Dan Sitorus telah bertindak curang atau setidak-tidaknya sengaja bersikap timpang dalam membahas perkara. Meski mengakui bahwa sains dan filsafat sama-sama terbatas dan dengan demikian sama-sama kuat (maafkan pengulangan oxymoron ini), ia tak sedikit pun menyebut “filsafatisme” sebagai padanan dari “saintisme” yang dituduhkannya dengan berkobar-kobar.
Akhirnya, terhadap tandasnya stempel-stempel “dehumanisasi, dungu” dan sejenisnya itu, saya hanya sanggup menghibur diri dengan mengenang Ivan Turgenev, sastrawan Rusia itu. Dalam surat kepada sahabatnya, ia menulis: “Mereka yang melekatkan diri pada sistem yang sedang berlaku, tidak sadar bahwa mereka sedang memegang ekor cicak, dan tak tahu bahwa cicaknya sudah pergi seraya menumbuhkan ekor baru.”
Cicak sains sudah pergi jauh, jauh sekali, sambil menumbuhkan ekor baru yang sangat besar dan bermanfaat. Sahabat saya, Fitzgerald Kennedy Sitorus namanya, terus menggenggam ekor filsafat.
Tapi perjalanan dengan dia cukup menyenangkan, ternyata. Karena itu pasti saya tidak perlu mensomasinya, meskipun senam ini sedang musim seperti Senam Orhiba, apalagi melaporkannya ke Polda.Sitorus telah melakukan perbuatan menyenangkan terhadap saya. Bukan tak menyenangkan.(den)