SENTIL DALANG – kelirbali.com
oleh Gita-pembelajar politik. Pilpres 2024 telah berlalu dan diskusi rakyat seputar Pilpres belum juga redup. Bagi Bali merupakan sebuah pukulan telak. Kemenangan yang digadang-gadang 95% ambruk dibawah 50%. Dominan masyarakat masih tidak percaya merosotnya perolehan suara PDIP dalam Pilpres.
Seluruh channel televisi berita dan akun channel YouTube tidak henti-hentinya membahas berbaliknya situasi politik di Bali. Hasil pilpres 2024 di Bali, sebagai gong peringatan serius bagi PDIP untuk berbenah. Lalu apakah partai yang berlambang sapi bertanduk ini akan bersih-bersih? Atau mengevaluasi kader yang bekerja hanya untuk dirinya sendiri.
Entah apa yang kurang dari kekuatan PDIP di Bali. Delapan dari sembilan bupati/walikota di Bali, adalah kader PDIP. Gubernur juga kader PDIP, belum lagi Ketua DPRD Provinsi/Kabupaten semua PDIP. Garis organisasi hingga ke tingkat ranting paling jelas. Massanya sangat militan. Politik anggaran disiapkan menghadapi pemilu. Besaran hibah diatur gila-gilaan dalam setiap APBD. Penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu diatur, empat dari lima komisionernya diduga berafiliasi PDIP. Bahkan diindikasikan tenaga KPPS di setiap TPS pun disiapkan, dilatih, dan diajari cara untuk mendongkrak perolehan suara. Para bendesa adat dikandangkan di dalam MDA. Para ASN pun diintimidasi untuk linier dengan tujuan politik PDIP.
Berkaca dari strategi tersebut, sangat wajar kemudian Ketua DPD PDIP Bali, Wayan Koster, tidak ragu memasang target tinggi menang Pilpres 2024 sebesar 95 persen. Perintah DPP PDIP pun jelas, lewat Instruksi Bergerak Secara Masif Memenangkan Pemilu 2024. Wajib bergerak turun ke bawah secara masif melakukan kerja-kerja pemenangan. Wajib memenangkan PDIP dan Ganjar-Mahfud untuk Pilpres di setiap TPS. Khusus untuk para caleg perolehan suara di setiap dapil harus linier dengan perolehan suara untuk Ganjar-Mahfud.
Tetapi kekalahan itu tidak juga bisa dihindari. Kalah tipis pun semestinya tidak bisa ditolerir. Apalagi, kekalahan itu hampir merata di seluruh TPS. Bahkan di TPS Ketua DPC mencoblos sekalipun, seperti di TPS Ketua DPC PDIP Kabupaten Klungkung. Ini memalukan. Bahkan di TPS kader militan pun suara Pilpres kalah.
Berbagai pihak kemudian memberikan perspektifnya mengenai kekalahan ini. Mulai dari kuatnya pengaruh Jokowi di Bali, dugaan pengerahan aparat kepolisian dan TNI, misi politik dari pemerintah pusat kepada para penjabat kepala daerah, dugaan money politics, dan berbagai bentuk kebijakan pusat yang dinilai sebagai bentuk keberpihakan paslon 02 Prabowo-Gibran di Bali.
Meski perspektif itu sangat sulit diterima, apalagi dibuktikan. Karena faktanya upaya itu tidak memberi jaminan beralihnya basis massa tulen PDIP, untuk berbalik badan mendukung Prabowo-Gibran. Karena pengawasan di setiap TPS itu sangat berlapis. Ada Bawaslu, ada saksi-saksi dari masing-masing caleg dan partai hingga pengamanan dari pihak kepolisian.
Polarisasi dukungan untuk Pilpres dan Pileg tak mampu dicegah oleh seluruh perangkat pemenangan PDIP di Bali. Nyaris tak terasa militansi PDIP secara organisasi untuk serius memenangkan Ganjar-Mahfud. DNA PDIP sebagai kader petarung kian redup di Bali. Khusus para caleg mereka pun sibuk menyelamatkan diri masing-masing agar tetap bisa berkuasa.
Terbukti dengan perolehan suara dalam Pileg, justru memperlihatkan peningkatan suara signifikan hampir di seluruh Bali. Ini akan dapat dilihat dari naiknya jumlah perolehan kursi di setiap kabupaten, maupun keterwakilan kabupaten di tingkat provinsi. Ini bukanlah PDIP yang dikenal rakyat Bali, karena sudah terjadi anomali.
Jika ini dibiarkan tanpa ada sikap tegas dari DPP, maka PDIP ke depan akan semakin sulit untuk bersaing dengan partai lain. Apalagi untuk berperan, berkontribusi untuk agenda-agenda penting partai berikutnya di tingkat pusat. DPP PDIP dalam instruksinya sesungguhnya sudah membuat ultimatum, bagi caleg yang perolehan suaranya tidak linier dengan perolehan suara dalam Pilpres 2024, maka DPP akan mempertimbangkan caleg tersebut untuk tidak dilantik sebagai anggota dewan terpilih dalam pileg 2024. Ini tertera jelas dalam Instruksi DPP PDIP dengan nomor 5775/IN/DPP/XII/2023, kepada DPD dan DPC seluruh Indonesia, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, maupun terhadap seluruh caleg, tertanggal 16 Desember 2023.
Jika PDIP ingin mengembalikan eksistensinya di pulau dewata, maka sudah seyogyanya sanksi itu benar-benar diterapkan. Tidak hanya menjadi macan kertas, tetapi menjadi sebuah sistem organisasi pada partai terbesar se-Indonesia, yang benar-benar konkret. Penghakiman terhadap perangkat PDIP di Bali semestinya bisa dilakukan DPP untuk menjaga kehormatan partai, dari hasil minor dalam Pilpres. Pertanyaannya, masihkah DPP PDIP punya nyali untuk mengeksekusi aturan penting yang dibuatnya sendiri?, atau instruksi dan sanksi itu hanyalah omon-omon saja.(den)