SENTIL DALANG -kelirbali.com
Ketika Kabupaten Klungkung mendapat anugerah Meritokrasi dari Komisi ASN, tidak banyak pejabat publik di Klungkung senang, bangga atau pun menepuk dada. Tidak. Hanya beberapa saja, itu pun pejabat yang dimutasi setahun dua tahun terakhir.
Sekali pun demikian, tentu saja Komisi ASN memiliki standar penilaian tersendiri, agar anugerah bisa diberikan, lembar penghargaan terpampang di dinding kantor Pemkab.
Hal ini nantinya, sekaligus menasbihkan pemimpinnya pula telah menjalankan good government, sebagai transparansi dalam hal pengisian jabatan. Penerima penghargaan juga berkata lantang, apa yang disebut sebagai transparansi, keterbukaan berhasil. Dan dampak ke depannya, saya akan mutasi lagi.
Namun, apakah seperti itu di Kabupaten Klungkung.
Sebelum melihat Klungkung, ada berbagai cerita. Dalam percakapan dengan pejabat negara setingkat Direktur Jenderal pada sebuah Kementerian, justru terdengar sangat miris dan ironi. Dikatakan dari 34 OPD di sebuah provinsi, hanya 6 OPD yang bisa kerja. Sisanya sampah dan hanya menyelesaikan administrasi rutin tahunan, semacam pengadaan ATK, menghadiri undangan (kunker), atau mendampingi Gubernur. Tataran OPD di provinsi itu mestinya adalah pejabat pemikir, penerjemah kebijakan pimpinan.
Percakapan berlanjut. Ada sebuah kabupaten di Bali yang sampai bolak-balik enam kali ke Kementerian tertentu untuk urusan proposal. “Anda bisa bayangkan, ada banyak kesalahan istilah, tidak bisa membedakan antara maksud dan tujuan. Kami terlalu sering menghadapi OPD macam ini,” ujar Dirjen ini suatu ketika. Dan seterusnya,, seterusnya.
Hanya saja terkait penghargaan, asumsinya adalah Komisi ASN hanya menerima laporan di atas kertas, bahwa tata cara perekrutan dari pendaftaran sampai pengumuman sudah sesuai SOP. Bukankah ini hanya dagelan di tas kertas, bahkan semacam Kertas Kebudayaan yang sudah lama dikritik dalam reformasi birokrasi.
Berikut salah satu cerita miris kertas budaya yang menyebabkan kerugian pada anak didik sekolah dasar. Hal ini didasari atas keinginan mendapat penyelenggaraan pendidikan dengan baik, yang istilahnya Merdeka Belajar. Oleh Kepala Dinas Pendidikan dan ditandatangani bupatinya, skema pendidikan dilaporkan sudah 100%. Mebelair dan sarana lain laporan 100%, tenaga pendidik 95% dan laporan lain yang diangka yang mendekati 100%.
Berselang enam bulan kemudian, oleh media ditulis bangku sekolah rusak 40%. Sarana pendidikan tidak memadai, toilet sekolah bau pesing. Maka, atas dasar pemberitaan tersebut Dinas Pendidikan lagi-lagi mengajukan proposal perbaikan sarana pendidikan.
Ketika proposal masuk, pejabat Sarpras membuka laporan yang sebelumnya. Ketawa ngikik, “Lhaa, pada laporan sebelumnya kau bilang ini sudah 100%, itu 95%, ini lagi udah 94%. Mana yang benar, laporan hari ini apa laporan 6 bulan lalu?” Pejabat Dinas Pendidikan tertunduk lesu, malu. Yang baru dimengerti bahwa laporan sebelumnya, Kebudayaan Kertas itu menjadi bumerang. Akhirnya, bantuan Sarpras gagal didapat.
Kembali lagi ke Kabupaten Klungkung. Pejabat DLH dan Pertanahan, misalnya. Sebelum menjadi Kepala DLH adalah Pejabat Humas. Pertanyaannya, sudah berapa rilis yang ia tulis, atau semacam apa rilis Humas yang ia buat.
Tentu ini menjadi pertanyaan mendasar. Dan ketika menjadi Pejabat DLH, persoalan sampah di Klungkung semakin tidak terkendali, sampah masih banyak. Bahkan Sistem TOSS dengan penghargaan nasional pula, tidak lebih hanya untuk Kebudayaan Kertas, agar mendapat penghargaan. Dimana pengelolaannya hanya satu titik, sedangkan masih ada tiga TPA yang sampahnya kian hari kian menggunung.
Pun misalnya pejabat Dinas Pertanian. Dengan bangganya membuat program Bima Juara, yang artinya gabah petani dibeli murah dijual mahal. Lalu, kondisi lapangan banyak pemilik penyosohan gabah yang sepi order. Bahkan ceritanya, gabah dibeli tengkulak, berasnya didatangkan dari Jawa, lalu dikemas di Bali. Ini ironi lain, ketika program mendapat penghargaan, lalu fakta lapangannya mendekati titik nol.
Masih banyak kepala dinas yang ceritanya mirip seperti di atas. Banyak. Programnya aduhai mantap, namun realisasinya kosong melompong. Bisa dilihat misalnya, Program Klungkung Mesadu, Program Nusa Penida Festival dan di dinas lain.
Semuanya buruk, tidak juga. Kadisdukcapil prestasinya luar biasa, namun karena sentimen pribadi, Kadisdukcapil digeser jadi Staf Ahli. Meritokrasi?
Sisi lain lagi, bagaimana seorang Sekda memimpin rapat, bila staf ahlinya adalah pejabat senior yang pangkatnya dua tingkat di atasnya. Sedangkan kemampuan orasi, kemampuan manajemen juga diragukan, karena sebelumnya sebagai Kepala Bappeda meninggalkan banyak persoalan di APBD Perubahan 2023, seperti APBD Perubahan Minus.
Toh, pada akhirnya yang menjadi acuan adalah laporan di atas kertas, sesuai standar SOP, melanggengkan Kebudayaan di Atas Kertas. Perlu kiranya, ditelusuri motif mendasar adanya pelaksanaan mutasi pejabat. Nah bila pula dicermati lagi oleh Komisi ASN, bisa saja Klungkung adalah kabupaten yang paling rajin menggelar mutasi. Apakah rajin memutasi pejabat sebagai penilaian? Sehingga di media sosial lebih sering terdengar Mutasi Tiada Henti, ketimbang gerakan masyarakat santun dan inovasi (Gema Santi).
Harapannya, agar pula Meritokrasi pula tidak menjadi Kebudayaan di Atas Kertas.(den)
(foto: diambil dari FB humas dan protokol Klungkung)