Pemilu dalam Narasi Nalar Liar dan Sandera Hibah/Bansos

Facebook
Twitter
WhatsApp

SENTIL DALANG – kelirbali.com

oleh Denara, penulis jalanan. Sejauh mana publik mendapatkan informasi berkait Visi dan Misi para Capres. Sependek penglihatan di jalan, tidak ada satu pun Visi dan Misi Capres dari nomor urut 1, 2 dan 3 bertebar di jalanan. Tidak ada. Padahal, masyarakat Indonesia tahu betul, lewat Visi dan Misi itulah negara dibangun oleh pemenang.

Yang bertebar di jalanan adalah para Caleg yang di atas gambar Caleg ada foto Capres. Pun kalimat yang tersaji tidak menggugah untuk dipilih, sehingga pantas disebut baliho itu sampah jalanan. Kondisi ini tidak berubah dari Pemilu sebelumnya, yang bahkan baliho atau alat peraga kampanye (APK) lebih banyak bertebaran di kota-kota. Setiap pertigaan dan perempatan dipastikan terdapat baliho. Hanya saja tidak menggugah dan narasinya kering.

Untuk Capres, masyarakat/publik sesungguhnya sudah menentukan pilihannya saat nama-nama Bacapres muncul di permukaan. Hal ini bisa disebut sebagai fanatisme demokrasi, walau dia sudah berpartai atau belum. Yang seakan, tanpa Visi-Misi disebar pun, pilihan sudah diberikan. Tentu juga masih ada masa mengambang dan masa yang mudah digiring.

Seperti kata Habermas, sesungguhnya ruang publik politis itu adalah ruang yang lemah. Sesungguhnya Demokrasi itu pada dasarnya menawarkan siklus komunikasi di antara para warga negara. Dengan kata lain, ruang-ruang penalaran tersebut dibuka seluasnya yang akhirnya disebut sebagai republik penalaran. Nalar apa yang ditawarkan? Tentu tujuan bersama ke depan dengan sebuah Visi dan Misi. Visi – Misi inilah semestinya sebagai ruang nalar, ruang adu argumen.

Yang terjadi saat ini, setiap wacana politisi dari gerbong Capres terpapar di muka publik. Wacana yang paling celaka adalah menelanjangi hak pribadi keluarga Capres. Yang model ini sesungguhnya sudah semestinya ditinggalkan. Sangat jarang wacana yang relevan yang tampil ke publik untuk diuji masyarakat. Tidak jarang pula, tim Capres membongkar-bongkar masa lalu Capres. Untuk apa? Karena bila wacana itu adalah barang jualan, maka siapa yang tidak punya aib masa lalu di dunia ini.

Opini liar ini juga tidak mampu disaring oleh media. Media juga ikut andil yang besar membiarkan opini liar menjadi bahan konsumsi berita, hanya untuk sekadar viral, jutaan like dan komen. Menampak pula, masih rendahnya netralitas prosedur atas opini publik.

Karena dipahami struktur komunikasi publik masih lemah, maka jualan opini liar dan cenderung anarkis inilah yang masuk ke benak publik. Publik dengan mudah saja mengakses opini liar tersebut dan tidak bisa diatur melalui prosedur apa pun. Sehingga, ruang publik adalah tempat yang baik untuk komunikasi manipulatif dengan memanfaatkan komunikasi tanpa batas. Maka nalar menjadi liar dan elemen anarkis menemukan jalannya. Sekali pun opini-opini yang tampil ke permukaan adalah hal nyata, namun hal inilah yang menstrukturisasi proses komunikasi.

Ruang narasi liar yang dilempar ke publik akhirnya menjadi interaksi bujukan. Pada akhirnya, ruang publik mengandung potensi kekuasaan yang berujung pada pemaksaan kehendak. Ruang-ruang narasi publik yang kosong ini dimanfaatkan sebagai kekuasaan sosial.
Pengaruh politis publisistis ini mesti melewati saringan prosedur teristitusi dan tanpa menghalangi kebebasan berpendapat, sehingga kekuasaan komunikatif dapat menjadi sebuah pendirian yang melegitimasi. Paling tidak, keputusan opini atau nalar politis ketika sampai pada publik telah diuji dari sudut pandang universal.

Kini, publik sudah terpapar opini politis liar. Beruntungnya, salah satu pasangan Capres-Cawapres melawan dalam bentuk senyum dan joged. Bisa jadi, mereka sudah menduga, bahwa narasi liar akan berkembang sedemikian masifnya, sehingga jawabannya adalah; senyum atau dijogetin.

Narasi nalar sehat di atas juga tidak bisa berkembang dengan baik, bila publik dicemari dengan bantuan bansos/hibah. Pilihan publik tersandera sebelum proses narasi nalar sehat dihadirkan. Atas dasar rupiah yang ditawarkan untuk perbaikan sesuatu, maka sebaik apa pun narasi nalar ini dikumandangkan, dia akan gagal. Atau dengan kata lain, sebaik-baik program yang ditawarkan, maka siapa pemegang dana bansos/hibah dialah pemenangnya.

Masyarakat yang telah tersandera ini akhirnya hanya bisa ikut dalam narasi liar dan ikut meliarkan wacana publik yang ada. Masyarakat yang sedang memahami demokrasi maka akan menjadi antitesa terhadap kucuran bansos ini. Model seperti inilah yang sesungguhnya membunuh demokrasi, secara tidak langsung masyarakat terkotak-kotak karena bansos, bukan atas dasar pilihan nalar politik yang sehat.

Tenang, tenang, dana hibah/bansos masih banyak kok,, (den)

foto diambil dari mangarainews

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…