ESAI – kelirbali.com
oleh Demy, pembelajar politik. Perseteruan menjelang masa Kampanye Pilpres antar pesaing terus semakin meruncing. Isu yang digoreng berkutat pada Gibran yang tiba-tiba saja bernaung di Beringin (Golkar), kasus MK dan pengkhianatan Jokowi sebagai petugas partai balik arah mendukung seteru Pilpres 2019.
Upaya menjegal Gibran menjadi Cawapresnya Prabowo diupayakan goal. Hanya saja, Mahfud MD sendiri menyebut keputusan MK mengikat dan tidak bisa diubah. Selain MK yang sedang digoyang, KPU juga terkena imbas, dituntut Rp 1 T karena tidak merevisi UU KPU.
Menjadi agak aneh, bila hanya menghadapi dua anak ingusan, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Kekalapan yang terjadi semakin menjadi-jadi, partai yang semula digadang-gadang sebagai partai kharismatik, Marhaenis dan julukan lain, semakin jauh dari marwahnya.
Dalam logika awam, partai pemenang Pemilu pada periode sebelumnya, kenapa mesti gagap dan tidak siap menghadapi dinamika baru yang berkembang. Menampak pondasi yang dibangun rumah merah tidak kokoh dan isinya masih sama seperti periode sebelumnya, euforia masa, Merahkan!
Ketika dua anak muda dari satu ayah, Gibran dan Kaesang naik ke atas panggung, mencuri podium, semua menjadi gagap. Apakah kubu ini gagal membaca tanda atau gagal maping 2024 apalagi maping 2028. Di sisi lain, kubu Gerindra, Demokrat apalagi Golkar sudah menyiapkan langkah, plan A, B, C bahkan untuk tahun 2028 dan bisa mungkin di Tahun 2045.
Jauh sebelum Ganjar dicalonkan, Kepak Kebhinekaan sudah dicoba. Balihonya besar-besar. Bahkan ada kalimat majas, “Siap Teruskan Jokowi”. Upaya mengusung menjadikan calon presiden gagal, tidak menorehkan hasil. Kepak sayap Kebhinekaan ini gagal, gagal terbang tinggi dan justru elektabilitasnya terpuruk. Perlahan diam-diam baliho ini turun dan muncullah nama Ganjar. Ganjar pun memulai safarinya, dari ke Sumatera, keliling Jawa, Bali bahkan NTB termasuk wilayah lain.
Guna melihat perolehan suara pada Pemilu sebelumnya, ada beberapa data pembanding.
Mulai dari Tahun 2004, pemenangnya Golkar, PDIP no. 2 dengan 21 juta suara. Selanjutnya di Tahun 2009, Demokrat leading, PDIP turun ke no. 3 dengan 14 juta suara.
Pemilu Tahun 2014, PDIP dalam Pileg dengan 24 juta lebih suara, sedangkan Jokowi di Pilpres dengan 71 juta suara. Yang artinya, Jokowi memeroleh kemenangan hanya ditopang 24 juta suara PDIP.
Pemilu Tahun 2019, PDIP sebagai partai pemenang Pemilu dengan raihan suara sebanyak 27 juta suara. Sedangkan Jokowi sebagai pemenang Pilpres mengantongi jumlah suara sebesar 86 juta suara. Juga seperti Pemilu sebelumnya, Jokowi menang hanya ditopang sekitar sepertiga suara PDIP.
Sehingga bila melihat perolehan suara PDIP, suara PDIP di Tahun 2014 naik 71,4% dari 14 juta ke 24 juta. Di Pemilu 2019, naik sebesar 12%, dari 24 juta suara ke 27 juta suara. Nah, Pemenang Pilpres Jokowi pada Pemilu 2014 ke 2019 perolehan suaranya naik sebesar 21% dari 71 juta suara ke 86 juta suara.
Lalu, perolehan suara sebesar ini, apakah murni karena PDIP atau kinerja Jokowi atau kinerja orang dibalik Jokowi. Membaca grafik tersebut, seolah-olah Jokowi dapat ruang inap yang mewah, membesarkan Jokowi, namun di balik itu, Jokowi juga sudah membayar dengan peningkatan suara yang signifikan kepada tuan rumahnya.
Sebelumnya pula, Megawati menjadi presiden karena Gus Dur berhasil digulingkan. Sedangkan saat Nyapres, justru ditekuk bawahannya sendiri SBY pada Pemilu 2014. SBY yang diganti Jokowi, berhasil mendongkrak suara PDIP dari 13 juta suara menjadi 24 juta suara.
Jokowi yang sebelumnya menjadi Walikota Solo terus menjadi Gubernur DKI, tentu di belakangnya ada orang-orang yang memiliki peran. Peran ini tidak bisa diklaim oleh PDIP semata, yang kebetulan Jokowi kos atau numpang sementara di rumah merah. Selanjutnya Jokowi juga berhak melanjutkan perjalanan, begitu juga anak-anaknya, berhak pula menentukan masa depannya. Bila pun masih di rumah merah, dicap sebagai petugas partai seumur hidup, akan menyakitkan.
Kepanikan ini tentu sangat beralasan.
Sebelumnya Jokowi ke DKI tampil sebagai pemenang, dan dalam Pilpres memang telak dua kali. Kemenangan Jokowi ini yang sesungguhnya memberi andil bahwa PDIP ikut terdongkrak suaranya. Faktanya kini, Jokowi sudah berseberangan, bahkan serta merta menitipkan Gibran di bawah Pohon Beringin, Kaesang di PSI menempuh jalan Ninja.
Opsi ini bisa diambil hikmah, untuk membuktikan rumah merah memiliki kader yang siap tempur. Apalagi Ganjar juga sebelumnya sudah pernah menjadi Gubernur. Sehingga hal ini baik dijadikan semacam test case buat Ganjar apakah dia mampu membawa kemenangan menyamai Jokowi atau malah bertekuk lutut di bawah anak ingusan, Gibran.
Nah, kini di hadapan kita tersaji makian ke Jokowi dan keluarganya semakin gencar, masif. Beruntung pula, Gibran dan Kaesang tidak terpicu atau terpancing dengan serangan-serangan tersebut. Dengan serangan bertubi-tubi itulah, Gibran semakin tahu, tabiat dan karakter tuan rumah tempat ayahnya yang dulu menumpang.
Kita juga tidak pernah tahu, masa lalu Gibran dan Kaesang mendapat pendidikan dimana, dididik politik oleh siapa, sehingga berani tampil. Dan tentunya, kita tidak tahu ke depan nasib Gibran yang bernaung dengan jatah VVIP di naungan Beringin. Juga nasib Kaesang yang menempuh jalan Ninja dengan riang gembiranya.(den)