Diskursus Politik, Antara Adu Gagasan dengan Adu Perasaan

Facebook
Twitter
WhatsApp

SENTIL – kelirbali.com

oleh Denara, penulis jalanan. Membaca status FB seorang teman dari Nusa Penida, tergambar bahwa pandangannya tentang politik sudah mapan, matang. dia pun bertutur gamblang, politik itu adalah sesuatu yang ada maunya.

Dalam setiap pertemuan antar teman, bahasan yang paling populer adalah siapa Capres terbaik pilihan. Khusus di Bali, pergulatan percakapan terjadi antara pilihan Capres Prabowo – Gibran dan Ganjar Mahfud. Saking seringnya bercakap siapa Capres pilihan, sesekali lidah keseleo, Capres Prabowo Gibran, atau ada yang keseleo Ganjar Gibran.

Percakapan mengalir, tiada dendam, benci walau pilihan berbeda. Seperti tagline Kaesang putra Jokowi, Politik Riang Gembira. Lalu antar teman ini bertemu, ngobrol perkembangan terakhir Jakarta, lalu adu argumen, adu informasi terkini. Semua diakhiri senyum, tanpa beban, Politik Riang Gembira.

Lalu, seorang teman juga bercerita yang sama. Percakapan antara seorang petani rumput laut, yang petani dan rumput lautnya bernasib sama, berjarak dengan rejeki. “Siapa yang kira-kira menang di Pilpres 2024?” Saya menjawab tak tahu. Kemudian sahabat ini kemudian bertanya lagi; “Siapa yang kamu pilih?”. Kembali saya jawab pendek. “Masih memilih. Rahasia”
Kemudian, ia mengatakan akan memilih satu pasangan Capres dan Cawapres tertentu. Ia pun mengatakan pilihannya pasti menang. Karena berdasarkan keyakinannya Capres yang ia dukung rekam jejak dan visi misinya bagus.

Saya kemudian menjawab. “Semua simpatisan, pendukung, apalagi tim kampanye mengatakan pasangan Capresnya akan menang. Kemudian ia mengemukakan sejumlah alasan. Mulai rekam jejak, Visi misi dan kejelekan lawan. Saya menjawab, “Itu lumrah dan biasa dalam hajatan politik. Akhirnya nanti setelah KPU menghitung baru ketahuan siapa yang menang.
Dalam 10 tahun terakhir kita banyak mendengar banyak janji Calon Kepala Daerah, Caleg sampai Capres. Faktanya setelah ia menjabat ia tak bisa menepati janjinya. Tak ada hukuman.

Lebih celaka lagi, pada periode kedua ia kembali berjanji. Lagi tak bisa di tepati. Apalagi masyarakat Indonesia ingatannya pendek, sangat pendek, selama kopi masih hangat, ketika dingin hilang lenyap di telan waktu. Sebaliknya dengan berbagai alasan ia mencalonkan diri atau anak atau istrinya lagi. Pendukung, simpatisan dan tim tetap saja mengelu-elukannya.

Akhirnya saya berkesimpulan Pilkada, Pileg dan Pilpres adalah proses demokrasi, pesta demokrasi, pesta jualan omongan, pesta jualan janji. Jalani saja dengan santai. Misalnya kami di Nusa Penida terkait perubahan iklim pertanian rumput laut hancur tak ada yang pernah menyuarakan terkait pembuatan Minapolitan. Tidak ada. Hanya di awal-awal saja semangat, akan begini, akan begitu. Namun petani rumput lautnya, rumput lautnya, sama-sama berjarak dengan trengginasnya dunia lain, pariwisata yang serba wah dan wah.

Itu baru sektor Rumput Laut. Sektor yang pernah memberikan penghidupan nyata. Dan di Tahun 1982 lalu, oleh Presiden Soeharta, kegigihan merawat rumput laut ini mendapat ganjaran Kalpataru. Lalu, kembali ke petaninya, miris. Jadi macan kertas di koran, yang selalu digoreng saat awak media berkunjung ke Nusa Penida. Selalu,,.
Sektor lain, ke depan yang harus dan wajib dipikirkan mulai sekarang adalah Kera (bojog). Belum ada wacana apa pun berkait ganasnya kera yang ikut panen komoditas pertanian petani Nusa Penida. Tidak ada wacana. Ketika diburu, juga akan berhadapan dengan manusia-manusia penyayang binatang, sekalipun penyayang binatang tidak pernah menyuapi kera tersebut hingga kenyang. Lalu kera-kera lapar ini menjadi endemik, yang hampir hidup di 14 desa di Nusa Penida. Jangankan penanggulangan, wacana saja tidak ada. Bahwa petani yang menanam dipanen kera, juga obrolan biasa.

Makanya saya bukan antipati terhadap Pemilu. Melihat Pemilu, siklusnya biasa dalam 5 tahun. Tak ada istimewanya. Tak lebih perebutan kekuasaan, perebutan kursi.

Lalu, harapan saya, jangan men-Dewa-kan seseorang. Sehingga didukung mati-matian. Aristoteles menyebut; ‘Zoon Politicon’ manusia adalah makhluk yang berpolitik atau lebih kasarnya, manusia yang ada maunya. Ia ingin berkuasa. Lewat mimpi-mimpinya menjual gagasan dan ingin mewujudkan gagasan-gagasannya.
Konyolnya banyak ribut karena beda pilihan, banyak orang sampai bertetangga tidak akur karena beda pilihan. Saya hanya menyadarkan jangan ribut karena berbeda pilihan.

Hipotesa Awal
Mendengar Sekjen PDIP, Hasto nyerocos dan awak media dengan mudah memancingnya berbicara. Hal yang digorengnya terus menerus adalah Pengkhianatan oleh Jokowi dan Etika politik Sang Gibran. Wacana kesetiaan politik dan etika politik ini terus digoreng, yang bahkan apa pun gerak dan wacana Gibran termasuk Jokowi dibabat habis.

Kesetiaannya terhadap partainya teruji. Ia rela jadi bumper. Walau sesekali keseleo lidah, bersilang pendapat dengan Puan Maharani. Atau argumennya dimentahkan lawan politiknya, pokonya nyerocos, dan itu memang gawenya, tugasnya. Sehingga bagi yang sudah belajar politik dengan matang, segera akan tahu, itu memang kerjaannya, menciptakan konflik guna membunuh karakter lawan.

Dalam diskursus rasio praktis prosedural, kata-kata Hasto tidak memberi ide substantif apa pun. Apa yang diungkap tidak lebih dari pengujian intersubjektif, mau ngomong apa pun, terserah dirinya. Diskursus komunikasi politik semacam ini, tidak memberikan norma-norma tertentu yang dianggap benar, hanya menunjukkan apa yang seharusnya ia lakukan. Dengan berdiri pada kebebasan, bahwa ia adalah mesin p tidak ada jaminan legitimasi akan ungkapannya. Paling tidak bisa dimengerti, itu adalah kepentingan partainya.

Bagi pendukungnya, kata-kata yang diungkapkan adalah kepentingan legitimasi. Namun berbeda halnya dengan ‘kebutuhan’ legitimasi. Kepentingan legitimasi inilah yang dikonfrontasi sebagai kepentingan bersama dalam tanda petik partai pengusungnya.

Semakin lama, pendukungnya akan ikut-ikutan mengikuti gaya semacam ini. Apa yang diungkap semacam pendidikan politik bagi pengikutnya, begitulah caranya menghabisi lawan. Tidak ada kekerasan fisik dalam hal ini, namun yang terjadi adalah kekerasan psikologis, dimana ke depannya, model seperti ini akan diikuti pengikutnya.
Jokowi saat hadir di HUT Golkar mengcounter fenomena politik yang terjadi, bahwa politik yang terjadi saat ini terlalu banyak drama Koreanya. Bahkan disebut Jokowi, dalam berpolitik tidak mengadu gagasan, namun lebih banyak adu perasaan.

Ternyata, berpolitik dengan senyum, berpolitik dengan senyum, berpolitik dengan riang , santuy, santai masih jauh dari harapan. Terus menerus menghabisi lawan, maka bisa lupa dengan program apa yang dikabarkan kepada pemilih. Sedangkan lawan lain, sudah mulai beradaptasi dengan gaya politik baru, politik riang gembira.

Maka, seperti percakapan antar teman, antar petani di atas, tidak perlu mendewakan seseorang, tidak perlu. Kita tidak pernah dekat dengannya dalam satu rumah dalam sehari dua hari saja, bila dekat disampangnya, sehari, dua hari, maka kita pun akan segera tahu, kita tidak lebih dari ungkapan Aristoteles, bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan ada maunya. Janji politik.
Semua ada maunya, tergantung caranya.(den)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Pj Bupati Gianyar, Tagel WirasaTinjau Kesiapan TPS

mewanti-wanti agar para ASN yang ada di lingkungan Pemkab Gianyar bisa bersikap…

Garda Tipikor Laporkan Dugaan Korupsi Sejumlah Kabupaten di Bali

Provinsi Bali sedang darurat Korupsi, pasalnya dari 9 Kabupaten/Kota yang ada, setengahnya…

Menyintas Hidup Lewat Camus

kekacauan hidup adalah sumber dari laku hidup itu sendiri, ia senantiasa produktif…

Ketua Garda Tipikor Mangku Rata Bertemu Mangku Pastika, Minta Petunjuk Pemberantasan Korupsi

Kami datang menemui Pak Mangku Pastika untuk minta petunjuk terkait korupsi khususnya…