RUMPI WAYANG – kelirbali.com
Oleh I Wayan Westa; penikmat seni
//Sepanjang sejarah, tak terhitung banyaknya kekayaan yang diperoleh dengan susah payah dihambur-hamburkan demi kehormatan serta kejayaan dewa-dewa khayali — bukan saja oleh leluhur-leluhur Eropa saja, melainkan oleh semua bangsa di seluruh penjuru dunia.//
[E.F. Schumacher ]
Mengawali pasca-pandemi covid-19, dalam kurun waktu sebulan, 26 Juli hingga 26 Agustus 2022, Galeri Nasional Indonesia, menggelar kembali Pameran Seni Rupa Kotemporer Indonesia: Manifesto VIII. Menampilkan 108 karya terpilih perupa Indonesia. Angka 108 secara kebetulan menyamai jumlah biji “japa mala”, tasbih yang biasa diputar pendeta Siwa-Buddha di Bali. Tasbih ini dipetik berulang sembari menggemakan mantra pilihan dalam hati.
Tentu seratus delapan karya yang dipamerkan di Galeri Nasional, tak bertemali dengan fungsi “japa mala” dalam praktik kehidupan orang suci. “Kerutinan” yang dilakukan seorang pejalan spiritual; memutar senantisa semesta biji tasbih berharap menemukan keheningan batin, mendoakan alam dengan segala isinya hidup damai.
Sementara, seratus delapan karya yang dipamerkan di Galeri Nasional merupakan gelar kreasi seniman Indonesia, hasil seleksi 613 calon peserta yang dijaring melalui jalur undangan. Kendati demikian, toh pameran ini adalah juga sebuah kerutinan. Pastinya; panggilan kreatif merawat gagasan yang berkembang, bertumbuh di kalangan perupa atas capaian-capaian terkini seluruh perburuan kreatif itu.
Manifesto VIII bertajuk TRANPOSISI – di mana dalam pengantar katalog pameran, seniman diharapkan memiliki kepekaan visi. Hendaknya dalam posisi paling krusial pun seniman bisa berkontribusi positif untuk masyarakat , mendorong kehidupan kreatif, serta kemajuan adab bangsa. Dari sini tersirat satu utopia; seniman adalah dia yang memiliki visi “mata intuitif” — dibekali pandangan membaca dimensi lain, direngkuh untuk mengingatkan perubahan yang hadir di depan mata, disambut dan dirayakannya, bahwa yang datang akan memberi kebaruan.
Memang di jalur bertumbuh itu, dalam etos kreatif, mereka yang kurang peka menghadapi perubahan, kerutinan tak akan terasa sebagai ulangan, tak terasa juga pada hidup yang dibuat absurd. Orang-orang bergegas tanpa tujuan; langkah kemarin, langkah hari ini berulang begitu saja. Manusia tercebur dalam pergulatan tak berujung. Kekonyolan, kebaikan, empati, siasat entah untuk tujuan apa. Manusia merasa tak pernah bebas. Setiap pejalan hanya hadir sebagai pejalan. Semua terasa absurd, semua sia-sia.
Lalu apa arti kelindan hidup semacam ini, absurd, dan terasing ? Lagi-lagi ini pertanyaan absurd. Ketika manusia enggan “membuka” ladang batinnya, kukuh bersipaku pada hidup yang menggelinding begitu saja, mengulang-ulang hal-hal rutin, tidak memberi ruang pertumbuhan akal budi — ia adalah hidup yang mandeg. Pernyataan -pernyataan absurd inilah disodorkan pematung Ketut Putrayasa di Galeri Nasional, dengan tajuk : “Sisyphus Game”. Satu diorama dimensia seni instalasi berbahan baja virkan, stainless, dan kuning. Berukuran 215 X 230x 40 cm, dengan berat lebih dari satu ton.
Sisyphus Game, terinspirasi mitologi Yunani Kuno, di mana kelak, Albert Camus, seorang filsuf Prancis, menukilkannya menjadi esai filsafat perihal pergulatan manusia dengan absurditas. Penalaran absurd, manusia absurd, kreasi absurd, harapan absurd. Judul buku itu Mite Sisifus.
Dalam mitologi Yunani, Sisyphus menipu dewa kematian — ia lalu dikutuk mendorong batu besar ke atas bukit . Begitu sampai di puncak, batu menggelinding kembali ke bawah, dan Sisyphus harus mendorongnya kembali. Begitu berulang terus-menerus. Kejemuan yang menyiksa, terasing, dan menusuk. Sungguh kerja sia-sia. Begitulah kerutinan itu, tanpa sadar juga menjadi absurd.
Karena absurditas ini, Camus menolak segala bentuk agama, futurisme atau ideologi-ideologi yang menjanjikan kebaikan di masa depan. Bagi Camus yang berbicara adalah pengalaman indrawi, kongkrit masa kini. Karena itu sulit bagi Camus untuk berbicara mengenai cita-cita atau perencanaan di masa depan. Dunia ini irasional karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana ataupun tujuan hidup manusia. Sebab di situ, Camus yang amat mengagumi Nietzsche, menilik absurditas berarti ketidakmungkinan mencari jawab pada yang transenden. Begitu kira-kira bila boleh meminjam penegasan M. Sastraprateja dari buku berjudul Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat (1983).
Namun Sisyphus Game, satire baja virkan Ketut Putrayasa tak hendak bergagah-gagah menghadirkan pesan filosofi dan tantangan moralitas. Bagi seniman kelahiran desa pesisir Canggu ini, ia lebih menyitir pada satu satire kebudayaan, pada keaadan-keadaan kini yang melanda bangsa dan pulau — di mana bencana, kemalangan, serta krisis multi dimensi selalu dihadapi dengan kerutinan absurd. Nyaris seperti Sisyphus yang dikutuk mendorong batu ke puncak bukit, terjatuh lalu mendorongnya lagi dari bawah. Ia menjadi sebentuk penjara kerutinan. Penjara yang mengalir dari tradisi, digenang turun-menurun dari generasi ke generasi. Dan itulah tragedi Sisyphus, adab yang menolak bersandar pada hal-hal transenden.
Sejarah dan pengalaman juga dirasa berulang, bersiklis, dan berputar. Agama, ilmu, sain, tak cukup dibuat tegak dihadapan bencana yang dihadapi manusia. Covid-19 adalah maha bencana bagi orang modern yang menjungjung rasionalisme dan akal. Ia membuat manusia kehilangan kemampuan, bahkan kehilangan kejeniusan. Manusia kadang jumawa, menghadapi bencana dengan segala kejeniusannya. Namun, toh tidak begitu yang terjadi. Manusia dibuat takluk, kehilangan daya. Ia amat sangat terbatas. Ia butuh jawaban-jawaban yang tidak rutin, memerlukan solusi yang tidak lagi biasa. Kerutinan adalah musuh besar seorang kreator, juga musuh besar bagi pemegang kebijakan publik yang tak menemukan jalan keluar saat krisis menimpa rakyat.
Pandangan-pandangan satire Ketut Putrayasa, nampak berbela dengan pandangan E.F. Schumacher, penulis buku Small Is Beautiful. Di situ, dalam buku bertajuk A Guide For The Perplexed, edisi Indonesia Keluar dari Kemelut (1981), E.F. Schumacher menulis begini, “Saya teringat, bahwa selama bertahun-tahun hidup saya penuh kebingungan; dan tak seorang pun juru bahasa datang menolong saya. Kebingungan itu sepenuhnya mencekam saya sampai saat saya tak lagi mencurigai kewarasan pencerapan-pencerapan saya dan mulai mencurigai peta-peta (pengetahuan) yang disodorkan para pendahuluku.”
Tegas Schumacher, “Peta-peta yang diberikan pada saya memperingatkan, bahwa hampir semua leluhur saya, hingga generasi yang baru-baru ini, merupakan penggantang-penggantang asap menyedihkan; yang menuntun hidup mereka atas dasar kepercayaan-kepercayaan irasional dan takhyul-takhyul absurd. Bahkan para ilmuwan terkemuka seperti Johann Kepler atau Issac Newton sekalipun rupa-rupanya telah menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaga mereka untuk penelitian yang bukan-bukan, tentang hal-hal yang tak ada.
Sepanjang sejarah, tak terhitung banyaknya kekayaan yang diperoleh dengan susah payah dihambur-hamburkan demi kehormatan serta kejayaan dewa-dewa khayali — bukan saja oleh leluhur-leluhur Eropa saja, melainkan oleh semua bangsa di seluruh penjuru dunia.
Maksud pernyataan Schumacher ini hendak menegaskan, bahwa peta-peta yang dihasilkan paham keilmuan materialistik modern tak sanggup menjawab persoalan-persoalan yang sungguh penting dan mendasar. Dihadapan Covid-19 misalnya, semua pengetahuan, sain, agama, filsafat, seni dibuat layu, hingga pandemi itu hilang bersama sang waktu. Kerap manusia berhadapan dengan fenomena maha rahasia — dan orang-orang seperti menunggu mesias yang juga tak kurang absurd.
Bagaimana seharusnya menjawab semua tuduhan ini? Schumacher lalu mengutip Maurice Nicoll, “kita tiba-tiba mengalami “penyingkapan batin” yang melihat bahwa manusia, betapa pun pandainya ia, tak tahu sesuatu pun tentang apa yang sungguh-sungguh berarti? Mungkin kita butuh kearifan, atau hendak menemukan hikmah .
Sembari mengutip Plato, Schumacher berkata , tak ada orang bodoh mencari kearifan; karena di sinilah letaknya kedurjanaan kebodohan, bahwa kendadipun demikian, siapa pun yang tidak baik dan tidak arif akan puas dengan dirinya sendiri. Di sinilah letak satire Sisyphus Game Ketut Putrayasa , di mana orang kerap keliru menyodorkan pertolongan. Orang lapar butuh makan, justru yang disodorkan ceramah agama menggantang asap, upacara bertubi. Bukankah ini juga sesuatu yang absurd atau sia-sia?
Namun yang lebih menyedihkan dari kenyataan bernegara, begitu pula dalam kenyataan sehari-hari, absurditas melanda kita. Seorang gubernur ditenggarai tak becus bekerja, dituduh menghambur-hamburkan duit untuk hal-hal yang tak substansi, bertaruh di meja judi, memperkaya diri sendiri, yang semestinya untuk pemberdayaan, mensejahterakan hidup rakyat. Banyak kebijakan-kebijakan absurd yang justru menyengsarakan, merusak lingkungan atas nama hari depan lebih baik. Jargon tipu-tipu untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam hidup sehari-hari pun kita kerap bertindak absurd. Sebutlah misalnya dalam sub-kultur tradisi, segala problem, bencana, dan kemalangan cukup dijawab dengan jalan upacara, tanpa mau sadar, bahwa merawat, berempati pada kemanusiaan adalah spirit yang sama penting. Orang lebih memilih mengeksplor sumber daya alam, tapi lupa mengeksplor daya budi — yang sesungguhnya adalah cahaya hidup.
Yang berbahaya tentulah mereka yang amat nyaman dengan kerutinan. Mengulang-ulang tindakan yang sama, bahkan kekenyolan yang sama. Bayangkan bila kerutinan ini dialami para kreator — “pasti amatlah konyol” bila ia mengulang-ulang karya yang sama — sebagaimana cibiran “Sisyphus Game” yang dihadirkan pria kelahiran 15 Mei 1981 di Galeri Nasional itu. Dan Putrayasa cukup memilih mengingatkannya dengan satire, berharap orang-orang tak terbelengu penjara kerutinan, melangkah dengan terobosan-terobosan kreatif. Karena dengan cara-cara ini, seniman, ilmuwan, dan para pemimpin pantas disebut sang pengalir hidup di tengah-tengah kodrat kebudayaan yang senantiasa penuh dinamika.
Lalu pertanyaan kemudian, apa arti dinamika bila gerak kebudayaan abai memberi kepenuhan lahir batin? Dan apa pula arti kebudayaan dalam maknanya yang penuh?
Kebudayaan qua kebudayaan, yang diberangkatkan dari lafal Sansekerta, abhyudaya, yang kemudian mengalami proses linguistik, maka ia menjadi budhaya, yang artinya hasil baik, kemakmuran serba lengkap, kebahagian dan kesejahteraan moral ruhani, yang sering dipakai dalam kitab Dharmasutra dan kitab Buddha. Maka kebudayaan jika mengacu pada hal ini dimaknai sebagai kesempurnaan tata hidup, di mana “yang ruhani” menjelma basis dan struktur, atas infra-struktur “yang materi”.
Kesejahteraan tidak hanya dimaknai sebagai kecukupan ekonomi, tetapi terlebih kelimpahan spititual. Ini pandangan sang pemikir meditatif Ida Wayan Oka Granoka, pendiri sanggar kreatifitas Maha Bajra Sandhi, yang boleh jadi amat berseberangan dengan Albert Camus, tapi amat dekat dengan satire Sisyphus Game Ketut Putrayasa — di mana orang diingatkan menyalakan cahaya “daya budi” yang tidur di dalam.
Kenapa Sisyphus Game? Bukankah karya ini milik dunia asing, kuasa dunia Yunani? Tak usah keliru menebak, cobalah lihat “instalasi” ini dengan pandangan terbalik, di situ orang akan melihat bangunan candi dari peradaban arsitektur Jawa- Bali. Kita tahu, candi dalam medan makna tradisi Jawa dan Bali tak lain adalah simbolik gunung, yang dalam kata-kata Mpu Kanwa, pengarang kakawin Arjunawiaha, karya yang didedikasikan pada raja Airlangga , menemui pesannya; bahwa gunung itu sejatinya adalah sumber dari mana datangnya kesejahteraan dan kerahayuan. Yang lebih sublim tentulah merawat “gunung pikiran” supaya benih yang lahir mengalir dari situ menghidupkan roh baru bagi peradaban.
Namun lagi-lagi ideologi agung ini termakan absurditas banjir badang kapitalisme. Eksplorasi alam, kerap dibahasakan sebagai proyek kesejahteraan. Jargon-jargon harmoni; wana kertih, danu kertih dikumandangkan, sembari dengan hati kerontang, tanpa empati membongkar bukit-bukit untuk satu otupia semu — dengan bahasa kuasa ‘Era Baru” hari depan lebih baik. Lagi-lagi kita bergulat dengan absurditas– lalu kekonyolan terpaksa kita telan dengan perasaan jumawa. Sampai di sini,betapa perih batin Sisyphus, ia hanya bisa mengulang rumus usang, tak menemukan rumus baru.(den)
Kusa Agra
Banyu Pinaruh,
Redita Pahing, Wuku Sinta, 2022