Kemiskinan dalam Kebudayaan Kertas

Facebook
Twitter
WhatsApp

SENTIL – kelirbali.com

Ketika kemiskinan terpapar di hadapan publik, yang menjadi sangat malu adalah pemimpinnya. Rasa malu ini atas dasar sasanti bijak Timur; Kemiskinan adalah dosa atas karma, membuat orang menjadi miskin adalah dosa besar dan pemimpin yang mebiarkan (kemiskinan) itu terjadi adalah dosa yang tak terampuni.

Sasanti bijak Timur ini terus hidup dan sampai-sampai angka-angka kemiskinan selalu menarik dibaca ditonton di TV atau di media sosial dan percakapan panjang. Apakah sasanti bijak Timur ini mengandung ancaman? Tugas utama pemimpin adalah menghindarkan, meniadakan, menghilangkan kemiskinan dan menuju masyarakat yang sejahtera. (klise memang). Awak media atau petugas sensus atas dasar sasanti tersebut maka dunia seakan berakhir karena menemukan satu angka kemiskinan.

Sebuah cerita menarik di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud. Sebutlah namanya Gung. Keluarga ini oleh BPS tersentuh program PKH dan setiap bulannya selalu mendapat bantuan. Sesunggunya, Gung ini tidak nyaman menerima bantuan, mengingat rumahnya lebih baik dari keluarga lain, memiliki rumah dengan konsep sanga mandala plus berukir. Tetangganya juga mempertanyakan, kenapa dia yang dapat? Perbekel juga sudah berusaha mencoret nama Gung dari daftar PKH. Namun karena mesti melewati birokrasi administrasi berlapis-lapis, print berlembar-lembar kertas, nyari tandatangan berjubel, maka bantuan itu diberi atas nama kertas dari pusat. Ini atas dasar Kemiskinan Dalam Budaya Kertas. Keluarga Gung juga pasrah, selain berhadapan dengan rumpi tetangga, juga harga diri bahwa semiskin-miskin keluarganya, tidak sampai Negara yang turun tangan. Bahwa keluarga besarnya masih bisa diminta uluran tangan, dalam sebatas beras sekampil.

Cerita menarik lain, dalam setiap pertemuan perbekel/kades/lurah selalu diselingi obrolan yang sama. Data Warga Miskin. Hampir semua perbekel dihadapkan pada persoalan yang dihadapi Gung tadi. “Saya sudah mengusulkan untuk mencoret beberapa nama, prosesnya ribet sekali. Itu makanya tak biarin.” Pun kepala desa lain juga geleng-geleng kepala, ketika menerima nama-nama penerima bantuan. “Di Aku dapat tugas menyalurkan bantuan, datanya dari pusat. Kapan survey, minta data aku gak tau. Karena tugas, ya bagi-bagiin saja.” Di sisi lain, Pemkab sudah meminta data warga miskin by name by address. Namun tetap saja, Kemiskinan atas kebudayaan kertas berlaku.

Studi akademis menyebutkan tidak ada negara yang warganya benar-benar bebas dari kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia diukur dari kertas dengan parameter tertentu; lantai, dinding, atap, makan-minumnya. Yang bahkan indikator yang tercetak di kertas ada 14 atau 17 atau 21 indikator kemiskinan. Pada kertas lalu muncul warga disebut miskin, bila penghasilannya sekian. Miskin di atas kertas di Indonesia berbeda dengan miskin di Jepang atau di Bhutan. Lalu, saban bulan melihat antrian di Kantor POS. Deretan sepeda motor berjajar, pemilik kendaraan berpakaian mentereng antre diselingi pegang gadget buka Medsos. Untuk inikah kemiskinan dalam kebudayaan kertas itu?. Data BPS juga menyebut di Tahun 2022 terdapat 26, juta warga miskin di Indonesia atau setara 9,54 populasi. Lalu, tahun berikutnya dengan bangga pemerintah merilis bahwa angka kemiskinan telah menurun. Apakah tidak mungkin tercipta orang miskin baru!

Dalam masyarakat, kemiskinan dinilai sesuatu yang buruk dan perlu dientaskan, sehingga masyarakat melalui pemerintahnya dituntut agar menghasilkan kebijakan kepada yang miskin. Akar dari kondisi kemiskinan; ketidakmampuan berkompetisi, ketimpangan ekonomi politik dan kondisi geografis, kegagalan pemerintah dalam kebijakan dan terkahir adalah budaya (mental) kemiskinan. Mengingat tidak ada Negara yang bebas dari warganya yang miskin, maka tidak ada rumus baku untuk mengentaskan kemiskinan. Bali, yang secara umum infrastruktur memadai, pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan tersedia dan dunia kompetitif yang terbuka bebas. Maka satu langkah satu tujuan satu komando bagi pemimpin di Bali agar kemiskian terentaskan. Maka akan sangat lucu antar pemimpin saling menyalahkan atas nama kemiskinan dalam kebudayaan kertas. Bukankah mereka rakyat (kita), sesama Bangsa Indonesia. Jele melah nyama gelah (baik-buruk juga keluarga kita.denara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…