Sekilas; Seksualitas dari Masa ke Masa di Indonesia

Facebook
Twitter
WhatsApp
Seks victorian
oleh GSPutra – Seksualitas yang saat ini berlaku di Indonesia tidak bisa lepas dari aturan yang berlaku di negeri Belanda. Pada awalnya, kebijakan-kebijakan seksualitas yang berlaku di negara tersebut diterapkan di wilayah jajahan. Yang bahkan norma, sikap dan tata cara seksual merupakan turunan dari Undang-undang yang berlaku di Belanda. Seperti apa perkembangan seksualitas dari masa penjajahan sampai masa Orde Baru, berikut terangkum dalam tulisan singkat ini.
 
Sebelumnya ada aturan seksualitas (hal yang diatur dalam undang-undang), dalam tradisi Hindu di Nusantara dan Bali khususnya memandang seksualitas sebagai hal terbuka, dianggap hal yang wajar seperti halnya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum dan harus dinikmati sebaik-baiknya. Candi-candi di India, di Nusantara menggambarkan adegan seksualitas demikian vulgarnya. Gambaran seksualitas tersebut merupakan ciri tradisional (kerajaan) mengenai seksualitas di nusantara. Bahkan kalangan raja-raja di Nusantara sangat umum ditemui memiliki istri yang banyak (puluhan) dan hal ini masih berlaku sampai pasca kemerdekaan. (Onghokham, Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial, 1991). Seksualitas bagi kalangan raja (kerajaan) di nusantara, bukan dipandang sebagai ‘moralitas’ akan tetapi layaknya kebutuhan manusia sehari-hari; seperti makan dan minum. Karya seni patung, lukisan adalah hal biasa menampilkan ketelanjangan di tempat suci, seperti halnya patung phallus (kelamin pria) dan vaginal (kelamin perempuan). Hanya saja, pejabat kolonial sendiri melihat hal ini sebagai hal yang sangat bertentangan dengan norma yang berlaku di negerinya; baik dalam percakapan, gerakan, candaan, tingkah laku dan bahkan sampai karya sastra dan seni. 
 
Namun nyatanya, hukum atau norma seksualitas di negeri Belanda juga merupakan turunan dari kolonialis Inggris dengan nama yang terkenal ‘Moralitas Victorian’ karena diinisiasi oleh Ratu Inggris, Alexandria Victoria. Di India, Ratu Victoria mendapat julukan Maharani India yang selanjutnya sebagai pengesahan berlakunya Moralitas Victoria. Ratu Victoria (1837-1900) dalam masa kepemimpinannya adalah jaman yang paling represif terhadap seksualitas di Eropa. Yang kemudian represif ini menyebar ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Asia sebagai wilayah jajahan. Moralitas Victorian ini yang selanjutnya di Indonesia menjadi Etika Puritan mementingkan Kerja keras, sikap menahan diri dari nafsu seksualitas, larangan terhadap perilaku seksual menyimpang. Saking puritan-nya soal seksualitas ini, bahkan karya-karya sastra juga tidak bebas menuliskan seksualitas. Apalagi pembicaraan seksualitas di depan umum. Lahirlah seperangkat undang-undang mengatur persoalan seksualitas. 
 
Di masa pemerintahan Ratu Victoria, Inggris dalam masa keemasan. Hal ini ditandai dengan lahir dan perluasan industri besar-besaran secara umum di Eropa. Perluasan industri ini juga sampai ke daerah jajahan seperti di Asia. Sebagai bukti menjalankan moralitas yang dibuatnya, Ratu Victoria setia dengan Albert, dan kehidupan anak-anaknya menjadi model kehidupan borjuasi ideal di Inggris. Lahirnya undang-undang ini melarang hubungan sesama jenis antar laki-laki, namun tidak diatur mengenai hubungan antar perempuan. Undang-undang ini pula sebagai awal mulanya dasar-dasar kebebasan individu, terutama dalam urusan seksual diatur, yang sesungguhnya dianggap sebagai pertentangan hak individu. Di Negeri Belanda, juga berkuasa Ratu Wilhelmina, yang membawa semangat baru dalam Moralitas Victorian.
 
Setelah lahirnya Undang-undang mengenai seksualitas ini, dengan mudahnya menyebarkan kode etik kepada jajahannya. Yang sebelumnya, petinggi-petinggi colonial diwajibkan menjalankan kode etik ini. Yang kemudian, semua semua daerah jajahan oleh kolonial Eropa mendapatkan kode etik Moralitas Victorian. Seperti halnya di India, sebagai daerah jajahan Inggris, etika puritan ini pertamatama disebarkan ke pegawai-pegawai pemerintahan (birokrasi) di India. Selanjutnya etika puritan ini diberikan kepada kalangan cendekiawan/terdidik, dan terakhir kepada politisi India. Undang-undang Perkawinan di India, Sri Lanka dan Pakistan ke semuanya ini merupakan produk turunan dari hukum perkawinan di Inggris yang bahkan lebih ketat. 
 
Pada masa kolonial di Nusantara, moralitas seksualitas dibawa pertama kali oleh VOC. Norma yang dibawa adalah larangan berhubungan antar sesama lelaki, perceraian. Hanya saja muncul wajah kemunafikan, dimana institusi selir antara orang Belanda dengan perempuan pribumi dilonggarkan. Sebagai alasannya adalah karena sangat sedikit wanita Belanda yang datang ke Asia. Walau sebagai selir, perempuan pribumi ini tidak lebih sebagai budak (baik sebagai pembantu rumah tangga dan budak seks). Pranata ‘Nyai’ adalah sebutan wanita yang dipelihara Belanda, baik sebagai petinggi militer, pejabat atau usahawan Belanda yang kaya. Kelonggaran ini memicu, kalangan (perempuan) pribumi yang ingin menaikkan taraf hidupnya berusaha merayu laki-laki kolonial. Bahkan dalam gurauan antar pejabat Belanda dan diikuti tentara bujangan Belanda, “Sesampai di Batavia, segera mencari ‘Nyai’, agar segera bisa mempelajari adat-istiadat negeri Timur.” 
 
Bebasnya perilaku seksual kolonial Belanda ini yang juga sebagai penghancuran moral bagi pejabat Belanda, menyebabkan wanita-wanita Belanda ikut serta ke Indonesia. Bahkan oleh kalangan wanita Belanda ini, dengan tegas meminta penghapusan lembaga ‘Nyai’. Di sisi lain kalangan Belanda agak segan memasuki kehidupan seksual kalangan masyarakat lebih luas, mulai dari kalangan kerajaan dan rakyat jelata. Pada prinsipnya, kalangan Belanda membiarkan adat istiadat termasuk soal seksualitas menjadi masalah seksualitas masyarakatnya sendiri. 
 
Sedikitnya perempuan Belanda (Eropa) menjadi pemicu logis makin menggilanya praktik pergundikan yang sesungguhnya sudah dimulai sejak VOC. Kebutuhan seksualitas dengan menghadirkan ‘Nyai’ selain untuk petinggi militer Belanda juga untuk pengusaha Belanda di perkebunan. Namun nasib Nyai ini tidak akan diikutkan ke Belanda, bila mendapat surat untuk kembali ke Negara asal. (Christanty, Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda, 1994). Semakin kaya seorang colonial, maka semakin banyak Nyai yang dimiliki. Gubernur Pesisir Timur Laut Java disebutkan memiliki 20 Nyai, sekitar Tahun 1800-1810. 
 
Meningkatnya taraf hidup keluarga Nyai, maka bagi masyarakat pribumi merupakan suatu kebanggaan bila putrinya menjadi Nyai. Yang bahkan, para pejabat dari setingkat bupati sampai pamong desa, menyerahkan putrinya ke pejabat kolonial. Hal ini bertujuan mengamankan posisi jabatan sang ayah. Menjadi seorang Nyai juga mesti memiliki pengetahuan dasar tentang budaya timur dan memiliki penguasaan bahasa dengan baik. Sehingga Nyai yang memiliki otak encer, bisa memasak, memahami budaya timur dan bisa berbahasa Belanda, maka akan lebih cepat menapaki kondisi ekonomi yang lebih baik. Keuntungan lain adalah putra-putri dari hubungan pergundikan ini, ditetapkan sebagai putra-putri Eropa. Sehingga kehidupan Nyai ini lebih tinggi dan disegani di kalangan rakyat jelata. Kondisi ini juga membuat kalangan Nyai juga dicap sebagai pengkhianat bangsa. Walau demikian, suburnya pergundikan ini tidak bertahan lama yang bertahan sampai awal abad ke-20. 
 
Nyai-nyai terpelajar kemudian melakukan pemberontakan, sebagai dorongan atas emansipasi wanita. Lahirlah surat kabar perempuan pertama dengan nama; Poetri Hindia, 1 Juli 1908. Kemudian berlanjut Estri Oetomo (1919) di Medan, Poetri Mardika (1912) di Jakarta. Salah satu penulis artikel perempuan saat itu adalah Sitti Roekiah dengan judul; ‘Ajam Beranak Itik’. Perjuangan kaum Nyai ini juga mendapat tentangan dari kalangan Belanda, yang menyebut lebih baik memelihara Nyai daripada ke pelacuran. Lewat media pula, Belanda melakukan sensor terhadap penerbitan suara perempuan yang dianggap meruntuhkan citra bangsa kulit putih. Dalam prakteknya, Nyai-nyai peliharaan Belanda banyak yang menghadapi kekerasan fisik dan yang lebih penting adalah penindasan manusia yang menempatkan perempuan pribumi sebagai perempuan rendah. Seiring dengan berakhirnya masa penjajahan, maka praktek Nyai juga berakhir. Ada yang pulang dengan harta berlimpah dan ada pula yang pulang dengan tangan kosong. 
 
Pada masa kemerdekaan sampai jaman awal Orde Baru, seksualitas belum diatur sedemikian rupa seperti halnya diatur dalam UU Perkawinan Tahun 1974. Undang-undang ini ditegaskan lagi dalam PP No 9 Tahun 1975 yang mengatur peraturan pengendalian perkawinan dan perceraian. Sedangkan sebelumnya, biasa kita dengan Presiden RI memiliki lebih dari dua istri dan kalangan kerajaan memiliki istri lebih dari satu. Jamak pula terdengar seorang suami dari kalangan rakyat biasa memiliki lebih dari satu. (Suryakusuma, Seksualitas dalam Pengaturan Negara, 1991). Sebagai landasannya adalah; Pemerintah membutuhkan pemerintahan yang kuat, stabil dan berwibawa didukung oleh aparat Negara yang sempurna, sebagai prasyarat pembangunan nasional. Landasan selanjutnya adalah; Rumah tangga merupakan unit terkecil dari sebuah Negara,,,. Negara akan kuat bila terhimpun dari rumah tangga-rumah tangga yang kuat. Negara yang adil bersumber daru rumah tangga yang adil yang berarti ikut menengakkan suatu Dasar Negara yang kuat. 
Dari peraturan tersebut, lahirlah ‘Dharma Wanita’ sebagi istri-istri PNS, Persit Candra Kirana, Gabungan istri Wakil Rakyat (Gatriwara) dan organisasi persatuan lain. Hal lain memunculkan istilah Ibu-isme, dimana dikonsepkan perempuan harus meladeni suami, anak-anak, keluarga, masyarakat dan Negara. Pada perundangan di atas, integritas perilaku seksual benar-benar di atur Negara yang bahkan diatur, umur laki-laki boleh menikah di usia 19 tahun dan 16 tahun untuk perempuan. Dalam hal ini, sejak Orde Baru, seksualitas dikontruksikan melalui ideology seperti apa keluarga yang baik. Sedangkan dalam prakteknya, aturan ini sangat longgar, asalkan tidak muncul ke permukaan/publik.
 
Disimpulkan, adanya tujuan perundangan tersebut bukan diskriminasi seksual, namun merupakan justifikasi pragmatism dan opurtunisme demi pembangunan nasional. Paling tidak tergambar bahwa kaum lelaki dipandang sebagai pekerja yang baik dan sudah ada istri yang manut patuh di rumah. Seperti apa prakteknya, hanya pembaca yang tahu,,,. denara
 
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kabar Terkini

Balasan Terbaik ASTAGUNA Membungkam Gerindra “Menangkan Pilkada”

Gerak alam pun menunjukkan pembelaannya. Di tengah keputusasaan setelah diabaikan Gerindra, tiba-tiba…

BRI Peduli – Serahkan Satu Unit Dump Truk ke Pemkot Denpasar

Yoggi Pramudianto Sukendro mengatakan, bantuan dump truck ini sendiri merupakan wujud dan…

BRI Peduli–Serahkan Bantuan Satu Unit Dump Truck ke Pemkot Denpasar  

Bank BRI Kanwil Denpasar melalui program BRI Peduli menyerahkan bantuan satu unit…

Tim Pemenangan Prabowo-Gibran Backup Penuh Paket KATA

“Keluarga besar Pelita Prabu telah menunjukkan dukungan yang luar biasa. Kami harus…

Keberanian dan Kesunyiannya Masing-masing

Jika keberanian hanyalah soal otot (fortitude) maka preman pasar loak pun dapat…